bercerita tentang seorang gadis buruk rupa bernama Nadia, ia seorang mahasiswi semester 4 berusia 20 tahun yang terlibat cinta satu malam dengan dosennya sendiri bernama Jonathan adhitama yang merupakan kekasih dari sang sahabat, karna kejadian itu Nadia dan Jonathan pun terpaksa melakukan pernikahan rahasia di karenakan Nadia yang tengah berbadan dua, bagaimana kelanjutan hidup Nadia, apakah ia akan berbahagia dengan pernikahan rahasia itu atau justru hidupnya akan semakin menderita,,??? jangan lupa membaca 🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24
Dewi melangkah keluar dari area kafe, melewati pintu kaca yang otomatis tertutup di belakangnya. Suara lonceng kecil di atas pintu berdenting lembut. Ia melangkah ke sisi bangunan, memastikan jaraknya cukup jauh dari jangkauan pendengaran Jonathan.
Wajahnya berubah. Tak ada lagi senyum manis atau tatapan lembut. Yang tersisa hanya raut serius dan dingin. Ia menjawab panggilan itu dengan suara pelan tapi tegas.
“Ya?”
Suara berat dari seberang sana langsung menjawab.
“Target sedang bergerak. Perempuan itu... keluar bersama pengawal. Mereka menuju taman kota.”
Dewi terdiam sesaat. Matanya memandang kosong ke arah trotoar, lalu mendesah pelan.
Ia menggenggam ponselnya lebih erat, napasnya tertahan beberapa detik sebelum akhirnya ia bicara lagi.
"Ikuti mereka dari jarak aman. Lakukan apapun agar Nadia menjauh dari pengawalan. Setelah itu lakukan tugas mu. Aku tidak ingin mendengar kata gagal." ucapnya dingin.
"Baik," jawab suara di seberang, kemudian sambungan terputus.
Dewi menurunkan ponselnya perlahan, pandangannya menajam. Ia menyandarkan tubuhnya pada dinding batu bata kafe, membiarkan angin sore menyibak sebagian rambutnya yang terurai. Tatapannya kosong, tapi pikirannya bekerja cepat.
Semua berjalan sesuai rencana. Ia sudah tahu Nadia akan tergoda keluar. Dan meskipun Alex mengawalnya, Dewi tidak terlalu khawatir. Ia tahu bagaimana cara mengatur keadaan agar semua tampak... kebetulan.
Ia kembali masuk ke dalam kafe. Senyum manis kembali dipasang seolah tak pernah terjadi apa-apa. Jonathan menoleh begitu melihatnya kembali duduk di depannya.
Dewi kembali duduk dengan tenang di hadapan Jonathan, senyum manis kembali menghiasi wajahnya. Ia menatap Jonathan yang masih memandangnya dengan tatapan yang penuh perhatian, seolah tak ada yang berubah. Suasana di kafe tetap terasa hangat, meskipun ada sesuatu yang bergulir di dalam pikirannya, sebuah rencana yang tak bisa ia biarkan gagal.
“Papa kamu baik-baik aja?” tanyanya, tulus.
Dewi mengangguk pelan.
“Iya… hanya menanyakan kabar.” Lalu ia tersenyum, dan menggenggam tangan Jonathan di atas meja.
“Ayo selesaikan makanannya. Nanti es krim kamu keburu cair.”
Jonathan tertawa kecil, tapi matanya masih menatap Dewi dengan ragu yang tersembunyi. Ia merasa sesuatu berubah. Tapi belum tahuapa.
Di saat yang sama, di taman kota, Alex dan Nadia tengah menyusuri jalur pejalan kaki yang dipayungi pohon-pohon rindang. Langit sore berubah jingga, dan lampu taman mulai menyala satu per satu. Nadia terlihat lebih tenang, meskipun langkahnya masih hati-hati. Alex berjalan setengah langkah di belakangnya, pandangannya waspada.
Tanpa mereka sadari, dari kejauhan, seorang pria berjaket hitam dan topi menunduk mengikuti mereka. Ia menyamar sebagai pelari sore, earphone palsu menempel di telinga, namun matanya tajam, terus memindai pergerakan target.
Kemudian, sebuah sepeda motor melintas dari arah berlawanan, suaranya memecah keheningan. Pria berjaket itu mengangkat tangan, seolah memberi aba-aba singkat. Motor itu melaju ke arah Alex dan Nadia, lalu melambat tiba-tiba di sisi mereka.
“Permisi, kalian lihat anak kecil pakai baju merah lari ke arah sini?” tanya si pengendara dengan nada panik, memperlihatkan foto di layar ponsel.
Refleks, Nadia mendekat untuk melihat foto itu.
Alex mengangkat tangannya, mengisyaratkan untuk menjauh. Tapi terlambat.
Tepat saat Nadia fokus menatap layar, seorang anak kecil berlari dari semak-semak, pura-pura menangis. Naluri Nadia sebagai manusia membuatnya menunduk, berniat menolong. Dalam sepersekian detik, pengendara motor itu menggerakkan tangannya. semacam alat kecil dilemparkan ke tanah di dekat kaki Alex. Ledakan kecil terjadi, tidak membahayakan, tapi cukup menyilaukan dan mengejutkan.
Alex terdorong mundur, reflek menarik senjata, tapi Nadia sudah tak terlihat.
Ketika penglihatannya kembali fokus, jalanan di seberang sudah kosong. Motor dan pria yang mengikuti mereka menghilang ke balik jalan sempit.
“Nadia!” seru Alex, panik, berlari ke segala arah, mencari dengan pandangan liar.
Dengan jantung berdegup kencang, Alex menyusuri setiap sudut taman dengan langkah lebar dan napas memburu. Ia memanggil nama Nadia berulang kali, matanya menyisir semak-semak, bangku taman, bahkan lorong kecil yang mengarah ke jalan perumahan. Tapi tak ada tanda-tanda keberadaan gadis itu.
Sial. Mereka terlalu cepat, terlalu terorganisir. Ini bukan sekadar penculikan acak. Ini dirancang.
Alex meraih ponselnya dan langsung menghubungi sang tuan. Jonathan.
" Tuan. Nona Nadia menghilang. Dia di culik."
Jonathan membeku. Suara di telepon seakan menusuk langsung ke ulu hatinya. Ia berdiri dan sedikit menjauh dari Dewi sang kekasih.
Jonathan berdiri membelakangi Dewi. Ponsel masih tergenggam erat di tangan, napasnya mulai tak teratur. Ada semacam kekosongan dalam sorot matanya. kekosongan yang hanya muncul saat seseorang yang sangat berarti... direnggut darinya.
" Mas ?" suara Dewi terdengar lembut di belakangnya, pura-pura khawatir.
"Ada apa? Kamu kelihatan panik."
Jonathan tidak langsung menjawab. Ia menutup matanya sejenak, mencoba menenangkan detak jantung yang berlari liar, lalu mengatur napas. Ia berbalik perlahan, menatap Dewi. Sorot matanya tajam, penuh selidik.
"Maaf, sayang . Aku harus pergi," ucapnya pendek.
“Kenapa? Ada yang terjadi?”
Jonathan menunduk sedikit, menatap mata Dewi seolah mencari celah. apakah senyum manis itu menyimpan sesuatu? Tapi Dewi tetap memainkan perannya dengan sempurna. Tidak ada getar suara. Tidak ada salah gerak.
Jonathan mengangguk pelan.
“Nanti aku kabari lagi.”
Tanpa menunggu jawaban, ia melangkah keluar dari kafe dengan langkah lebar. Kepalanya menunduk sedikit saat menelepon seseorang.
"Kerahkan semua tim pengawas. Lock semua CCTV dari taman kota hingga sektor industri timur. Gunakan rekaman cadangan kalau perlu. Aku ingin tahu ke mana mereka membawa Nadia."
"Baik, Tuan," jawab suara tegas dari seberang.
...
Di dalam gudang tua berbau debu dan oli itu, Nadia mencoba menjaga kesadarannya tetap penuh. Tali yang mengikat pergelangan tangannya terlalu kuat, namun ia tetap menggeliat pelan, mengamati sekitarnya. Ada kamera kecil di pojok ruangan, dan suara kipas tua yang berderit di atas kepala.
Pintu kembali terbuka. Kali ini, seseorang masuk dengan langkah ringan. dan Nadia langsung mengenali siluetnya.
" Joni." Ucapnya lirih.
Joni melangkah masuk dengan senyum tipis di wajahnya. Tapi bukan senyum ramah yang dulu dikenalnya. ini senyum licik, menyimpan kebusukan yang tak terlihat dari luar. Langkah kakinya terdengar mantap di atas lantai beton yang berdebu, gema langkahnya mengisi ruangan sempit itu.
“Lama tak bertemu, nona” katanya tenang, suaranya dalam, datar. Seolah tak ada yang aneh dari situasi ini.
Nadia menatapnya lekat-lekat, rasa muak dan bingung bercampur jadi satu di dadanya.
“ kenapa kau lakukan ini padaku, bukankah kau bekerja pada pak Jonathan,?" Ucap Nadia, suaranya mulai bergetar karena merasa takut.
Joni mendekat, berhenti hanya beberapa langkah dari kursi tempat Nadia terikat. Matanya dingin, tak memancarkan belas kasihan sedikit pun. Ia menyilangkan tangan di dada, menatap Nadia seolah gadis itu hanya bidak catur dalam permainan besar yang sedang ia mainkan.
"Aku memang bekerja untuk Jonathan," ucapnya pelan, hampir berbisik.
"Tapi semua orang punya harga, nona. Dan kadang... kesetiaan hanya soal siapa yang membayar lebih tinggi."
“Aku hanya menjalankan perintah,” bisiknya. “Dan kamu… kamu hanya pion kecil di papan catur mereka. Sayangnya, pion bisa dikorbankan.”
Nadia menarik napas panjang, berusaha tak menunjukkan rasa takut. Tapi tubuhnya gemetar.
“Kau tidak akan lolos dari ini, Joni. Pak Nathan akan mencariku. Dia akan tahu semua.”
Joni terkekeh pelan, suara tawanya seperti gesekan logam tua yang berkarat.
Pintu berderit saat terbuka, dan hembusan udara luar yang lembap menyeruak ke dalam ruangan. Cahaya senja menerobos sebentar sebelum pintu kembali tertutup rapat. Suara langkah sepatu hak tinggi menggema di lantai beton. Nadia memalingkan wajahnya, dan matanya membelalak saat sosok yang baru datang menampakkan dirinya.
“Dewi...?” bisik Nadia, hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
mungkinn
jgn bodoh trlalu lm jo.... kekuasaan jga hrtamu slm ini tk mmpu mngendus jejak musuhmu yg trnyata org trsayangmu🙄🙄
klo nnti nadia bnyak uang.... bkalan balik lgi tuh wujud asli nadia....
krna sejatinya nadia dlunya cantik... hnya krna keadaan yg mmbuat dia tak mungkin merawat dirinya....
jdi kurang"i mncaci & merendhkn ibu dri ankmu....