Aku sering mendengar orang berkata bahwa tato hanya diatas kulit.
“Jangan bergerak.”
Suara Drevian Vendrell terdengar pelan, tapi tegas di atas kepalaku.
Jarumnya menyentuh kulitku, dingin dan tajam.
Ini pertama kalinya aku ditato, tapi aku lebih sibuk memikirkan jarak tubuhnya yang terlalu dekat.
Aku bisa mencium aroma tinta, alkohol, dan... entah kenapa, dia.
Hangat. Menyebalkan. Tapi bikin aku mau tetap di sini.
“Aku suka caramu diam.” katanya tiba-tiba.
Aku hampir tertawa, tapi kutahan.
Dia memang begitu. Dingin, sok datar, seolah dunia hanya tentang seni dan tatonya.
Tapi aku tahu, pelan-pelan, dia juga sedang mengukir aku lebih dari sekadar di kulit.
Dan bodohnya, aku membiarkan dia melakukannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reenie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tak Tahu Malu
Selena berdiri didepan Drevian. Ia memasang wajah bersedih karena merasa dikhianati oleh Drevian.
“Selena?” suara Drevian datar. “Ngapain kau datang lagi?”
Selena mencoba tersenyum, melangkah mendekat dengan pakaian yang jelas-jelas ia pilih agar menggoda.
“Aku... mau ditato, Drevian. Tapi kali ini bukan sembarang tato. Aku mau kau yang bikinin tanda cinta di tubuhku. Tanda bahwa aku cuma untukmu.”
Drevian mengernyit, menaruh jarum tato di meja.
“Kau bercanda lagi?”
“Aku serius.” Mata Selena berkilat, lalu suaranya menurun.
“Aku mau tato itu... di tempat yang paling pribadi. Aku rela buka semua. Aku cuma mau buktikan cintaku padamu.”
Sejenak, suasana membeku. Drevian menatapnya, dan rasa muak tiba-tiba naik ke tenggorokannya. Bukan rasa kagum, bukan rasa simpati, tapi jijik. Ia menahan napas seakan ingin muntah.
“Gila kau!” bentaknya tiba-tiba. “Keluar dari sini!”
Selena terkejut, wajahnya memucat. “Drevian aku... aku serius. Kenapa kau selalu tolak aku? Kau nggak tahu betapa aku udah lama-”
“Cukup, Selena!” Drevian berdiri, menahan amarah.
“Kau pikir aku mau? Kau pikir aku butuh lihat tubuhmu untuk percaya cinta? Itu bukan cinta. Itu obsesi sakit!”
"Selena kau itu perempuan gila, tahu? Kau rela menyerahkan tubuhmu padaku? Sungguh murahan sekali dirimu."
"Kau belum pernah ya melihat aku marah, Selena. Dari SMA kau terus menggangguku. Aku sudah bilang kalau aku tidak mencintaimu! Aku mencintai Liora. Perempuan yang memiliki urat malu dan dia tak sebanding dengan dirimu!" bentak Drevian
Selena merasa hatinya hancur. Perlahan air matanya mengalir
"Aku tahu kau simpanan bosmu! Dan kau ingin aku menerimamu apa adanya sementara kau sudah melayani bosmu dengan tubuhmu?!"
"Hal yang perlu kau ketahui Selena. Sampai kapan pun aku tidak akan pernah sudi memilihmu sebagai pasangan hidupku sekalipun kita dijodohkan karena perusahaan ayah kita!!" bentaknya lagi.
Suasana menjadi tegang. Perempuan yang ditato Ronan melihat kejadian itu dan ternganga.
"Jadi benar Selena itu simpanan bosnya" ujar pelanggan perempuan itu.
Ronan juga terkejut dengan amarah bosnya begitu juga dengan Zeke. Tak pernah mereka lihat Drevian semarah ini apalagi kepada perempuan.
Tepat saat itu, dua pelanggan yang baru datang berdiri di pintu. Mereka hanya sempat mendengar Drevian membentak keras, melihat Selena berdiri dengan mata berkaca-kaca. Adegan itu langsung menimbulkan kesan keliru.
“Eh.. dia apain sekretaris itu?” bisik salah satu pelanggan.
“Kasihan banget, sampai nangis gitu,” timpal yang lain.
Selena semakin tersudut. Air matanya pecah, membuatnya terlihat seolah korban yang dipermalukan. Ia menutup wajahnya, berlari keluar sambil terisak. Orang-orang menatap Drevian dengan tatapan sinis.
“Kurang ajar banget,” terdengar gumaman.
Drevian menggertakkan gigi. Ia tahu mereka salah paham, tapi tak ada gunanya menjelaskan. Orang hanya akan percaya apa yang ingin mereka percaya. Ia mengusap wajahnya kasar, menahan rasa mual yang masih tersisa karena kata-kata Selena tadi.
Selena berlari menuju mobilnya, air mata mengalir deras. Harga dirinya terasa tercabik. Ia ingin membuktikan cinta, tapi malah diusir seperti sampah. Lebih parah lagi, semua orang kini mungkin menganggapnya korban.
Tangannya gemetar saat ia meraih ponsel. Satu nama terpampang di layar Mr. Adrian, bosnya. Satu-satunya orang yang selalu mendengar curhatnya, meski ia tahu ada harga yang harus dibayar di balik itu.
“Pak...” suaranya bergetar ketika telepon tersambung.
“Aku gagal lagi. Dia... dia hina aku.”
“Tenang, sayang,” suara Adrian terdengar dalam dan menenangkan.
“Kau di mana sekarang? Kembali ke kantor. Kita bicara di ruangan.”
Kantor itu sudah sepi ketika Selena datang. Lampu ruangan bosnya masih menyala. Adrian, pria paruh baya dengan jas mahal dan senyum yang terlalu tenang, sudah menunggunya.
Selena masuk dan duduk dipangkuan bosnya dengan santainya.
“Apa yang terjadi?” tanya Adrian lembut, menyodorkan segelas air.
Selena mengambilnya, tangan masih bergetar.
“Aku.. aku mau dia tato aku. Tanda cinta. Tapi dia malah marah, usir aku, teriak-teriak kayak aku perempuan murahan”
Adrian menatapnya dalam, lalu perlahan tersenyum.
“Sayang, kau terlalu keras mengejarnya. Laki-laki seperti Drevian mereka sok suci. Mereka pikir dunia selalu hitam-putih. Padahal kau cuma mau dicintai.”
Selena menggigit bibir. Kata-kata itu menenangkan, tapi juga menyakitkan.
“Kau masih punya aku, Selena. Aku bisa kasih semua yang dia nggak bisa. Kau mau uang, posisi, rasa aman. Kau tahu itu, kan?” Adrian mengencangkan pelukannya.
“Kalau kau lelah mengejar bayangan, lihatlah apa yang nyata di depan mata.”
Mr. Adrian adalah pria paruh baya. Ia bercerai dengan istrinya karena Ia sering berhubungan gelap dengan Selena. Entah kenapa Mr. Adrian begitu tertarik dengan Selena padahal awalnya Ia menganggap Selena itu sebagai mainannnya.
Air mata Selena menetes lagi. Ia tahu betul maksud tersirat di balik kalimat itu. Sejak lama, ia sudah menjadi simpanan Adrian. Setiap kali ia menyerahkan tubuhnya, uang mengalir, dan posisinya sebagai sekretaris pribadi tetap aman.
Namun kali ini terasa berbeda. Ia datang dengan hati hancur, dan justru disambut dengan tawaran yang sama.
“Apa aku cuma mainan, Pak?” suaranya lirih.
Adrian mendudukkan Selena disampingnya lalu mengangkat dagunya, menatapnya dengan tatapan yang penuh kuasa.
“Kau lebih dari itu. Kau penting bagiku. Tapi kau juga tahu, di dunia ini, semua ada harga. Termasuk cintamu pada Drevian. Kau bisa kejar dia terus, tapi pada akhirnya kau tetap kembali padaku.” ujar Mr. Adrian lalu mencium bibir Selena dengan gairahnya.
Selena menutup matanya dan membalas ciuman itu. Ia benci kenyataan itu. Benci pada dirinya yang selalu kalah. Tapi tubuhnya sudah terlalu lelah melawan. Ia mengangguk kecil, tanda menyerah lagi pada jerat yang sama.
Keesokan harinya, kabar tentang 'kejadian di studio tato' menyebar cepat. Beberapa pelanggan yang melihat menggosip di media sosial, membuat cerita hingga seolah Drevian benar-benar membentak perempuan tak bersalah.
Drevian membaca salah satu postingan itu sambil mengepalkan tangan.
“Sial... dia benar-benar bikin masalah.”
Zeke, karyawannya, datang membawa kopi.
“Bos, anda tahu bahwa orang-orang sekarang bilang anda kasar sama perempuan. Katanya sekretaris kantor besar itu sampai lari sambil nangis.”
Drevian menatapnya tajam. “Kau percaya juga?”
Zeke mengangkat bahu.
“Saya tidak mungkin percaya sama mereka bos. Saya benar-benar melihat bagaimana Selena menggoda anda kemarin dan amarah anda itu cukup menggemparkan. Tapi dunia di luar sana lebih suka drama daripada kebenaran.”
Drevian menghela napas berat. Bayangan wajah Selena semalam kembali muncul di kepalanya, bersama tatapan licik bos yang sering ia dengar kabarnya. Ya, Drevian tahu siapa Adrian itu. Pria kaya raya yang gemar membeli kesetiaan dengan uang, dan Selena hanyalah salah satu korbannya.
“Itu yang bikin aku muak,” desis Drevian.
“Dia rela jual diri demi uang, lalu pura-pura jatuh cinta padaku. Aku nggak mau jadi bagian dari kebusukan itu.”
Zeke menatapnya prihatin.
“Hati-hati, bos. Orang kayak Adrian tidak suka kalau ‘mainannya’ jatuh cinta sama orang lain. Kalau dia tahu Selena masih ngejar anda, bisa-bisa anda yang kena masalah, bos.”
Drevian terdiam. Peringatan itu masuk akal. Dunia Adrian penuh intrik, penuh kuasa. Jika ia benar-benar ingin menjatuhkan Drevian, gosip kecil bisa jadi besar.
Sementara itu, Selena kembali duduk di meja kerjanya, wajahnya dingin seakan tak terjadi apa-apa. Tapi di dalam hati, ia retak. Ia tahu dirinya bukan korban murni. Ia memilih jalannya sendiri menjadi simpanan, menerima uang, dan sesekali berharap cinta sejati datang.
Namun harapan itu hancur di tangan Drevian.
“Kalau saja kau bisa lihat aku dengan cara berbeda...” bisiknya, menatap layar ponselnya yang menampilkan foto Drevian.
Air matanya hampir jatuh lagi, tapi suara Adrian dari ruangan kaca memanggilnya. Selena menghapus cepat sisa air mata, lalu berdiri tegak. Adrian tahu kalau Selena menangis, jadi Ia mendiamkannya dan menciumnya seperti biasa.
waw sih