NovelToon NovelToon
Elegi Grilyanto

Elegi Grilyanto

Status: sedang berlangsung
Genre:Janda / Keluarga / Suami ideal / Istri ideal
Popularitas:500
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Elegi Grilyanto adalah kisah penuh haru yang dituturkan oleh Puja, seorang anak yang tumbuh dengan kenangan akan sosok ayah yang telah tiada—Grilyanto. Dalam lembaran demi lembaran, Puja mengajak pembaca menyusuri jejak hidup sang ayah, dari masa kecilnya, perjuangan cintanya dengan sang ibu, Sri Wiwik Budi, hingga tantangan pernikahan mereka yang tak selalu mendapatkan restu. Lewat narasi yang jujur dan menyentuh, kisah ini bukan hanya tentang kehilangan, tapi juga tentang mengenang, menerima, dan merayakan cinta seorang anak kepada ayahnya yang telah pergi untuk selamanya.
real Kisah nyata

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 9

Wajah sang ibu tampak pucat dan lemah, namun masih memaksakan senyum saat melihat anak bungsunya datang.

“Gril... akhirnya kamu pulang,” ucapnya lirih.

Grilyanto mendekat, menggenggam tangan ibunya yang dingin.

“Iya, Bu... aku di sini sekarang.”

Salah satu kakaknya menjelaskan dengan suara pelan,

“Ibu cuma kelelahan, Gril. Mungkin karena terlalu banyak pikiran dan aktivitas. Belakangan ini beliau sering memaksakan diri.”

Grilyanto menatap wajah ibunya dengan penuh kasih. Hatinya terasa pedih, tapi juga lega karena sang ibu masih bisa tersenyum.

“Sekarang ibu istirahat saja, biar kami yang urus semua.”

Dengan sentuhan lembut dan hati yang tulus, Grilyanto berniat menjaga ibunya sepenuh hati selama di rumah.

Grilyanto setia berada di sisi ibunya. Ia menyuapi, memijit kaki yang pegal, dan menyiapkan air hangat untuk menyeka tubuh sang ibu setiap pagi.

Pada suatu sore yang tenang, di tengah suara ayam berkokok dari kejauhan, ibu menatap wajah Grilyanto dengan mata sayu tapi penuh kasih.

“Gril...” panggilnya pelan.

“Iya, Bu?” jawab Grilyanto sambil membenarkan selimutnya.

Ibu menggenggam tangan anaknya dengan lemah.

“Ibu cuma ingin lihat kamu tenang, bahagia. Sudah waktunya kamu punya pendamping hidup, Gril. Ibu ingin kamu menikah...”

Grilyanto terdiam. Kata-kata itu datang lembut, tapi menyentuh hatinya begitu dalam. Ia menatap wajah ibunya yang penuh harap.

“Iya, Bu... kalau memang itu yang bisa bikin Ibu tenang, Gril akan pikirkan.”

Senyum tipis terukir di bibir ibunya, seolah keinginannya yang lama tersimpan akhirnya terucap.

Ibu menatap langit-langit kamar sejenak, lalu menghela napas perlahan.

“Gril… ibu sebenarnya sudah lama menyimpan keinginan. Ada anak teman ibu, namanya Grilyanti. Orangnya baik, sopan, dan dari keluarga yang ibu kenal.”

Grilyanto sontak terdiam. Matanya melebar sedikit, tak menyangka.

“Grilyanti, Bu?” tanyanya pelan, seakan memastikan.

Ibu mengangguk dengan lembut.

“Iya, Nak. Ibu cuma ingin yang terbaik untukmu.”

Grilyanto menunduk sejenak, lalu memberanikan diri bicara.

“Bu… aku sudah punya seseorang. Namanya Sri.”

“Kami sudah dekat… dan aku serius.”

Ibu terkejut, lalu memandang putranya dengan tenang, meski wajahnya tampak berpikir keras.

“Sri?” gumam ibu. “Ibu belum kenal. Tapi kalau kamu yakin, ibu ingin tahu siapa dia.”

Grilyanto menatap ibunya penuh hormat.

“Kalau ibu bersedia, nanti aku kenalkan.”

Suasana menjadi hening. Hanya suara detak jam di dinding yang menemani, sementara di hati Grilyanto bergolak antara tanggung jawab sebagai anak dan keyakinannya pada cinta.

****

Beberapa minggu kemudian, kondisi ibu Grilyanto mulai membaik.

Wajahnya tampak lebih segar, dan langkahnya pun sudah kembali kuat meski masih pelan.

Suasana rumah kembali hangat, penuh canda dan doa syukur dari keluarga.

Suatu pagi yang cerah, Grilyanto duduk di teras sambil memandang sawah di kejauhan. Ibu datang menghampiri, duduk di sebelahnya.

“Gril… kamu sudah cukup lama di sini. Kalau ibu sudah sehat begini, pulanglah ke Surabaya. Lanjutkan hidupmu, kerja dan cintamu.”

Grilyanto menoleh, tersenyum tipis.

“Iya, Bu. Tapi kalau Ibu butuh apa-apa, bilang ya. Aku bisa pulang kapan saja.”

Ibu mengangguk dan menggenggam tangan anaknya.

“Hati-hati di jalan, Nak. Dan… bawa Sri kemari suatu hari nanti.”

Dengan restu ibu di hatinya dan semangat baru, Grilyanto pun kembali ke Surabaya, membawa harapan untuk masa depan yang perlahan mulai terbentuk.

Setelah kembali dari Magelang dan masuk kerja seperti biasa, Grilyanto menyempatkan diri pulang lebih awal.

Di tangannya tergenggam kantong kecil berisi oleh-oleh getuk Magelang favorit, getuk eco, yang lembut dan manis.

Dengan langkah bersemangat, ia menuju rumah Sri. Rasa rindu yang dipendam selama berminggu-minggu membuat hatinya hangat.

Ia membayangkan senyum Sri saat menerima oleh-oleh itu.

Namun, sesampainya di depan rumah, pintu tertutup rapat.

Grilyanto mengetuk pelan.

Tidak ada jawaban.

Ia bertanya pada tetangga sebelah.

“Sri, Bu?” tanyanya sopan.

“Oh, Mbak Sri ke rumah saudaranya, Mas. Mungkin pulang malam.”

Grilyanto mengangguk pelan, sedikit kecewa namun tetap tersenyum.

Ia meletakkan kantong berisi getuk eco di depan pintu dengan secarik kertas kecil:

"Untuk Sri. Oleh-oleh dari Magelang. –Gril"

Sambil berjalan pulang, hatinya penuh harap semoga esok, mereka bisa bertemu dan berbagi cerita lagi.

Jam menunjukkan pukul delapan malam saat Sri pulang ke rumah.

Langkahnya pelan, lelah setelah seharian membantu saudaranya. Ketika hendak membuka pintu, matanya menangkap sebuah kantong plastik kecil di depan pintu.

Ia membungkuk, membuka kresek itu perlahan.

"Getuk eco..." gumamnya lirih, mata berbinar.

Tangannya meraba secarik kertas kecil yang terselip di dalamnya.

Untuk Sri. Oleh-oleh dari Magelang. –Gril

Senyum hangat langsung mengembang di wajahnya. Hatinya seolah tersentuh dalam diam.

Tanpa pikir panjang, Sri mengambil selendangnya, lalu berjalan cepat ke arah warung dekat gang.

Di sudut warung itu ada sebuah telepon umum yang selama ini menjadi saksi perbincangan mereka.

Sri mengangkat gagang, memasukkan koin, dan menekan angka familiar:

1 - 0 - 8

Beberapa detik sunyi, lalu terdengar suara operator di ujung sana.

Dan seperti yang sudah-sudah, suara lembut penuh kenangan menjawab,

“108, ada yang bisa saya bantu?”

“Mas Gril… ini Sri.”

Keheningan singkat, lalu terdengar suara Grilyanto yang hangat dan penuh tawa.

“Sri… aku kira kamu belum pulang. Getuknya masih utuh, ya?”

Malam itu mereka berbicara cukup lama, seperti tak ingin malam cepat berlalu.

Beberapa hari setelah percakapan di telepon malam itu, Grilyanto datang lagi ke rumah Sri. Kali ini Sri sudah menunggu di teras dengan secangkir teh manis dan senyum yang tak kalah manis.

“Maaf ya kemarin aku nggak di rumah,” ucap Sri sambil menyodorkan teh.

“Tapi getuknya enak banget. Masih hangat rasanya.”

Grilyanto tertawa kecil.

“Yang penting kamu suka. Itu memang favorit Ibu di rumah.”

Obrolan demi obrolan mengalir, lebih dalam dari sebelumnya.

Tentang keluarga, tentang luka, tentang harapan. Grilyanto menceritakan restu dari ibunya, dan bagaimana ia sempat dijodohkan dengan wanita lain.

Sri hanya menatap diam.

“Lalu kenapa kamu nggak pilih dia?” tanyanya pelan.

Grilyanto menatap mata Sri, mantap.

“Karena hatiku sudah milih kamu dari awal.”

Sri tersenyum tak berkata apa-apa, tapi dalam dadanya ada desir hangat yang tumbuh perlahan.

Hari-hari berikutnya mereka makin sering bertemu. Grilyanto mulai menyebut rencana masa depan.

Tentang rumah kecil, halaman sempit tapi penuh bunga, dan seorang anak perempuan yang kelak akan diberi nama Puja.

“Puja?” tanya Sri.

Grilyanto mengangguk.

“Seperti film India yang kita tonton itu. Dan seperti kamu… yang memberi arti dalam hidupku.”

Sri hanya bisa tertunduk, hatinya penuh rasa yang sulit dijelaskan.

Malam itu, di bawah cahaya lampu teras yang temaram, Grilyanto duduk di samping Sri.

Ia menghela napas, kemudian menatap Sri dalam-dalam.

“Sri… Ibu memintaku untuk segera menikah.”

Sri terdiam. Tangannya mengepal di atas pangkuannya.

“Aku ingin kamu ikut ke Magelang. Aku ingin kenalkan kamu ke keluargaku…” lanjut Grilyanto dengan suara lembut tapi penuh keyakinan.

Sri menoleh perlahan. Ada air yang mulai menggenang di matanya.

Ia menunduk, lalu berdiri masuk ke dalam rumah. Beberapa saat kemudian, ia keluar sambil menggandeng tangan seorang anak lelaki kecil berusia sekitar lima tahun.

“Gril… aku harus jujur padamu.”

Anak kecil itu berdiri malu-malu di belakang Sri.

“Namanya Heri. Aku… seorang janda. Dan Heri ini anakku.”

Suasana hening seketika. Hanya suara jangkrik dan detak jantung yang seolah menggema di antara mereka.

Grilyanto terdiam. Ia menatap Heri, lalu kembali menatap Sri.

Sri melanjutkan, suaranya sedikit bergetar,

“Aku nggak ingin kamu merasa tertipu. Aku tahu mungkin kamu nggak siap menerima ini.”

Beberapa detik berlalu. Lalu, Grilyanto berjongkok, menatap mata Heri dan tersenyum.

“Hai, Heri… aku Om Gril.”

Lalu ia berdiri dan menatap Sri.

“Kamu janda atau bukan, kamu tetap Sri yang aku sayang. Heri bukan halangan. Kalau kamu mau... ayo ikut aku ke Magelang.”

Sri tak bisa menahan air matanya lagi. Ia mengangguk perlahan dengan hati yang perlahan mulai yakin bahwa cinta sejati memang tak pernah peduli pada masa lalu.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!