Sekelompok remaja yang agak usil memutuskan untuk “menguji nyali” dengan memainkan jelangkung. Mereka memilih tempat yang, kalau kata orang-orang, sudah terkenal angker, hutan sunyi yang jarang tersentuh manusia. Tak disangka, permainan itu jadi awal dari serangkaian kejadian yang bikin bulu kuduk merinding.
Kevin, yang terkenal suka ngeyel, ingin membuktikan kalau hantu itu cuma mitos. Saat jelangkung dimainkan, memang tidak terlihat ada yang aneh. Tapi mereka tak tahu… di balik sunyi malam, sebuah gerbang tak kasatmata sudah terbuka lebar. Makhluk-makhluk dari sisi lain mulai mengintai, mengikuti langkah siapa pun yang tanpa sadar memanggilnya.
Di antara mereka ada Ratna, gadis pendiam yang sering jadi bahan ejekan geng Kevin. Dialah yang pertama menyadari ada hal ganjil setelah permainan itu. Meski awalnya memilih tidak ambil pusing, langkah Kinan justru membawanya pada rahasia yang lebih kelam di tengah hutan itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lirien, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hilang Saat Fajar
“Biar tau rasa. Siapa suruh bengong mulu,” ujar Vani, tawa dinginnya bergema di dalam gua yang lembap.
Ratna, seperti biasa, menjadi sasaran—ditinggalkan sendiri di kegelapan gua. Gadis itu memang selalu menjadi target karena sifatnya yang pendiam dan tak pernah membalas. Kesendirian menjadi identitasnya, membuatnya kerap dianggap berbeda, bahkan aneh.
Gelak tawa Kevin, Vani, Kila, Agam, dan Bobi masih mengiringi langkah mereka di tanah yang landai. Sinar senter bergerak tak beraturan, karena Agam dengan sengaja menyinari wajahnya dari bawah dagu, menimbulkan bayangan mengerikan.
“Siapa saya...? Aku sudah mati ratusan tahun...” Agam berakting seperti roh yang bangkit, suaranya menyeramkan tapi dibuat-buat sehingga teman-temannya kembali tertawa terbahak.
“Sialan lu, Agam!” Kevin menepuk kepala Agam dengan geram.
“Eh, jangan ribut. Bentar lagi sampai tenda. Ketahuan Pak Agus, bisa kena hukum kita,” bisik Bobi, matanya menoleh ke arah hutan gelap.
“Iya, bener. Kecilin senternya,” Kila menambahkan. Sinar senter pun diredupkan sedikit. Perlahan, mereka menapaki area kemah. Para lelaki masuk ke tenda mereka, begitu pula Vani dan Kila.
Semua terasa aman, kecuali Ratna yang masih terjebak di kegelapan hutan. Namun, rasa bersalah tak muncul sedikit pun. Kedua gadis itu merebahkan tubuh di dalam tenda.
“Lu bisa tidur, Vani?” tanya Kila beberapa saat kemudian.
“Lu pake nanya lagi. Baru aja mau merem nih,” gerutu Vani, nyaris tenggelam dalam kantuk. Ia menoleh ke samping, membelakangi Kila.
Tempat tidur yang seharusnya diisi Ratna kini terasa kosong, membuat Vani bisa berguling tanpa halangan. Saat kantuk mulai menelan, ia terhenyak—punggungnya terasa tersentuh sesuatu yang keras.
“La! Lu bisa kalem gak sih tidurnya?” protes Vani sambil menoleh.
Namun, Kila ternyata sudah jauh dari tempatnya.
“Loh? Yang barusan apaan?” gumam Vani sambil mengucek matanya. “Ah, perasaan gue aja kali, ya.”
Ia kembali merebahkan diri, mencoba menenangkan diri. Tapi suara bisik-bisik lembut terdengar dari luar tenda.
“Vani… bukain tenda. Aku mau masuk.”
Vani tersentak. Bayangan di luar tenda terlihat samar. “Ratna?” tanyanya ragu.
“Bukain… dingin,” jawab bayangan itu, berdiri tegak dengan kaki terbuka dan tangan menggantung lemas.
Vani menahan napas, membuka ritsleting tenda setengah hati. “Siapa suruh bengong-bengong, jadinya ditinggalin, kan?”
Namun sosok yang berdiri di sana bukan Ratna. Pakaian lusuhnya basah penuh darah dan lumpur, kulit wajahnya pucat dengan luka menganga, dan matanya… matanya hitam pekat tanpa sklera, menatap Vani tanpa berkedip.
Vani menjerit, mundur menimpa tubuh Kila. “La! Tolong, La! Ada setan!” suaranya pecah, menggema di tenda.
Sosok itu bergerak kaku, senyum panjang menghiasi wajahnya, menatap ke dalam tenda. Vani menepuk-nepuk Kila, mencoba membangunkannya. Tapi Kila tetap tak bergerak—tubuhnya kaku, seolah telah kehilangan nyawa.
“LA!” teriak Vani lagi, panik. Ia berjuang, berguling-guling, terjerat dalam mimpi buruk yang nyata terasa. Akhirnya, ia membuka mata, napas tersengal, dan menyadari semuanya hanyalah mimpi. Ruangan gelap kini telah diganti fajar pucat. Beberapa siswa sudah bangun, termasuk Kila, yang telah keluar dari tenda tanpa membangunkan Vani.
“Gara-gara permainan jelangkung sialan ini pasti. Mimpi gue jadi aneh banget,” gerutu Vani sambil bangkit, tubuh lemas.
Sinar pagi mulai menyusup ke kemah. Anak-anak SMK BINA KARYA mulai beraktivitas, menyalakan kompor portabel untuk sarapan. Vani, masih terbayang mimpi buruknya, memilih diam, tak ingin cerita kepada teman-temannya. Jika tidak, ledekan pasti datang menganggapnya lebay.
Sarapan selesai sepuluh menit yang lalu.
Kini, briefing pagi dimulai. Seluruh siswa berkumpul, berdiri membentuk lingkaran di sekitar tenda. Pak Agus mulai mengabsen satu per satu. Tidak seorang pun menyadari bahwa salah satu dari mereka hilang.
“Ratna Nurpita.”
Saat nama itu disebut, Kila dan Vani saling bertukar pandang, seakan ingatan mereka baru tersadarkan—anak itu belum kembali.
“Siapa yang satu tenda dengan Ratna Nurpita? Ke mana dia?” tanya Pak Agus, raut wajahnya cemas sekaligus kesal.
Vani mengangkat tangan bersamaan dengan Kila. “Sejak saya bangun tadi pagi, Ratna belum ada, Pak!” seru Kila, berbohong.
“Saya juga tidak melihat, Pak. Karena saya bangun terakhir,” tambah Vani, suara bergetar sedikit menutupi rasa panik.
Pak Agus berdecak. Larangannya agar siswa tidak kelayapan demi menghindari tersesat tampaknya sia-sia. “Ya sudah. Sebelum kegiatan dimulai, kita cari dulu Ratna. Sebagian, menuju sumber air. Mungkin dia masih di sana.”
Di sisi lain, jauh dari perkemahan, Ratna Nurpita terkapar di dalam gua. Tubuhnya lemah, seolah masih terjebak dalam kabut malam kemarin. Matahari mulai merangkak naik, tapi Ratna belum membuka matanya.
Sosok bayangan muncul di mulut gua, menghalangi cahaya pagi. Bayangan itu terkesiap saat menyadari Ratna, menutup mulutnya agar tidak bersuara.
“Hey, kamu ngapain di sini?” suara seorang gadis memecah keheningan. Anak itu mendekat perlahan, mengguncang tubuh Ratna dengan hati-hati.
“Apakah dia… mati?” Gadis berbaju sweater putih garis-garis itu menahan napas, matanya terpaku pada boneka jelangkung yang tergeletak di tanah.
“Hey! Jangan mati di sini!”
Ratna mengeluarkan erangan pelan, memutar tubuhnya dan perlahan membuka mata. Tatapannya menerawang ke dinding gua yang lembap dan gelap.
“Kamu nggak apa-apa? Ngapain kamu di sini?”
Ratna bangkit duduk, memegangi kepala yang berat. Ia menoleh ke gadis asing yang duduk di sampingnya. “Kamu siapa?”
“Kamu yang siapa? Oh! Kamu yang kemarin datang bareng rombongan sekolah itu, kan? Bukannya lagi kemah? Kenapa malah tidur di sini?” tanya gadis itu cepat, suara beruntun seperti tak bisa berhenti.
“Iya… tadi malam seharusnya aku nggak ke sini.” Ratna menahan sakit di kepalanya. “Kamu… anak desa bawah?” tanyanya kemudian.
“Iya. Aku lagi liburan di rumah nenek. Aku bantuin kamu bangun. Kayaknya kamu butuh minum atau makan. Aku punya simpanan,” gadis itu menawarkan.
Ratna belum bisa berpikir jernih. Namun, gadis asing itu menariknya menuju bagian dalam gua. “Ini tempat rahasiaku. Kalau lagi bosan di rumah nenek, aku ke sini. Tempat ini udah jadi pelarianku sejak lama.”
Ratna mengernyit, mendengar gadis itu terus mencerocos.
“Aku Kanaya, panggil Naya aja. Nama kamu siapa?” Suara Kanaya kembali terdengar, tapi Ratna masih terdiam.
“Duduk bentar. Aku sengaja nyediain air minum. Nih!” Sebuah tumbler biru disodorkan kepada Ratna.
Ratna meneguk air itu perlahan, merasakan kesegarannya menyebar ke seluruh tubuh yang lemah. Ia mulai memperhatikan gua itu dengan seksama, sebuah ruang menjorok ke tebing, tersembunyi dari pandangan luar.
Andai Kevin dan yang lain mengetahuinya, mereka pasti akan menyalahgunakan tempat ini.
“Kalian habis main jelangkung?” suara Kanaya berubah, tajam, seolah sedang menginterogasi.