Ratu Ani Saraswani yang dihidupkan kembali dari kematian telah menjadi "manusia abadi" dan dianugerahi gelar Ratu Sejagad Bintang oleh guru ayahnya.
Aninda Serunai, mantan Ratu Kerajaan Siluman yang dilenyapkan kesaktiannya oleh Prabu Dira yang merupakan kakaknya sendiri, kini menyandang gelar Ratu Abadi setelah Pendekar Tanpa Nyawa mengangkatnya menjadi murid.
Baik Ratu Sejagad Bintang dan Ratu Abadi memendam dendam kesumat terhadap Prabu Dira. Namun, sasaran pertama dari dendam mereka adalah Ratu Yuo Kai yang menguasai tahta Kerajaan Pasir Langit. Ratu Yuo Kai adalah istri pertama Prabu Dira.
Apa yang akan terjadi jika ketiga ratu sakti itu bertemu? Jawabannya hanya ada di novel Sanggana ke-9 ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rudi Hendrik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33. Budak Pingit Mengejar
Jadilah Elang Pingit bagian dari rombongan Ani Saraswani. Dia istimewa karena dia lelaki sendiri dan ganteng sendiri. Keistimewaannya bertambah karena hanya dia yang berstatus sebagai budak.
Drap drap drap…!
Kelima wanita dalam rombongan, semuanya berkuda. Elang Pingit istimewa. Dia sendiri yang tidak berkuda, tetapi berlari mengikuti kuda.
Meski dalam kondisi terluka dalam, tetapi Elang Pingit masih bisa berlari. Tidak ada pilihan lain yang diberikan oleh ratu barunya selain berlari mengikuti lari rombongan kuda.
Namun, jiwa kemanusiaan Ani Saraswani masih ada. Dia tidak terlalu kencang melarikan kuda, sehingga Elang Pingit selaku seorang pendekar yang mengaku sebagai lelaki sejati, masih bisa mengikuti di belakang.
Namun, jarak tempuh perjalanan yang jauh lama kelamaan membuat Elang Pingit lelah dan melemah.
Pada satu ketika, Elang Pingit berhenti. Dia merasa tidak sanggup lagi untuk berlari mengejar kelima kuda.
“Gusti Ratu! Budak Elang berhenti!” seru Sulaman kepada Ani Saraswani. Dia yang posisinya di belakang tahu bahwa Elang Pingit berhenti berlari.
“Biarkan, jika dia hilang dari pandanganmu, susul dan seret pakai tali,” jawab Ani Saraswani tanpa menengok ke belakang untuk melihat Elang Pingit. Dia pun tidak memelankan lari kudanya.
“Baik, Gusti!” sahut Sulaman.
Akhirnya, Sulaman berulang kali menengok ke belakang sambil terus memacu kudanya. Dia memandangi Elang Pingit yang sedang rukuk terengah-engah dan terus menjauh posisinya di belakang.
Untung, saat itu jalan yang mereka lewati treknya lurus, sehingga Elang Pingit tetap tertangkap oleh pandangan Sulaman.
“Budak Elang terbang mengikuti kita, Gusti Ratu!” teriak Sulaman lagi.
Teriakan pengawal itu kali ini membuat Ani Saraswani dan ketiga wanita lainnya menengok ke belakang untuk melihat Budak Elang Pingit.
Mereka sama-sama menyaksikan, Elang Pingit sedang terbang di udara seperti elang raksasa berbulu hitam. Arah terbangnya mengejar rombongan kuda. Sepertinya dia tidak punya niat kabur dari rombongan Ani Saraswani. Mungki dia berpikir, lebih baik jadi budak wanita cantik daripada jadi buruan wanita cantik.
Jadi, seperti ini kronologinya.
Ketika Elang Pingit sudah tidak mampu lagi berlari, quota kecerdasannya yang terbatas masih punya akal.
Dengan menggunakan sisa kekuatan dengkulnya yang masih tersisa, Elang Pingit berlari ke sebatang pohon besar. Sebagai seorang pendekar, dia masih bisa memanjat pohon yang tinggi.
Dari dahan yang tinggi, melompatlah dia untuk terbang, bukan untuk bunuh diri. Awalnya, tubuhnya meluncur menuju tanah, tapi kemudian melengkung naik saat dia cepat mengepakkan sayap kalongnya. Setelah itu, dia pun mengatur terbangnya yang didukung oleh arah angin yang selaras.
Setelah itu, Ani Saraswani kembali menghadapkan wajahnya ke depan dan tidak mengomentari. Tindakan Ani itu membuat yang lainnya melakukan hal yang sama, kecuali Sulaman yang sesekali masih menengok ingin tahu kondisi Elang Pingit.
Ternyata, Elang Pingit mampu mengejar dan mendekatkan jarak dengan rombongan. Setelah dekat, Elang Pingit mengatur sayapnya agar terbangnya lebih lambat.
Ani Saraswani dan keempat abdi wanitanya membiarkan Elang Pingit gembira dengan dunia penerbangannya.
Cukup jauh Elang Pingit mengikuti dengan terbang. Namun, ketika rombongan melewati jalan yang tertutupi oleh naungan deretan pepohonan sehingga seperti lorong, Elang Pingit tidak mampu menghindari dahan-dahan yang melintang di atas jalan.
Bsruakr!
Elang Pingit menabrak dahan pohon, memaksanya jatuh ke bawah, bukan ke atas.
Blugk!
“Akk!”
Erang Elang Pingit setelah menghantam tanah keras jalanan.
“Hahaha!” tawa Nyai Bale, Sulastri dan Sulaman.
Ketika Elang Pingit menabrak dahan, mereka bertiga sudah menengok ke belakang. Dan ketika pemuda itu jatuh ke tanah, maka tertawalah mereka.
Sementara Ani Saraswani dan Cira Keling tidak peduli dengan ulah dan apa yang menimpa si budak itu. Yang terpenting dia tidak kabur.
Elang Pingit hanya mengerang sedikit. Dia buru-buru bangkit, lalu berlari mengejar karena rombongan kuda terus berlari menjauh.
Sempat mengistirahatkan kakinya agak lama saat terbang, membuat Elang Pingit kini memiliki energi untuk berlari kembali.
Ketika rombongan itu melalui jalan menurun, dengan senang hati Elang Pingit kembali terbang. Bahkan dia terbang di atas rombongan. Namun, dia tetap tidak berani melampaui posisi kuda junjungan barunya.
“Hahaha!” tawa Elang Pingit saat dia terbang cukup dekat di atas posisi Sulastri dan Sulaman. Sepertinya suasana hatinya sudah tidak punya beban.
“Apa yang kau tertawakan, Budak Elang?” tanya Sulastri dengan setengah berteriak.
“Apakah kalian tidak tertarik menjadi burung sepertiku?” tanya Elang Pingit yang mampu mengimbangi kecepatan lari rombongan kuda.
“Kami tidak mau mati dipanah oleh pemburu!” sahut Sulaman seraya tersenyum.
“Hahaha!” tawa Elang Pingit lagi. “Aku bisa menjadi guru kalian. Percayalah kepadaku!”
“Hihihi…!” tawa Sulastri dan Sulaman mendengar kata-kata Elang Pingit yang lupa bahwa dia kini adalah seorang budak.
“Jika kalian mau menjadi murid burungku, aku akan berubah menjadi lelaki sejati yang tampan!” seru Elang Pingit lagi.
“Hihihi…!” Kian kencang tawa Sulastri dan Sulaman mendengar obralan Elang Pingit.
Drap drap drap…!
Mendengar rayuan Elang Pingit, Ani Saraswani menambah kecepatan kudanya tanpa terlalu mencolok. Dalam arti, wanita bermata biru itu menambah kecepatan kudanya secara perlahan, tidak tiba-tiba, yang mau tidak mau para abdinya mengikuti.
Maka dengan cepat pula rombongan itu meninggalkan Elang Pingit. Hal itu membuat si pemuda tidak bisa merayu Sulastri dan Sulaman lagi. Dia pun menambah kecepatan terbangnya.
Tiba-tiba rombongan berkuda itu mengerem laju kudanya hingga kemudian berhenti. Mereka kini berada di salah satu sisi kaki gunung yang tidak begitu tinggi.
Ternyata jalan yang akan mereka lalui di depan telah ditutup oleh sekelompok prajurit yang warna seragam militernya hitam-biru-hitam, yang menjadi warna ciri khas prajurit Kerajaan Teluk Busung.
Terlihat jelas bahwa jalan tidak seperti jalan bebas lainnya. Agak jauh di sisi kanan jalan ada bangunan kayu yang menyerupai barak militer, lengkap dengan asesoris kemiliteran, seperti adanya bendera kuning bintik-bintik cokelat yang tak manis dan tak teratur, sehingga terlihat seperti bendera bercorak kulit macan tutul.
Itu adalah bendera Kerajaan Teluk Busung.
Selain bendera kuning yang cukup besar itu, ada juga panji berwarna merah-merah.
Agak jauh di seberang jalan, ada juga bangunan kayu yang lebih kecil, tetapi juga memiliki asesoris kemiliteran.
Terkejut Elang Pingit melihat rombongan berkuda berhenti cukup mendadak. Dia tidak memiliki rem darurat. Jadi, meski dia telah memelankan laju terbangnya, tetap saja dia melewati atas rombongan Ani Saraswani dan akan lewat di atas pasukan prajurit yang menutup jalan.
“Waaak!” pekik Elang Pingit.
Melihat pergerakan Elang Pingit di udara, sepuluh prajurit panah segera bergerak serentak mengarahkan arah senjatanya ke atas, siap memanah Elang Pingit.
“Jangan panah!” seru Nyai Bale, tapi pandangannya bukan kepada pasukan panah, tetapi kepada sesosok prajurit yang berdiri gagah di depan pagar bangunan di sisi kanan jalan.
Lelaki berbadan kekar tanpa baju itu mengenakan asesoris perwira, tapi hanya secukupnya karena memang pangkatnya hanya seorang komandan. Lelaki berusia empat puluh delapan tahun kurang tiga hari itu bernama Komandan Rorotang. Rambutnya di gelung di atas kepala. Ada kumis tipis di bawah hidungnya.
Di belakang Komandan Rorotang berbaris sekumpulan prajurit yang seragamnya sama warna dengan seragam para prajurit yang menutup jalan.
“Jangan panah!” teriak Komandan Rorotang cepat, menindaklanjuti permintaan Nyai Bale.
Para prajurit panah segera menahan gerakannya dan menarik turun tangannya. Hal itu membuat Elang Pingit lewat dengan aman di atas kelompok prajurit tersebut.
Set!
“Akk!” pekik Elang Pingit saat tiba-tiba ada sebatang tombak melesat dari sisi lain. Jeritannya hanya wujud keterkejutannya.
Sebagai seorang pendekar, Elang Pingit bukan sekedar manusia burung. Dengan gerakan yang kecil tapi cepat, dia menghindarkan badannya dari tombak yang melesat.
Tak!
Elang Pingit memang berhasil menyelamatkan raganya dari maut, tetapi tombak itu berhasil mengenai tulang sayapnya. Hal itu merusak bagian kanan sayapnya dan membuat terbang Elang Pingit rusak keseimbangannya.
Elang Pingit seketika terbang menukik dan menabrak gapura bambu yang ada di sisi kiri jalan.
Brakr!
“Aaakk!” erangnya kesakitan dengan tubuh meringkuk. Kedua tangannya memegangi kaki kanannya yang menderita benturan keras dengan batang bambu gapura. (RH)
tapi kalau Om belum juga berniat menyudahi perkara lubang ini, tolong keinginan Bg@😎 ȥҽɳƙαɱʂιԃҽɾ 😎 Om penuhi dengan memberi nama Lubang Kenikmatan untuk satu tokoh baru🤦😭🤣
nyawa ya seperti gk ada hargaya
nasib para prajurit 😭
sepertinya kentang kebo gk membiarkan kalian hidup dengan tenang
yg pastinya ingin bermain bersama kalian para prajurit sampai para prajurit mati kecapean 🤪
gk kasian apa kentang kebo ama prajurit yg dah gaji kecil taruhannya nyawa lg🙈
pasti pada kaget jantung ya tuh para prajurit🙈
awas Om jawab itu kategori dungu atau goblokk!😭😆