Violetta Madison gadis 20 tahun terpaksa menyewakan rahimnya demi membayar hutang peninggalan kedua orangtuanya. Violetta yang akrab dipanggil Violet itupun harus tnggal bersama pasangan suami istri yang membutuhkan jasanya.
"Apa? Menyewa rahim ?" ucap Violet,matanya melebar ketika seorang wanita cantik berbicara dengannya.
"Ya! Tapi... kalau tidak mau, aku bisa cari wanita lain." ucap tegas wanita itu.
Violet terdiam sejenak,ia merasa bimbang. Bagaimana mungkin dia menyewakan rahimnya pada wanita yang baru ia kenal tadi. Namun mendengar tawaran yang diberikan wanita itu membuat hatinya dilema. Di satu sisi, uang itu lebih dari cukup untuk membayar semua hutang-hutangnya. Namun disisi lain,itu artnya dia harus rela kehilangan masa depannya.
"Bagaimana... apakah kau tertarik ?" tanya wanita itu lagi.
Violet tesentak,ia menatap wanita itu lekat. Hingga akhirnya Violet mengangguk tegas. Tanpa ia sadar keputusannya itu akan membawanya kepada situasi yang sangat rumit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irh Djuanda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kepedulian Adrian
Eva masuk ke kamarnya,ini bukan pertama kalinya ia melihat pertengkaran diantara kedua majikannya.Tapi ia merasa sikap Adrian jauh berbeda. Tak seperti biasanya, pria itu selalu mengalah dan merayu Claudia di saat itu juga. Pertanyaan besar menyelimuti pikiran nya , tiba-tiba ponselnya menyala . Panggilan masuk dari majikannya, Adrian. Dengan cepat Eva mengangkatnya,
"Ya Tuan, Anda di mana ?" tanya Eva pelan.
"Dengarkan aku, bawa Violet ke rumah yang sudah aku siapkan. Jangan sampai Claudia tau. Dan kau ikut bersamanya. Dan jangan beritahu dia,jika aku yang memintamu. Kau mengerti?! " tegas Adrian.
"Ya, Tuan. Saya mengerti," jawab Eva cepat, nada suaranya berubah serius.
Panggilan terputus. Tanpa membuang waktu, Eva segera bergegas ke kamar Violet. Ia mengetuk pintu dengan tergesa namun pelan agar tak terdengar oleh majikannya, Claudia.
Tok tok tok.
“Violet? Ini aku, Eva. Tolong buka.”
Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan wajah Violet yang masih terlihat bingung dan lelah.
“Ada apa, Eva?”
“Ikut aku sekarang juga .” jelas Eva dengan suara rendah.
“Apa maksudmu? Kemana ?” Violet menatapnya lama.
“Tak banyak waktu. Kau harus percaya padaku. Ini demi kebaikanmu, nona Violet. Dan... mungkin juga demi keselamatanmu.”
Kata-kata itu cukup membuat Violet terhenyak. Tanpa bertanya lebih jauh, ia mengangguk pelan. Dalam diam, ia menyadari bahwa apa pun yang akan terjadi malam ini akan mengubah segalanya.
Eva membantu Violet membawa koper kecilnya. Mereka berjalan menyusuri lorong rumah dengan langkah hati-hati. Semua lampu sudah padam, dan rumah terasa sunyi. Claudia sepertinya sudah kembali ke kamarnya.
Dengan cepat mereka keluar lewat pintu samping, menghindari kemungkinan bertemu siapa pun. Sebuah mobil hitam sudah menunggu di luar, supir pribadi Adrian yang mengenakan topi rendah memberi isyarat agar cepat masuk.
Eva dan Violet masuk ke dalam mobil tanpa suara. Pintu ditutup, dan kendaraan itu langsung meluncur ke jalanan basah yang masih diselimuti sisa hujan.
Di dalam mobil, Violet hanya bisa menatap ke luar jendela. Pandangannya kosong, tapi dadanya penuh gejolak. Ia tidak tahu ke mana ia akan dibawa. Tapi untuk pertama kalinya, ia merasa… sedikit aman.
***
Sementara itu, Claudia baru saja keluar dari kamar mandi saat merasakan keganjilan. Langkahnya terhenti ketika menyadari sesuatu. Ia segera membuka ponsel. Tak ada pesan. Tak ada kabar.
Claudia berjalan ke kamar Violet. Ia membuka pintu tanpa mengetuk, hanya untuk menemukan ruangan itu kosong. Koper tak lagi ada, dan tempat tidur tampak rapi seperti tak pernah digunakan. Matanya melebar.
“Kemana gadis sialan itu ?” bisiknya.
Claudia berjalan keluar sambil memanggil Eva. Namun ia pun tak menemukanya di sana.
"Eva Eva !! Eva ! Di mana kau perempuan sialan ! Apa kau tuli ?! " pekiknya.
Claudia menuju kamarnya sambil merutuk ,namun sesampainya di kamar itu ,amarahnya semakin membuncah. Ternyata Eva juga tidak ada di sana. Rasa kesalnya semakin menyelimuti kemarahannya. Dengan cepat ia kembali ke kamarnya, mengambil ponselnya dan mencoba menghubungi Adrian. Namun, tak ada jawaban. Claudia menahan napas, namun emosinya meledak tak bisa dikendalikan.
"Adrian, kau tidak boleh melakukan ini padaku!" teriaknya, melempar ponsel ke ranjang dengan kasar.
Ia tahu. Ia bisa merasakannya. Adrian sedang menjauh… dan lebih parahnya, seakan Adrian membawa perempuan itu bersamanya. Sementara di dalam mobil, Violet merasakan keanehan sejak tadi. Ia pun memberanikan diri meminta jawaban pada Eva,
"Eva, apa yang sebenarnya terjadi ? Kenapa tiba-tiba kau... maksudku kita pergi seperti ini ?" tanyanya pelan.
Eva yang duduk di depan langsung menoleh,menatap Violet serius namun masih ada terlukis sedikit senyum di sudut bibirnya.
"Kau tidak perlu khawatir. Cukup kau percaya saja padaku. Kau akan baik-baik saja." ucapnya tenang.
Violet terdiam mendengar jawaban Eva. Matanya menerawang ke luar jendela, menyaksikan bayangan lampu jalan yang berkelebat cepat melewati kaca basah. Meskipun jawaban Eva tak sepenuhnya menenangkan, ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat Violet merasa... tidak sendiri.
Mobil berhenti di depan sebuah rumah bergaya klasik yang dikelilingi pagar tinggi dan pohon-pohon rindang. Lokasinya cukup terpencil, jauh dari hiruk pikuk kota, seolah memang disiapkan untuk menyembunyikan seseorang dari dunia luar. Sopir keluar dan membuka pintu untuk mereka.
"Ayo, cepat masuk. Sudah larut," ujar Eva sambil menggandeng tangan Violet.
Begitu masuk, aroma kayu tua dan bunga melati menyambut mereka. Rumah itu hangat, tenang, dan terasa sangat berbeda dari rumah sebelumnya—tak ada ketegangan, tak ada suara langkah Claudia yang menyeramkan.
Violet duduk di sofa panjang ruang tamu. Pandangannya menyapu seluruh ruangan: lukisan tua di dinding, rak buku yang berisi novel klasik, dan lampu gantung kristal yang redup namun menenangkan. Eva menuangkan teh hangat dan menyerahkannya padanya.
"Mulai hari ini nona tinggal di sini. Nona bisa memulai hidup baru tanpa bayang-bayang nyonya Claudia." ucap Eva lembut.
Violet menerima cangkir teh itu dengan dua tangan, berusaha menyerap kehangatannya.
"Aku tidak mengerti, Eva. Semua ini... terjadi terlalu cepat. Aku merasa seperti terlempar dari satu mimpi buruk ke mimpi buruk lainnya," lirih Violet.
Eva tersenyum kecil, lalu menatap Violet dalam.
“Nona Violet, kadang seseorang harus menjauh dari racun agar bisa sembuh. Rumah itu... semuanya akan menghancurkan mu jika kau tetap di sana.”
“Tapi kenapa sekarang? Kenapa malam ini?” Violet menatap Eva, mencoba mencari celah dari semua misteri ini.
Eva ragu sejenak, sebelum akhirnya menjawab,
“Karena seseorang mulai peduli. Dan dia tidak ingin kau terluka lebih dalam.”
“Adrian?” lirih nya.
Eva hanya tersenyum samar, tak menjawab, lalu berdiri.
“Beristirahatlah. Kamar tidurmu ada di atas. Aku akan menyiapkan pakaian dan perlengkapan lain besok pagi.”
Violet ingin bertanya lebih banyak, tapi tubuhnya terlalu lelah, dan pikirannya terlalu kalut. Ia mengangguk pelan, lalu naik ke kamar yang dimaksud.
Di atas ranjang putih bersprei bersih, Violet menatap langit-langit dengan mata yang tak mau terpejam. Di tangannya, ia masih memegang surat pernyataan yang tadi sempat ia selipkan di jaketnya sebelum pergi. Surat itu belum ditandatangani. Dan kini... rasanya seperti satu keputusan yang harus ditinjau ulang.
**
Sementara itu, Adrian berdiri di balkon sebuah hotel tinggi, memandang ke arah kota yang basah oleh hujan. Ponselnya terus berdering, tapi ia tak berniat menjawab. Claudia.
Ia tahu Claudia pasti mengamuk sekarang. Tapi Adrian tak peduli. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa sudah cukup membohongi diri sendiri.
Suara pintu kamar terbuka pelan. Mark masuk, membawa satu map berwarna hitam dan meletakkannya di meja.
“Apa ini semua sudah cukup?” tanya Adrian tanpa menoleh.
“Lebih dari cukup. Semua bukti tentang aktivitas nyonya Claudia, catatan klinik aborsi tahun lalu, pembayaran diam-diam, serta... hubungan gelapnya. Semuanya ada di dalam.” Mark mengangguk tegas.
Adrian menghela napas panjang. Dadanya sesak bukan karena fakta itu, tapi karena ia terlambat menyadari siapa Claudia sebenarnya.
“Claudia, begini caramu membalas perhatian ku selama ini. "gumamnya.
Mark menatap Adrian, lalu pergi tanpa sepatah kata. Malam itu terasa panjang, tapi Adrian tahu badai sebenarnya baru akan dimulai.
Adrian junior sudah otw blm yaaa 🤭
Semoga tuan Adrian, vio ,, Eva dan mama Helena akan baik2 saja dan selamat dari niat jahat papa Ramon
Vio,, kamu harus percaya sama tuan Adrian,, Krn aq juga bisa merasakan ketulusan cinta tuan Adrian utk mu....
Vio..., kamu skrg harus lebih hati-hati dan waspada,, jangan ceroboh yaaa
Qta tunggu kelanjutan nya ya Kaka othor
Tolong jagain dan sayangi vio dengan tulus,, ok. Aq merasa ad sesuatu yang kau sembunyikan tentang vio, tuan Adrian. Sesuatu yg baik,, aq rasa begitu....
Dia takut bukan karna takut kehilangan cintanya tuan Adrian,, tapi takut kehilangan hartanya tuan Adrian.