CERITA UNTUK ***++
Velove, perempuan muda yang memiliki kelainan pada tubuhnya yang dimana dia bisa mengeluarkan ASl. Awalnya dia tidak ingin memberitahu hal ini pada siapapun, tapi ternyata Dimas yang tidak lain adalah atasannya di kantor mengetahuinya.
Atasannya itu memberikan tawaran yang menarik untuk Velove asalkan perempuan itu mau menuruti keinginan Dimas. Velove yang sedang membutuhkan biaya untuk pengobatan sang Ibu di kampung akhirnya menerima penawaran dari sang atasan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sansus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Saat ini Dimas dan juga Velove baru saja masuk ke dalam mobil setelah melakukan pertemuan dengan investor yang bernama Pak Willy, pertemuan itu hanya terjadi sebentar karena memang tidak banyak yang mereka bahas.
Sekarang waktunya kedua orang itu untuk kembali pulang ke Jakarta karena sudah tidak ada pekerjaan lagi di Bandung. Baru saja Velove selesai memasang sabuk pengamannya, ponsel miliknya yang dia letakan di atas pangkuannya berbunyi tanda ada yang menelpon.
Nama Naomi tertera di atas layar sana, Velove segera mengangkat panggilan tersebut. “Halo Nao?”
“Vellll, jahat banget ke Bandung nggak ngasih tau aku.” Velove sedikit menjauhkan benda pipih itu dari telinganya ketika mendengar suara milik Naomi yang cukup keras.
“Sekarang kan kamu udah tau, lagian aku ke Bandung bukan buat main tapi karena lagi ada kerjaan.”
Dimas yang ada di samping perempuan itu hanya menyimak percakapan antara karyawannya itu seraya mulai melajukan mobil miliknya keluar dari area tempat pertemuan tadi.
“Ya tetep aja, kamu kayak takut banget aku mintain oleh-oleh.”
Velove lantas tertawa mendengarnya. “Mana ada aku kayak gitu, kamu mau oleh-oleh apa emang? Mumpung aku masih di Bandung nih, belum balik ke Jakarta.”
“Oleh-oleh apa ya—“
“Oleh-oleh apa aja Vel yang penting gratisan.” Kini terdengar suara Gino yang ikut menyahut dari seberang sana.
“Mas Gino? Kalian lagi pada kumpul?”
“Iya, aku, Mas Gino sama Mas Dewa lagi ada di kafe depan kantor mau makan siang.” Jawab Naomi.
“Ya udah nanti aku minta Pak Dimas buat mampir bentar ke tempat pusat oleh-oleh.”
“Duh temenku ini emang yang paling baik.” Ucap Naomi dengan kekehan kecil di seberang sana.
“Ya udah aku tutup ya teleponnya.”
“Dew lu kagak mau ngomong?” Kali ini Gino yang kembali bersuara.
“Hati-hati Vel pas balik ke Jakartanya.” Nah kali ini suara Dewa yang terdengar.
“Iya, Mas Dewa makasih. Aku tutup ya.”
Begitu nama Dewa di sebut, Dimas menoleh sekilas pada sang sekretaris di sampingnya, Dimas sempat mendengar dari gosip yang beredar di lingkungan karyawannya jika Dewa secara terang-terangan menunjukan ketertarikannya pada Velove, tapi tidak pernah ditanggapi oleh perempuan itu, Velove menganggap Dewa hanya sebatas teman kerjanya saja.
Setelah mematikan layar ponselnya, Velove lantas menoleh ke arah Dimas yang sedang menyetir di sampinya itu. “Pak Dimas—“
“Iya nanti kita mampir.” Sela Dimas seakan tahu apa yang akan dikatakan oleh Velove. Memangnya apa lagi kalau bukan soal oleh-oleh, lelaki itu tadi mendengar dengan jelas apa yang dikatakan oleh sekretarisnya itu bersama dengan teman-temannya yang lain.
Mendengar ucapan yang dilontarkan oleh Dimas, Velove lantas tersenyum sumringah. Dimas yang melihat hal itu malah ikut tersenyum tipis tanpa diketahui oleh Velove, lantas kemudian lelaki itu mengembalikan ekspresi datarnya.
***
“Pak Dimas nggak mau beli oleh-oleh juga?” Tanya Velove yang kini tengah menenteng keranjang belanjaan yang sudah penuh dengan berbagai macam makanan yang dia jadikan sebagai oleh-oleh.
“Buat siapa?”
“Buat Mamahnya Pak Dimas.”
“Mamah saya bisa beli sendiri, lagipula dia kurang suka sama yang gini-gini.”
Ah benar juga, Mamahnya Dimas pasti lebih suka oleh-oleh dari luar negeri. Berbeda dengan dirinya dan juga teman-teman kerjanya yang lain, kenapa Velove tidak berpikiran sampai ke situ.
“Atau mungkin buat perempuan yang kemarin ngobrol sama Pak Dimas di Mall?”
Dimas lantas menatap ke arah sang sekretaris, Velove yang ditatap seperti itu menjadi salah tingkah, bukan karena perasaan senang, tapi karena perasaan takut dan juga canggung. Apa mungkin dia salah bicara?
“Eh ya udah kalo Pak Dimas nggak ada yang mau dibeli, saya mau ke kasir dulu.” Perempuan itu kembali berbicara dan berjalan menuju tempat kasir, meninggalkan Dimas yang ternyata mengikutinya dari belakang.
Velove menyerahkan keranjang belanjaannya pada kasir dan langsung dihitung oleh kasir tersebut berapa total belanjaannya itu, seraya dimasukan ke dalam paperbag.
“Totalnya jadi tiga ratus enam puluh lima ribu Mba, pembayarannya mau pakai apa?” Tanya kasir tersebut.
“Pakai kartu bisa Mbak?”
“Bisa.” Kasir tadi menjawab.
Mendengar jawaban yang diberikan oleh sang kasir, Velove segera mengeluarkan kartu ATM-nya yang ada di dalam dompet dan hendak menyerahkan benda itu pada kasir yang ada di depannya, tapi lengannya sudah terlebih dulu ditahan oleh Dimas yang kini ada di sebelahnya.
“Pakai kartu ini aja.” Ucap Dimas seraya menyodorkan kartu miliknya pada kasir.
“Ini kan belanjaan saya, Pak. Mbak, ini pake kartu saya aja.” Velove yang tidak mau kalah mencoba untuk melepaskan cekalan tangan Dimas.
“Pakai kartu saya aja, Mbak. Ambil kartunya.” Ucap Dimas yang kemudian kartu lelaki itu diambil oleh sang kasir yang membuang Velove mendengus kesal.
Setelah Dimas menekan tombol untuk pin ATM-nya, perempuan itu menatap tajam pada sang atasan di sampingnya itu. “Itu kan belanjaan saya, Pak…”
“Saya yang traktir.” Ucap lelaki itu seraya memasukan kembali kartu miliknya yang diserahkan oleh kasir barusan.
“Ayo pulang.” Lanjutnya seraya berjalan meninggalkan Velove yang masih terdiam dia sana.
“Makasih ya, Mbak.” Lalu kemudian perempuan itu membawa langkah kakinya untuk menyusul Dimas di depannya dengan membawa paperbag yang cukup besar di kedua tangannya.
Oleh-oleh tadi tentu saja tidak akan Velove berikan hanya untuk, Naomi, Gino dan juga Dewa, tapi untuk karyawan-karyawan lain yang satu divisi dengannya. Oh, dan tentu saja untuk dirinya sendiri.
Selama tinggal di apartemen sang atasan, Velove jadi jarang sekali memakan cemilan. Padahal ketika di kostan, hampir tiap malam jika dirinya tidak lembur dia akan menonton drama korea atau membaca komik kesukaannya seraya memakan cemilan yang dia beli di minimarket.
“Oleh-olehnya taruh di kursi belakang aja.” Ucap Dimas saat kedunya sampai di dekat mobil.
Velove lantas menganggukan kepalanya sebagai jawaban, perempuan itu kemudian membuka pintu belakang mobil untuk menyimpan dua paperbag yang dia bawa tadi di sana. Setelahnya Velove kembali menutup pintu itu, dia lantas membuka pintu depan dan masuk ke dalam sana.
“Ada lagi yang mau kamu beli?” Tanya Dimas seraya menghidupkan mesin mobilnya.
“Nggak ada, kita langsung pulang aja.” Balas Velove yang kini tengah memasang sabuk pengamannya.
Lalu kemudian mobil hitam itu langsung melaju untuk keluar dari area pusat oleh-oleh tadi dan masuk ke jalan raya, ini sudah saatnya mereka kembali pada hiruk piruk kota Jakarta yang selama ini mereka jalani.
“Kamu kalo ngantuk, tidur aja.”
Mendengar hal itu Velove lantas menggelengkan kepalanya. “Saya nggak ngantuk, lagipula nanti kalo saya tidur, Pak Dimas nggak ada yang nemenin.”
“Kan kamu tidurnya masih di dalem mobil, bukan di hotel.”
“Bukan itu maksud saya.” Balas Velove dengan malas.
Entahlah, Dimas selalu merasa senang jika berhasil membuat sekretarisnya itu kesal padanya, apalagi saat Velove mulai mengeluarkan ekspresi-ekspresi yang menurut lelaki itu menggemaskan di matanya.
Kenapa Dimas baru merasakannya sekarang? Padahal Velove sudah hampir dua tahun ikut bekerja bersama dengannya. Apa mungkin karena akhir-akhir ini mereka menjadi lebih dekat? Entahlah, Dimas tidak ingin terlalu memikirkan hal itu.
“Pak Dimas kalo laundry baju biasanya dimana?” Velove kembali membuka suara.
“Di sebelah apartemen itu ada laundry, saya biasa laundry disitu.”
“Hah, emang iya? Kok saya baru tau.” Dengan tatapan tidak percaya Velove menatap ke arah Dimas.
“Kamunya aja yang nggak sadar kali.”
“Iya kali ya, padahal pas hari itu saya ke minimarket yang deket apartemen jalan kaki, tapi nggak lihat.”
“Kamu jalan kaki?”
Mendengar pertanyaan itu membuat Velove menganggukan kepalanya sebagai jawaban. “Iya.”
“Kenapa harus jalan kaki?”
“Lagian deket ini, tanggung kalo pesen ojek online.”
“Kamu kan bisa kasih tau saya biar saya anter.”
“Pak Dimas gimana sih? Kan pas hari itu tangan Pak Dimas lagi sakit.”
Ah, benar juga apa yang dikatakan oleh Velove. Tapi sebenarnya tangannya tidak sesakit itu, dia masih sanggup untuk menyetir mobil. Hanya saja jika Dimas mengatakan yang sebenarnya pada hari itu, dia yakin pasti perempuan itu tidak mau mengurusi bahkan sampai menginap di apartemennya.