Teror mencekam menyelimuti sebuah desa kecil di kaki gunung Jawa Barat. Sosok pocong berbalut susuk hitam terus menghantui malam-malam, meninggalkan jejak luka mengerikan pada siapa saja yang terkena ludahnya — kulit melepuh dan nyeri tak tertahankan. Semua bermula dari kematian seorang PSK yang mengenakan susuk, menghadapi sakaratul maut dengan penderitaan luar biasa.
Tak lama kemudian, warga desa menjadi korban. Rasa takut dan kepanikan mulai merasuk, membuat kehidupan sehari-hari terasa mencekam. Di tengah kekacauan itu, Kapten Satria Arjuna Rejaya, seorang TNI tangguh dari batalyon Siliwangi, tiba bersama adiknya, Dania Anindita Rejaya, yang baru berusia 16 tahun dan belum lama menetap di desa tersebut. Bersama-sama, mereka bertekad mencari solusi untuk menghentikan teror pocong susuk dan menyelamatkan warganya dari kutukan mematikan yang menghantui desa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Sabina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tergoda Kekuatan dan Kutukan
Langkah Atna cepat dan berat ketika meninggalkan area rumah dinas itu.
Bayangan wajah gadis beraltar tadi masih menempel kuat di benaknya, membuat hatinya gelisah.
Hawa panas yang sempat membakar tubuhnya perlahan mereda, berganti dengan rasa lelah bercampur amarah yang ia tekan sedalam mungkin.
Sampai di ujung jalan besar, ia menarik napas panjang, berusaha menguatkan diri.
Susuknya kembali berdenyut pelan, memancarkan aura harum yang menguar lembut, menutupi keguncangan yang baru saja ia alami.
Setiap pria yang lewat menoleh, beberapa bahkan sempat menggoda, tapi Atna tidak menggubris.
Di depan pintu klub, lampu neon ungu dan merah berkelap-kelip. Dentuman bass terdengar samar, mengguncang udara.
Seorang satpam yang sudah mengenalnya langsung memberi jalan tanpa banyak tanya. Begitu pintu dibuka, gelombang suara musik, cahaya strobo, dan aroma alkohol menyergapnya.
Seperti biasa, mata para lelaki—tua maupun muda—langsung tertuju padanya. Susuk bekerja dengan sempurna, membungkus tubuhnya dengan pesona yang tak bisa diabaikan.
ari kerumunan, Mami sang germo menghampirinya, mengibaskan kipas sambil tersenyum puas.
“Wah… Atna, malam ini makin menyala. Bonus gua aman di kantong,” bisiknya, sambil melirik beberapa pria yang sudah memanggil-manggil namanya.
Atna hanya mengangguk tipis, memaksakan senyum. Ia tahu malam ini ia bisa kembali menguras dompet para hidung belang.
Namun jauh di dalam hatinya, bayangan gadis beraltar itu terus menghantui—tatapan polosnya yang seolah mampu menembus lapisan susuknya.
Malam pun berjalan. Senyum, lirikan, sentuhan ringan di lengan para pria—semua ia lakukan dengan terlatih.
Gelas-gelas berwarna silih berganti di tangannya, tawa terdengar renyah meski terasa hambar di telinganya sendiri.
Namun di sela dentuman musik, sesuatu terasa berbeda. Sesekali aura susuknya tersendat.
Biasanya setiap pria yang ia tatap akan langsung terpikat, tapi malam ini ada momen di mana pesonanya seakan kehilangan daya.
Di meja VIP, seorang langganan tua yang selalu tergila-gila padanya bahkan sempat mengalihkan pandangan ke arah lain.
Jantung Atna berdegup kencang. Ini tidak normal.
Setiap kali ia mencoba tersenyum, bayangan gadis beraltar itu muncul—kulit putih, pipi tembam, senyum manis yang tidak seharusnya ia pedulikan.
Namun entah kenapa, wajah itu menembus pikirannya seperti duri.
Aura harum susuknya berguncang. Ada hawa dingin merayap dari punggungnya—bukan hawa klub, melainkan hawa yang begitu ia kenal: hawa pocong bersusuk yang murka.
Di telinganya, bisikan samar menyusup di antara dentuman musik:
Kau terlalu memikirkan dia… berhenti, atau aku yang akan memutuskan apa yang harus dilakukan.
Tenggorokan Atna tercekat. Ia tersenyum palsu pada pria di depannya, sementara jemarinya meremas gelas terlalu keras. Malam ini ia sadar—bahkan di tengah gemerlap neon dan hiruk pikuk klub, bayangan gadis itu mampu mengguncang segalanya.
Ia menepis kegelisahan dan kembali berperan. Senyum hangat, tawa ringan, parfum bunga kenanga yang menguar. Di meja VIP, seorang pengusaha paruh baya sudah menunggunya.
“Maaf, bikin nunggu, sayang,” ucap Atna lembut, jemarinya menyentuh punggung kursi pria itu sebelum ia duduk di sampingnya.
Si pengusaha langsung menyeringai. “Ah, Neng Atna, malam saya jadi lebih indah kalau ada kamu.”
Atna terkekeh kecil, menuangkan minuman untuknya. “Kalau begitu, biar malam ini terus indah.”
Percakapan mengalir. Tangan pria itu mulai berani, namun Atna mengatur setiap sentuhan dengan lihai—membiarkan cukup dekat untuk membuatnya tergila-gila, lalu memberi jarak pada waktu yang tepat.
Aura susuknya perlahan kembali menyala, membuat si tamu tak mampu mengalihkan pandangan.
Asap rokok tipis mengepul, bercampur dengan musik dan lampu samar. Atna tertawa renyah, seolah semua kembali terkendali.
Untuk sementara, ia berhasil menenggelamkan bayangan gadis beraltar itu.
Uang mengalir, pesona terjaga, tamu-tamu puas. Itu yang terpenting.
Menjelang subuh, lampu klub meredup. Musik berhenti. Satu per satu pengunjung keluar dengan langkah gontai.
Atna duduk di depan meja rias, menghapus make-up dengan kapas beraroma alkohol. Di atas meja, amplop tebal berisi uang membuatnya tersenyum tipis.
Namun senyum itu cepat pudar. Aroma anyir darah merayap ke udara, disusul hembusan dingin yang menusuk tulang.
Dari cermin, bayangan pocong bersusuk muncul perlahan, kain kafannya berkibar halus meski tanpa angin.
“Atna…” suara itu lembut namun menusuk. “Kau patuh malam ini?”
Atna menelan ludah, menoleh pelan meski sudah tahu jawabannya. “Iya, Mbah… aku nggak sentuh yang dilarang. Aku ingat semuanya.”
Pocong itu melangkah tanpa suara, bayangannya menelan cahaya lampu rias. “Bagus. Tapi ingat, pesonamu bukan hanya dari susuk ini.
Ia hidup karena kau patuh. Sekali kau langgar, pesona itu akan berbalik jadi kutuk… dan aku takkan bisa menyelamatkanmu.”
Atna mengangguk cepat. “Aku ngerti, Mbah.”
Pocong itu menoleh pada amplop uang di meja. “Hasil malam ini lumayan. Tapi uang hanyalah imbalan kecil. Yang kuberikan padamu adalah kuasa—dan kuasa harus diberi makan.”
“Maksud Mbah… sesajen?” suara Atna nyaris berbisik.
“Ya,” jawabnya datar. “Siapkan ritual besar malam Jumat Kliwon. Bawa darah ayam hitam dan kembang tujuh rupa segar. Aku akan hadir… bersama mereka yang lain.”
Bayangan itu memudar, meninggalkan aroma kemenyan pekat. Atna terdiam, menggenggam amplop lebih erat. Ia tahu, Jumat Kliwon nanti bukan sekadar ritual biasa.
Akan ada sesuatu yang datang bersama pocongnya. Sesuatu yang mungkin… jauh lebih lapar darinya sendiri.
semoga novelmu sukses, Thor. aku suka tulisanmu. penuh bahasa Sastra. usah aku share di GC ku...
kopi hitam manis mendarat di novelmu