"Apa yang sebenarnya membuat Mas enggan menyentuhku? Mas bahkan selalu menghindar jika aku membicarakan hal itu. Apapun jawaban Mas, aku akan berusaha ikhlas. Setidaknya Mas bicara. Jangan diam seolah-olah hubungan kita itu normal seperti pasangan suami istri yang lain.”
Banyu mengangkat wajahnya. Tanpa bicara apapun, ia segera meraih jas yang ia letakkan di kursi makan lalu melangkah pergi meninggalkan Haura.
***
Pernikahan yang Haura harapkan bisa mendatangkan kebahagiaan itu nyatanya tidak seindah yang gadis itu harapkan. Banyu, lelaki yang enam bulan ini menjadi suaminya nyatanya masih enggan memberikan nafkah batin kepadanya. Lelaki itu terus menghindarinya jika gadis itu mengungkit masalah itu.
Tentu saja itu menjadi pertanyaan besar untuk Haura. Apalagi saat perdebatan mereka, Haura tidak sengaja menemukan sebuah kalung indah berinisial 'H'.
Apakah itu untuk dirinya? Atau apakah kalung itu menjadi jalan jawaban atas pertanyaan besarnya selama i
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Edelweis Namira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MEMBUAT PERKARA
Haura sudah menguap berapa kali sembari menahan kantuk yang semakin menjadi-jadi. Omongan Banyu yang sebenarnya memberikan banyak masukan terhadap pekerjaannya terdengar seperti lagu Nina Bobo yang sangat cocok untuk menidurkan anak-anak. Haura sudah mencoba melebarkan matanya. Hanya saja kemampuannya yang tidak tahan tidur terlalu larut membuatnya lebih banyak melakukan hal lain untuk mengusir kantuknya daripada mendengarkan Banyu.
"Besok saya mau lihat perbaikan dari kamu. Sesuai dengan arahan saya tadi. Kemungkinan hasil dari Hania, nantinya akan coba kita sandingkan. Jadi saya harap kamu bisa merevisinya segera."
Kalimat penutup yang sangat serius itu membuat Haura bisa menghela napasnya dengan lega. Akhirnya ia sudah bisa tidur nyenyak di kasurnya. Tidak lagi mendengarkan penjelasan Banyu yang akan membuatnya lebih mengantuk.
"Kamu dengar saya bicara, Ra?"
Haura menoleh, lalu mengangguk. "Aku tidur dulu, ya." Haura lalu beranjak berdiri. Ia sudah sangat mengantuk.
"Kita belum selesai lho," tegur Banyu tanpa senyum sama sekali.
Haura menoleh kepada Banyu yang masih duduk dengan sebuah laptop di depannya.
"Besok lagi deh. Subuh-subuh. Jam segini kalau dipaksa juga nggak masuk, Mas."
Banyu menepuk sisi sofa sebelahnya. Matanya masih terarah kepada Haura yang kini menatapnya sayu.
"Duduk dulu sebentar," kata Banyu tegas. Haura akan baru saja akan protes. Namun, Banyu lebih dulu bersuara. "Dikit lagi. Nanggung ini. Nanti subuh kamu juga susah banget bangunnya. Masa mau kalah dari Hania yang menyelesaikan semuanya cuma dalam hari. Dia lembur hampir tiap hari lho, Ra."
Muka Haura semakin ditekuk. "Kalau gitu buat aja bareng dia. Jangan sama aku."
"Jangan kekanak-kanakan begini, Ra. Kita lagi membahas masalah pekerjaan. Sikap kamu begini membuat kamu terlihat tidak profesional."
Haura merubah arah badannya. Kini ia sempurna menghadap Banyu. Lelaki di depannya itu masih memasang wajah mode datar.
"Apa? Mau ngambek lagi? Ngancam mau pindah departemen lagi?" tanya Banyu kemudian dengan raut sinis.
Hening. Haura kemudian menatap Banyu tidak kalah sinis. Senyumnya seperti menantang Banyu.
"Cerai aja, yuk!" ajak Haura seperti mengajak Banyu pergi makan seblak. Begitu enteng dan tenang. Tidak ada keraguan di matanya.
Mata Banyu otomatis melebar. Ia kemudian berdiri berhadapan dengan Haura. "Berhenti mengatakan hal itu." Tatapan Banyu begitu tajam seakan siap menerkam Haura. Tangannya mengepal kuat di sisi tubuhnya.
Bagaimana bisa hanya karena masalah sepele seperti ini, tiada angin tiada hujan, Haura justru mengatakan kata yang paling ia benci itu. Bahkan tatapan tajam Banyu tidak sedikit pun membuat perempuan ini gentar. Matanya justru membalas tajam tatapan itu.
"Kenapa? Bukannya bagus, ya? Dengan begitu kita berdua bisa sama-sama bebas. Mas bisa mengejar cinta perempuan idaman Mas. Aku pun bisa fokus dengan diriku sendiri."
"Bicaramu mulai melantur. Lebih baik kamu istirahat." Bicara Banyu mulai melunak, begitu pula tatapannya.
Haura berdecak sembari memutar bola matanya dengan sinis. Bisa-bisanya Banyu baru menyuruhnya istirahat sekarang. "Kenapa, Mas? Takut perceraian itu bisa membuat citra baik Mas rusak? Pernikahan kita ini dari awal memang tidak pantas untuk dipertahankan. Kamu sakit, aku pun sakit Mas. Atau bahkan, Hania juga sakit."
"Jangan sebut nama Hania, Ra. Urusan dengannya hanya urusan pekerjaan. Tidak pantas kamu membawa namanya dalam urusan kita."
"Nggak ada urusannya? Mas waras? Mas benar-benar lupa? Mau aku ingatkan kejadian malam itu? Kamu bahkan menyebut nama- Hmmmph....!"
Banyu langsung membungkam mulut Haura dengan ciuman. Haura berusaha mendorong bahu lelaki tersebut. Matanya bahkan masih melebar karena masih terkejut dengan yang dilakukan Banyu.
"Le..Hmmmph...Mas lepas....!" Berhasil. Haura berhasil mendorong bahu Banyu setelah ia hampir kehilangan napasnya karena ciuman Banyu yang begitu menuntut. "Kamu gila?!" Napas perempuan itu masih terengah-engah.
Begitu pula Banyu. Lelaki itu menatap bibir Haura yang membengkak karena ulahnya. "Jangan memancing amarah saya, Ra. Tanpa kamu ingatkan pun perasaan bersalah itu terus memenuhi pikiran dan hati saya. Saya hanya meminta padamu, jangan pernah mengungkit masalah perceraian. Saya mohon."
Haura menatap Banyu penuh kebencian. "Gila! Kamu gila, Banyu!" Dada Haura kembang kempis lalu berjalan keluar dari ruangan kerja Banyu.
Sementara itu, Banyu terduduk kembali. Begitu menyesali perbuatannya pada Haura. Ia kemudian menunduk dan mengacak rambutnya dengan kasar.
"Aarrgh...!"
...***...
"Haura mana, Daf? Kenapa hanya Hania di sini?" tanya Banyu saat datang ke ruang rapat hanya ada Hania yang sudah berada di ruangan itu. Padahal tadi pagi Daffa sudah mengirimkan pemberitahuan yang ia lanjutkan dari Banyu.
"Saya telepon dulu ya, Pak." Daffa segera meraih ponsel dan menekan kontak Haura.
Sementara Banyu duduk di kursi utama dengan gusar. Setelah pembicaraan mereka semalam, Haura benar-benar menghindarinya. Ia bahkan pergi ke kantor pagi-pagi buta. Saat Banyu menatapnya, Haura sengaja mengalihkan pandangan. Sekarang Banyu tahu, semakin keras ia bersikap kepada Haura, maka semakin keras pula pembalasannya kepada Banyu.
"Kayaknya Haura masih dengan Pak Saga, Pak." Hania tiba-tiba bersuara. Memecah kesunyian di ruangan itu.
Banyu menaikkan satu alisnya. "Maksud kamu apa?"
"Saya tidak sengaja melihat Haura pergi ke luar kantor bersama Pak Sagara tadi."
Belum ada tanggapan dari Banyu. Tiba-tiba Daffa muncul. Wajahnya tampak pias. Haura pasti sedang tidak bisa dihubungi.
"Ponselnya tidak aktif, Pak." Tanpa ditanya, Daffa lebih dulu menjawab. "Kamu tidak tahu dia ke mana, Han?"
Hania menggeleng. "Aku hanya melihatnya keluar bersama Pak Saga. Itu saja."
"Baik. Kita tunggu lima belas menit lagi." Banyu berusaha menekan segala emosi yang bercokol di dadanya. Pandangannya lantas terarah kepada Hania. "Kami boleh kembali ke ruanganmu dulu, Hania."
"Tapi Pak kita harus segera me-"
Tangan Banyu terangkat ke atas-kode untuk Hania agar berhenti protes. "Kita masih punya waktu. Kamu tenang saja."
Hania terdiam. Perempuan itu menatap Banyu yang sedang sibuk dengan ponselnya, lalu beralih ke Daffa. Lelaki itu hanya mengangguk, seolah menjadi instruksi agar Hania menuruti perintahnya Banyu. Akhirnya Hania pun keluar, meninggalkan ruang rapat dengan mulut terkatup rapat dan tangan yang mengepal.
"Di luar hujan, Pak. Bisa jadi Haura tidak bisa kembali sekarang karena hujan." Daffa bersuara.
Banyu tidak menjawab apapun. Tatapannya tajam. Jemarinya mengetuk-ngetuk meja. Ia tidak mengerti mengapa sifat keras kepala Haura sangat membuatnya resah. Ia sangat takut istrinya itu melakukan hal yang aneh-aneh. Kabur misalnya, atau malah selingkuh.
"Saya coba tunggu di luar. Kamu segera ke ruangan saja, Daf." Tidak perlu menunggu menunggu Daffa mengiyakan, Banyu segera beranjak dari kursinya lalu melangkah cepat keluar ruangan.
Lelaki itu tampak cemas. Terlebih dengan kondisi Haura yang sedang kesal dengannya. Banyu segera masuk ke lift dan menekan tombol 1 untuk bisa segera ke area lobi. Pintu lift pun terbuka, Banyu segera melangkah cepat hendak keluar.
Daffa benar, hari sedang hujan. Rasa khawatir tiba-tiba melingkupi hatinya. Meskipun sebenarnya Banyu tahu, ia tidak perlu terlalu keras mengkhawatirkan Haura jika benar gadis itu pergi bersama Sagara.
Pandangan Banyu akhirnya berhenti di satu titik. Fokus yang membuatnya mengatupkan mulutnya dengan rahang yang mengetat. Di depannya, tepat dua orang yang baru saja sampai di depan kantor. Keduanya tampak akrab. Bahkan jas kerja milik lelaki itu terpakai oleh si perempuan yang sedang mengeringkan rambutnya itu.
Hingga tiba-tiba, saat tangan lelaki itu membantu si perempuan mengeringkan rambutnya, kemarahan Banyu tidak bisa ditahan lagi.
"SAGARA!!!"
Tidak hanya si lelaki yang menoleh. Namun, yang berada di sekitarnya pun ikut menoleh. Namun, Banyu tidak peduli. Langkahnya semakin cepat, hingga bisa mencapai tangan Sagara yang berada di rambut Haura. "Singkirkan tangan sialanmu itu dari rambut istriku, Brengsek!"
Hari itu menjadi kali pertama seorang Banyuadjie yang terkenal dengan citra baiknya membuat perkara di kantornya sendiri.
*
*
*
Hai gaes, maaf ya baru update. mohon doanya krn lagi tidak enak badan.
Btw, kemungkinan nanti cerita ini akan aku rombak. Jadi jangan heran kalau nanti agak berubah ya. Terima kasih :)
Kenapa Haura...?? yaa karena dia istrinya. lahh kamu siapa.. hanya masa lalu..
Pilihan yg tepat buat kembaliin projeknya Haura, dg begitu dia gak akan tantrum minta pindah departemen lagi. 😂
Satu buat Hania, emang enak. Udh ditolak terus Haura dipuji-puji lagi. makiin kebakaran gak tuuh... 😂😂
kamu cantik jelas terlihat apa adanya.
sedangkan yg jadi bandingan kamu, cerdas kalem, tapi licik.. ada udangnya dibalik bakwan..
gak kebayang gimana kalo Daffa tau tentang ini..
Gak dapet dua-duanya baru nyaho kamu Han.
Yang lain aja slow, ngapain km repot2 jelasin.. yaa kecuali km ada mksud lain..
maaf ya Han, sikap mu bikin saya su'udzon..
Novel kedua yg aku baca setelah kemren Arsal-Ayra yg menguras esmosi... mari sekarang kita jadi saksi kisah Haura - Banyu akan bermuara dimana akhirnya. Karena pernihakan bukan berarti akhir kisah sepasang anak manusia. Jika bukan jodohnya mereka bisa saja berpisah, dan kembali mencari tulang pemilik tulang rusuk yang sesungguhnya. Jika sudah jodohnya, mungkin hanya maut yg memisahkan mereka di dunia.
Semangat ka... sukses selalu untuk karyanya.. ❤
Berdoa aja, semoga Haura lupa sama ngambek dan traumanya..
Mahalan dikit napa, masa nyogok poligami cuma es kriim.. minimal nawarin saham ke..
Baru launching udh ketahuan sumber ghibahnya... anggota lain langsung pada ngaciiir kabuuuur ..
makasih up langsung 2..
Good job Ra, saya dukung... ayooo buat Air semakin jatuh dalam penyesalan...