"Biar saya yang menikahi Dira, Om."
"Apa? Gak bisa! Aku gak mau!"
***
Niat hati menerima dan bertunangan dengan Adnan adalah untuk membuat hati sang mantan panas, Indira malah mengalami nasib nahas. Menjelang pernikahan yang tinggal menghitung hari, Adnan malah kedapatan berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. Di saat yang bersamaan Rada—mantan kekasihnya, datang menawarkan diri untuk menjadi pengganti Adnan. Indira jelas menolak keras karena masih memiliki dendam, tetapi kedua orang tuanya malah mendukung sang mantan.
Apa yang harus Indira lakukan? Lantas, apa yang akan terjadi jika ia dan Rada benar-benar menjadi pasangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Deshika Widya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Balasanmu
Rada benar-benar merasa aneh dengan sikap Indira yang tiba-tiba ketus pagi ini. Bahkan saat ia mengantar wanita itu sampai ke halte bus dekat kantor pun, tak ada salam perpisahan yang terucap. Bibirnya seolah terkunci. Namun, Rada tak tahu karena apa.
Huft!
Gara-gara sikap sang istri yang aneh, Rada jadi sulit fokus sekarang. Padahal, sebentar lagi ia harus bertemu dengan klien dan memastikan bahan-bahan yang digunakan untuk proyeknya adalah kualitas teratas.
"Berangkat jam berapa, Rad?" tanya Rendi yang tengah sibuk menggerakkan jarinya di atas keyboard komputer.
Rada mengangkat pandangannya sejenak. "Sebentar lagi. Kamu jadi ikut?"
"Iyalah! Ini, kan, tugas berdua."
"Oke."
Syukurlah. Dengan begitu ada yang bisa mengingatkan ketika ia kehilangan fokus di sana.
Selama menunggu waktu, Rada memilih mengeluarkan ponsel karena pekerjaannya sudah selesai. Ia buka aplikasi pesan warna hijau. Namun, keningnya seketika mengkerut melihat sebuah pesan dari klien yang sudah terbaca.
"Kapan dibacanya?" gumam pria itu.
Seingatnya, ia belum membuka aplikasi pesan ini sejak pagi tadi.
Tak ingin terus kebingungan, gegas Rada membuka room chat dengan klien tersebut.
[Kita jadi bertemu hari ini, kan, Pak?]
Rada terdiam setelah membaca sebaris kalimat itu. Kepalanya segera berpikir keras. Jika bukan ia yang membuka, berarti ... Indira?
Hah, pantas saja sikap wanita itu tiba-tiba tidak ramah. Sepertinya ia sudah salah paham.
Jemari besarnya lebih dulu mengetik balasan untuk klien. Setelah itu, ia beralih pada room chat-nya dengan sang istri tercinta.
[Sayang ....]
Satu kata itu berhasil terkirim. Namun, hingga beberapa saat menunggu, tak ada tanda-tanda dibaca oleh Indira. Apa wanita itu sengaja tidak membacanya?
Ini tidak bisa dibiarkan terlalu lama!
"Saya ke depan duluan, Ren. Nanti kamu nyusul, ya!"
Pria itu berdiri dan segera berjalan keluar dari ruangan tanpa menunggu jawaban Rendi. Kaki panjangnya terus melangkah melewati ruangan demi ruangan hingga masuk ke dalam lift. Setelah itu, kembali berjalan melewati lobi dan berakhir berdiri di parkiran, tepat di samping mobil.
Tak menunggu lama, Rada segera menyentuh ikon panggil pada kontak Indira, lalu mendekatkan benda pipih miliknya ke telinga.
Sementara itu di ruangannya, Indira berdecak kesal saat melihat nama Rada memenuhi layar. Ia hanya melirik sedikit, kemudian kembali fokus pada komputer di depannya.
Biar saja Rada sampai memanggil ratusan kali. Indira tidak peduli!
Dari kursi di sampingnya, Rumi yang mendengar dering panggilan dari ponsel sang sahabat pun merasa tak nyaman. Suara itu berhasil memecah konsentrasinya.
"Ck! Kenapa gak diangkat, sih, Dir?" tanyanya sedikit kesal.
Akan tetapi, respon Indira malah datar. "Biarin aja."
"Gak takut dia telpon ada hal penting?" tanya Rumi lagi. Pasalnya jarang sekali ia melihat Indira ditelpon oleh Rada saat jam kerja.
Indira hanya menggelengkan kepala, membuat Rumi keheranan. Wanita yang mengenakan blazer biru itu menelisik wajah sang sahabat beberapa saat.
"Ada yang gak beres, nih," cetusnya yang membuat Indira menoleh seketika.
"Kamu lagi marah sama Rada? Ada masalah?"
"Apaan, sih, Rum?" Indira malah balik bertanya.
Sementara itu, Rada sepertinya tidak ingin menyerah. Terbukti dari panggilan yang terus masuk meskipun sudah tak terjawab beberapa kali.
"Angkat, Dir! Setidaknya biar dia diem. Atau mau aku yang angkat?" todong Rumi agar Indira mau mengangkat panggilan tersebut. Namun, siapa sangka wanita itu malah menganggukkan kepala dengan santai.
"Boleh."
"Astaga, Dira ...."
***
Rada tersenyum senang kala panggilannya berhasil diterima. Ia berdeham sejenak sebelum menyapa sang istri dengan nada yang sangat manis.
"Halo, Sayang ...."
"I-ini aku, Rad. Rumi."
Deg.
Mulut Rada seketika terkunci. Kenapa malah jadi Rumi?
"Sorry. Dira lagi gak mau angkat telpon kamu. Please, kalau kalian ada masalah, selesaikan nanti aja, ya? Aku gak bisa fokus kerja denger ponsel Dira berdering terus."
Rada terdiam beberapa jenak. Hingga setelahnya ia putuskan panggilan sepihak tanpa berkata apa-apa.
"Ck! Padahal aku cuma mau jelasin semuanya biar dia gak salah paham," gumamnya pelan.
Jika terus begini, bisa dipastikan Rada tidak akan bisa tenang hingga malam nanti.
Hah, sudahlah. Lebih baik ia masuk ke dalam mobil sekarang karena pasti sebentar lagi pun Rendi akan menyusul. Benar saja, tak lama setelah bokongnya menyentuh kursi mobil, Rendi datang dan ikut bergabung dengannya.
Tak menunggu apa pun lagi, gegas Rada membawa mobilnya melaju keluar dari halaman gedung Nuswantara Properti. Menyusuri jalanan yang sudah cukup ramai menuju siang hari ini.
Roda empat itu terus melaju hingga tiba di tempat tujuan setelah puluhan menit dilewati. Rendi keluar lebih dulu. Sementara Rada harus membenarkan posisi mobil di samping mobil-mobil lain.
Pria tampan itu menghela napas panjang sebelum turun dari mobil. Jemarinya kembali membuka room chat-nya bersama Indira. Pesan yang terakhir ia kirim tetap sama, belum dibalas oleh wanita itu.
Huft!
"Tunggu aku pulang, Sayang ...."
***
"Jadi berburu menu baru gak, Dir?" tanya Rumi. Tangannya sibuk membenahi lembaran dokumen yang berserakan di atas meja.
"Kok, aku males, ya? Kamu sendirian aja gak apa-apa, Rum?"
Jawaban Indira membuat gerakan tangan Rumi terhenti seketika. Ia menatap lurus sang sahabat dengan kening yang mengkerut.
"Kenapa? Gak seru banget!" Padahal ia sudah membayangkan menu baru di kantin Nuswantara itu menari-nari di lidahnya.
"Aku lagi males, Rum. Kamu aja, deh, ya?"
Rumi mengembungkan pipinya kesal. Segera ia benahi dokumen-dokumen di tangan, lalu berjalan ke samping Indira. Dengan sekali gerakan, ia tarik tangan sang sahabat lalu membawanya keluar ruangan.
"Aduh, Rum ...."
"Jangan ditarik-tarik, dong!"
Indira benar-benar merasa seperti buronan yang tengah ditangkap polisi. Ia berusaha melepaskan cekalan Rumi, tapi tak berhasil.
"Udah, deh. Aku tahu kamu mau menyendiri, kan? Gak baik tahu, Dir! Mending kita makan enak di kantin biar perut kenyang," ucap Rumi yang membuat Indira berdecak pelan.
"Tapi aku gak lapar, Rumi ...."
"Ya tapi kamu perlu makan juga, Dir. Galau itu gak bikin kenyang. Nanti juga masalah kamu sama Rada selesai."
Indira menarik napas dalam. Enteng sekali bibir Rumi berucap. Padahal jika wanita itu merasakan apa yang Indira rasakan sekarang, belum tentu bisa sabar sepertinya.
Ya, sabar, sebab ia tak bertanya apa pun pada Rada perihal seorang perempuan yang mengirim pesan tadi pagi.
'Huh, pasti sekarang mereka lagi ketemuan, kan? Beneran klien apa bukan, sih?' geramnya dalam hati. Ia jadi teringat kembali pesan tadi pagi gara-gara Rumi terus membahas sang suami.
Mau seberapa kuat pun Indira menolak, kini bokongnya sudah dipaksa duduk oleh Rumi di kursi kantin.
"Kamu tunggu di sini. Biar aku yang pesan menu barunya," tegas Rumi seolah tengah memperingati seorang anak kecil.
Indira hanya diam sembari menatap meja dengan malas. Membiarkan Rumi memesan makanan yang sebetulnya sedang tidak ia inginkan. Hingga setelah beberapa lama menunggu, suara langkah kaki terdengar berhenti di samping tubuhnya. Namun, ketika ia mengangkat pandangan, ternyata bukan Rumi yang datang.
"Pak Revan?"
Ya, pria itu lagi, dan sontak saja membuat kedua tangan Indira terkepal di atas meja.
"Mau makan siang, ya? Saya boleh gabung?"
Seperti biasa, pria itu bertanya sembari melengkungkan senyumnya. Namun, kali ini Indira benar-benar tak bisa lagi bersandiwara.
Wanita itu bangkit dari kursi hingga kini posisinya saling berhadapan dengan Revan.
"Kalau Pak Revan mau duduk di sini, silakan. Saya masih bisa cari kursi lain."
Seketika lipatan terlihat jelas di kening Revan. Jawaban Indira jelas menyiratkan jika wanita itu tidak ingin makan satu meja dengannya. Namun, kenapa?
"Permisi," ucap wanita itu yang kemudian melangkahkan kaki hendak berlalu.
"Tunggu, Dira!" cegahnya. Ia berusaha menahan tangan wanita itu, tapi tak bisa. Indira malah menepisnya, lalu benar-benar pergi dari sana.
Kini Revan hanya bisa terpaku dengan kedua tangan yang mengepal. "Apa ini balasanmu atas kebaikanku, Indira Ayudhia?"
ayo thor ksh rada anak😀😅