Ganendra pernah hampir menikah. Hubungannya dengan Rania kandas bukan karena cinta yang pudar, tapi karena ia dihina dan ditolak mentah-mentah oleh calon mertuanya yang menganggapnya tak pantas karena hanya pegawai toko dengan gaji pas-pasan. Harga dirinya diinjak, cintanya ditertawakan, dan ia ditinggalkan tanpa penjelasan. Luka itu masih membekas sampai takdir mempertemukannya kembali dengan Rania masa lalunya tetapi dia yang sudah menjalin hubungan dengan Livia dibuat dilema.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 9
POV Ganendra
Aku tahu aku seharusnya tidak datang. Tapi ada sesuatu yang memaksaku.
Mungkin egoku. Mungkin hatiku yang belum sembuh. Atau mungkin aku hanya ingin melihatnya untuk terakhir kali Rania.
Kupikir aku siap. Tapi ketika melihatnya duduk di pelaminan, tersenyum untuk pria lain, rasanya seperti ditusuk dari dalam.
Aku hanya bisa menahan napas. Menahan harga diriku yang koyak.
Tapi saat aku menatap mata Rania aku tahu dia belum sepenuhnya pergi.
Ada tatapan yang tak sempat bicara. Ada luka yang masih tinggal.
"Semoga kamu bahagia, Rania."
Itu saja. Setelahnya aku pergi. Dengan tubuh yang goyah, tapi hati yang akhirnya memutuskan untuk melepas.
Mungkin aku memang kalah hari ini. Tapi aku akan kembali. Bukan untuk membuktikan ke mereka. Tapi untuk membuktikan ke diriku sendiri bahwa aku masih bisa berdiri.
Langit mendung menggantung di atas gang-gang kota. Angin sore meniupkan debu ke wajah Ganendra yang berjalan sendirian, langkahnya lesu, kemeja putihnya sudah kusut dan matanya sembab.
Sesekali ia menyeka air matanya dengan ujung lengan. Bukan karena malu, tapi karena sedih yang tak bisa lagi ditahan. Hinaan Pak Darto dan Bu Erna masih menggema di telinganya, suara-suara tawa sinis para tamu masih menancap dalam kepalanya.
"Ganteng doang, tapi nggak punya masa depan..." Cibirnya.
"Cuma tamatan SMA, mimpi nikahin anak orang kaya." Ejeknya.
"Kerja aja nggak punya, berani datang ke pernikahan mantan." sindirnya.
Ganendra tersenyum kecil. Tatapannya tenang, tapi sorot matanya menyimpan luka yang sudah lama ia kubur.
"Kamu benar... aku cuma tamatan SMA. Tapi aku belajar lebih banyak dari hidup bukan dari bangku kuliah."
Ia melangkah maju satu langkah, menatap langsung ke arah si pengejek dan orang-orang yang mendengarkan.
"Aku memang nggak punya gelar. Tapi aku punya keberanian buat datang ke tempat yang bahkan kamu sendiri mungkin nggak akan berani datangi kalau kamu di posisiku."
Suaranya tidak meninggi, tapi jelas dan tajam.
"Aku memang nggak sekaya calon pengantin itu. Tapi aku datang bukan untuk menunjukkan dompetku. Aku datang untuk mengikhlaskan dan mendoakan."
Ia menoleh sekilas ke arah pelaminan, lalu kembali menatap mereka.
"Dan soal masa depan? Mungkin aku belum sampai tapi setidaknya aku nggak pernah pura-pura jadi siapa-siapa. Aku datang sebagai diriku sendiri. Bukan topeng."
Lalu Ganendra tersenyum lagi, kali ini lebih tenang.
"Jadi silakan hina aku sesuka kalian. Tapi jangan pernah lupa yang paling kehilangan bukan orang yang ditinggalkan. Tapi orang yang membiarkan orang tulus pergi dari hidupnya."
Setelah itu, Ganendra membalikkan badan, berjalan meninggalkan pesta, membawa kepedihan dan harga diri yang tak bisa dibeli.
Hatinya perih. Tapi anehnya, bukan itu yang paling menyakitkan. Yang paling menyakitkan adalah saat Rania tak melakukan apa-apa. Tak berkata apa-apa. Hanya menatap dan membiarkannya pergi.
Dalam perjalanan pulang, pikirannya kacau. Tapi satu tekad terlintas di benaknya.
"Aku nggak bisa begini terus. Aku harus bangkit cari kerja. Apa saja."
Keesokan harinya, ia mulai mencoba.
Ia datang ke toko kelontong, ke minimarket kecil, ke bengkel motor, bahkan ke warung makan.
Tapi hasilnya nihil.
"Maaf, kita butuh yang lulusan D3."
"Kita nggak terima pegawai sakit-sakitan."
"Kamu bisa komputer? Nggak? Maaf."
"Kamu siapa ya? Kok keliatannya nganggur lama?"
"Ganendra? Oh… yang diusir waktu nikahan Rania itu, ya?"
Tertawa. Lagi-lagi tertawa.
Setiap pintu ditutup dengan alasan yang berbeda tapi ujung-ujungnya sama: yaitu penolakan.
Ada yang menatapnya dari atas ke bawah dengan pandangan jijik. Ada yang tertawa kecil, menyindir, seolah hidupnya bahan hiburan.
"Ganteng sih... tapi kalau nggak punya skill, ya percuma. Dunia butuh otak, bukan cuma muka."
Komentar itu dilontarkan oleh seorang petugas HRD di sebuah toko elektronik, dengan senyum mengejek.
Ganendra mengangguk pelan dan beranjak pergi tanpa berkata sepatah pun. Lagi-lagi menahan air mata. Lagi-lagi menelan pahit sendirian.
Malam hari turun hujan. Deras, seolah langit pun ikut menangis bersama hati yang patah. Jalan-jalan basah, lampu-lampu jalan memantulkan cahaya temaram, dan suara gerimis memukul-mukul genting rumah-rumah tua di gang kecil itu.
Pukul delapan malam lewat, Bu Siti masih menunggu di teras. Ia duduk di kursi kayu reyot dengan selimut tipis menutupi bahunya. Matanya tak lepas dari gang sempit yang gelap, penuh air dan genangan.
Lalu sosok itu muncul dari kejauhan.
Langkahnya pelan. Tubuhnya kuyup. Kemeja putihnya menempel di kulit, rambutnya basah, dan wajahnya ah, wajah itu terlihat seperti dunia telah menghancurkannya habis-habisan.
"Ya Allah… Ganendra..."
Bu Siti langsung berdiri. Ia berlari kecil ke arah anaknya, memayungi dengan tubuhnya sendiri.
"Kamu dari mana aja, Nak? Basah begini… kamu kenapa?"
Ganendra tak menjawab. Ia hanya diam. Matanya kosong. Napasnya berat. Tangannya dingin.
Air hujan bercampur dengan air mata, dan Bu Siti tahu anak itu sedang menyimpan duka yang tak bisa diceritakan dengan kata.
Ia menggenggam wajah Ganendra, menatap dalam-dalam.
"Ibu tahu kamu capek tapi pulang, Nak. Pulanglah... jangan simpan semuanya sendiri."
Ganendra menggigit bibir, lalu menangis. Untuk kesekian kalinya hari itu.
Tapi kali ini, bukan di depan orang asing. Bukan di tengah keramaian yang menghakimi.
Tapi di pelukan seorang ibu, satu-satunya tempat ia bisa hancur tanpa harus merasa malu.
"Bu... aku nggak diterima kerja di mana-mana. Mereka bilang aku nggak cukup pintar, nggak cukup kuat mereka bilang aku gagal, Bu..."
Bu Siti menarik anaknya ke pelukan, erat.
"Kamu nggak gagal, Ganen. Kamu cuma sedang diuji ujian ini berat, Ibu tahu. Tapi kamu nggak sendiri. Kamu masih punya Ibu. Dan selama Ibu masih hidup kamu nggak akan kehilangan segalanya."
Di tengah hujan yang terus mengguyur, mereka berdiri di ambang pintu rumah berpelukan dalam keheningan yang menyayat, dalam cinta yang tak bersyarat.
Sudah sebulan berlalu sejak pesta pernikahan itu. Sejak Ganendra berdiri di pelaminan sebagai tamu tak diundang, dan pulang dalam keadaan basah kuyup serta hati yang remuk.
Selama satu bulan penuh, setiap pagi ia berangkat dengan semangat yang dipaksakan, membawa map lamaran kerja yang semakin lecek, dan setiap sore ia pulang dengan wajah yang makin kuyu dan mata yang lebih merah dari kemarin.
Toko, pabrik kecil, tempat cuci motor, warung makan, semuanya menolak.
Ada yang sopan, ada pula yang sinis.
"Kami butuh yang lebih muda."
"Maaf, kamu sakit-sakitan, ya?"
"Tamatan SMA aja? Susah, Bro."
Dan yang paling menyakitkan bukan dari orang asing. Lalu muncullah Tania, adik Rania, bersama dua temannya dan seorang sepupu mereka, Niko.
Di lobi kantor itu, Ganendra berdiri dengan map cokelat di tangan. Kemeja birunya sederhana tapi rapi. Wajahnya sedikit lelah, tapi sorot matanya tetap jernih.
Saat itulah suara familiar menyapanya samar, tapi cukup menusuk. Mereka mengenali Ganendra seketika.
"Eh... Ganendra? Masih hidup ternyata!" Tania tertawa kecil, menyeringai dengan gaya manja yang menjengkelkan.
"Masih nganggur juga, ya? Tumben nggak hujan-hujanan sekarang." timpal salah satu temannya sambil tertawa.
"Dulu sok romantis, dateng-dateng ke nikahan Rania pakai kemeja lusuh. Nggak malu? Mau bikin adegan sinetron kayaknya." kata Niko, sepupu mereka, dengan nada penuh ejekan.
"Eh, jangan-jangan ini calon pelamar yang waktu itu sok romantis datang ke nikahan Rania pakai kemeja lusuh?" suara Edo penuh sindiran terdengar jelas.
Ganendra menoleh pelan. Tania berdiri di sebelah Niko, menatapnya dari ujung kaki sampai kepala.
"Masih ganteng sih, Gan. Tapi percuma juga kalau masa depan masih kayak karung kosong," ucap Tania sambil tersenyum miring, sengaja dikeraskan agar staf di sekitar melirik.
Ganendra menarik napas. Sempat terdiam. Tangannya masih menggenggam map lamaran kerja, tapi ia angkat wajahnya, seketika tenang.
"Iya, aku memang pernah datang pakai kemeja lusuh ke nikahan mantan. Dan waktu itu, aku nggak bawa apa-apa kecuali keberanian buat melepas seseorang yang aku sayang tanpa dendam."
Ia menatap mereka satu per satu. Nada suaranya tidak meninggi. Tapi tajamnya terasa menusuk langsung ke dalam.
"Sekarang, aku memang sedang cari kerja. Nggak malu. Karena setidaknya aku nggak pura-pura kaya, nggak hidup di balik nama besar orang lain, dan nggak bangga menjatuhkan orang lain buat merasa hebat."
"Kalian boleh lihat aku rendah sekarang yang kalian sebut ‘karung kosong’ ini... setidaknya masih bersih. Nggak penuh caci, iri, dan sombong yang dibungkus gaya."
Tania tercekat. Niko tak lagi tertawa.
Ganendra mengangguk sopan. "Hidup ini lucu. Dulu kalian tertawa karena aku pergi dari Rania. Sekarang, kalian masih tertawa karena aku belum jadi siapa-siapa. Tapi aku yakin orang yang jalannya benar, nggak akan selamanya jadi bahan lelucon."
Ia pun melangkah pelan ke ruang wawancara, meninggalkan dua orang yang tiba-tiba kehilangan bahan tawa.
Dan untuk pertama kalinya, Niko dan Tania sadar kadang yang paling berkelas bukan yang duduk di atas, tapi yang tetap berdiri meski terus dijatuhkan.
Ganendra hanya diam, menunduk. Tangannya mengepal di bawah meja. Tapi ia tahu, membalas hanya akan membuatnya lebih terlihat rendah.
Dan malam harinya, ia duduk di beranda rumah. Menatap langit, Hening dingin sakit. Tapi matanya tak menangis lagi. Seakan air matanya sudah habis.
"Kalau memang takdirku dibenci semua orang, maka aku akan belajar hidup tanpa pengakuan mereka."
"Aku nggak akan berharap dunia bersimpati lagi. Tapi aku akan buktikan bahwa aku bisa."
Tapi dengan apa? Ia belum tahu.
Yang pasti, luka ini sudah terlalu dalam untuk terus disembunyikan.