"Rey... Reyesh?!"
Kembali, Mutiara beberapa kali memanggil nama jenius itu. Tapi tidak direspon. Kondisi Reyesh masih setengah membungkuk layaknya orang sedang rukuk dalam sholat. Jenius itu masih dalam kondisi permintaan maaf versinya.
"Rey... udah ya! Kamu udah kumaafkan, kok. Jangan begini dong. Nanti aku nya yang nggak enak kalo kamu terus-terusan dalam kondisi seperti ini. Bangun, Rey!" pinta Mutiara dengan nada memelas, penuh kekhawatiran.
Mutiara kini berada dalam dilema hebat. Bingung mau berbuat apa.
Ditengah kondisi dilemanya itu, ia lihat sebutir air jatuh dari wajah Reyesh. Diiringi butir lain perlahan berjatuhan.
"Rey... ka-kamu nangis, ya?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon alfphyrizhmi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26 - Mahasiswa/i Sampah (bagian 02)
"Tapi nggak harus dengan pengandaian sampah, Rey. Masih banyak contoh atau analogi yang mungkin lebih baik lagi untuk mereka." balas Mutiara dengan nada suara pelan, karena takut dibalas oleh argumen kuat Reyesh, yang pastinya sulit ia bantah.
"Tolong dengarkan dulu, Mut. Kenapa mereka bertiga langsung kuberikan cap seperti sampah, karena penampilan kusut tidak terawat juga cara berjalan yang tidak bergairah. Ditambah etika serta ucapan mereka, sangat tidak mencerminkan IPK diatas 3.00, pasti itu. Kuyakin IPK mereka bertiga ada di kisaran 2,40 sampai 2,80an lah. Mentok." ucap Reyesh.
"Kok bisa kamu mengambil kesimpulan seperti itu, Rey?"
"Karena sepengamatanku, jarang ada mahasiswa/i yang IPK-nya diatas 3.00, lalu beretika tidak pantas yang barusan kita lihat. Kemudian sekonyong-konyong menantang kita. Tanpa ada angin, maupun hujan. Lalu diakhirnya, mereka tidak berani menyetujui kesepakatan."
Setiap Reyesh berbicara, Mutiara selalu menyimak. Apalagi jika itu informasi atau wawasan berharga, dengan penuh kesadaran gadis itu akan menatap Reyesh sambil memperhatikan.
"Dan biasanya, mahasiswa/i ber-IPK diatas 3.00 Mut, pikirannya terlalu sibuk untuk menjaga nilai mereka masing-masing, nggak mungkin ada waktu untuk berleha-leha dan santai seperti tiga mahasiswa/i senior yang kita lihat barusan. Hampir kebanyakan pemilik IPK tinggi, sibuk supaya IPK-nya tidak turun. Karena khawatir dengan masa depan mereka. Kebalikan sama yang kita lihat barusan, tidak ada rasa cemas sama sekali."
"Oke, baiklah. Aku setuju dengan semua alasanmu itu. Tapi..." ucap Mutiara yang terdengar sepenuhnya sepakat, namun terbesit nada menyerah.
"Tapi apa?"
"Tolong gunakan pengandaian yang lebih baik. Sampah, bagiku terlalu kejam dan jahat. Itu saja." ucap Mutiara dengan nada meminta atau memohon.
Gadis itu khawatir, jika Reyesh terus-terusan menggunakan perumpamaan atau istilah yang sangat kotor, maka Mutiara takut kalau suatu saat, si jenius ini berubah sikap menjadi sangat kejam secara permanen karena pemikirannya sendiri.
Itulah hal yang paling ditakutkan Mutiara, dikala dirinya sudah mulai sangat nyaman dengan sikap Reyesh yang dingin dan terkadang suka membagikan ilmu atau wawasan kepadanya.
Mutiara khawatir, jika Reyesh berubah menjadi sosok dan pribadi lain, maka bersiap-siaplah ia akan kehilangan si jenius itu.
"Tidak, Mut. Kamu nggak usah memikirkan cap yang kuberikan pada mereka bertiga, ya! Toh, aku nggak hanya niat mengejek mahasiswa/i senior itu. Perumpamaan sampah, mungkin layak untuk mereka, mungkin juga untuk kita. Karena sampah yang dikira bau dan membuat penyakit bagi kebanyakan orang, justru bisa bermanfaat jika mereka mau mengasingkan diri untuk didaur ulang." ucap Reyesh. Kali ini tatapannya serius. Si jenius itu tidak pernah bercanda dan main-main saat memberikan sebuah nasehat maupun saran.
"Setelah kita atau mereka melewati proses daur ulang itu, proses yang begitu menyakitkan dan butuh banyak waktu, maka output-nya adalah menjadi barang bernilai jual tinggi dan layak dijual!" tutup Reyesh dengan wajah sumringah.
"Kamu paham kan maksud dan arah ucapanku?" tanya Reyesh, khawatir Mutiara hanya manggut-manggut saja mendengar komat-kamitnya barusan.
"Paham banget, Rey." jawabnya dengan nada lembut diiringi senyum.
"Nah, mungkin saja mereka bertiga adalah sampah yang sedang mencari jalur untuk didaur ulang, Mut. Lalu bertarung dengan sebuah proses yang tidak enak, tapi pastinya setelah melalui proses yang cukup panjang dan melelahkan, mereka akan dibentuk jadi lebih mahal lagi. Semoga, ya!"
Ucapan Reyesh bagai sebuah magis yang menyihir pemikiran Mutiara. Perlahan, energi hidup mutiara semakin menyala. Ia lebih bersemangat dari sebelumnya. Mungkin ia ketularan karena terus berada di sekitar Reyesh, pikirnya singkat.
"Baiklah, aku paham ucapanmu, jenius!" ucap Mutiara sembari mengangkat kedua tangan.
Mutiara kembali fokus dan mulai mengerjakan soal dengan penuh semangat.
Selama lebih dari satu jam, mereka belajar tanpa henti. Nonstop. Selesai mengerjakan soal, disuguhkan soal berikutnya oleh Reyesh. Mutiara sempat protes keras karena tidak diberi jeda, tapi... lagi-lagi alasan si jenius dingin itu tidak dapat dibantah. Mutiara jadi merasa bodoh sendiri jika mendebat si jenius dingin Reyesh.
Akhirnya menyerah dan memilih lanjut kerjakan soal demi soal buatan mentornya itu.
Mutiara mencurahkan semua emosinya ke dalam setiap soal yang ia kerjakan. Reyesh tetap memantau dan membimbingnya dengan tenang, memberikan arahan ketika Mutiara dilanda kesulitan.
Namun, setelah sekian lama berkutat dengan variabel dan teori kalkulus, Mutiara merasa pikirannya mulai lelah. Ia meletakkan pensilnya dengan dramatis lalu menatap Reyesh,
"Aku menyerah untuk sekarang! Baterai otakku sudah habis tak bersisa, Rey!" katanya lelah.
"Aku butuh makanan, Rey. Kamu jahat banget, setelah olahraga dengan metode semi-militer, lalu sambung belajar mode marathon begini. Mana cuma dikasih cokelat doang! Perutku udah mulai demo dan keroncongan. Nggak bisa diajak kompromi lagi, nih!" protesnya dengan nada lemas dan wajah sayu.
Reyesh cuma tersenyum tipis, lalu menutup bukunya.
"Eits! Jangan protes urusan cokelat, Mut!"
"Kenapa emangnya?"
"Karena cokelat cukup energi untuk membuatmu fokus belajar. Dan tidak membuatmu terlalu kenyang. Perut yang penuh dan kenyang susah bikin orang fokus, Mut. Malahan yang ada bikin ngantuk. Selain itu, manfaat cokelat lainnya bisa menambah endorfin, yaitu hormon yang membuatmu senang dan bisa menerima pelajaran tanpa harus ngedumel gak jelas!"
"Oh... aku nggak tahu sebesar itu efek dari sebatang cokelat yang kamu berikan tadi." ucap Mutiara, masih tak percaya hal remeh yang sebelumnya diberikan Reyesh padanya.
"Baiklah," kata Reyesh sambil berdiri.
"Karena perutku juga mulai lapar, kebetulan aku tahu tempat makan yang enak dan tidak terlalu ramai."
Mutiara menatapnya penuh harap, "Hah seriusan? Eh, Jangan bilang kita hanya akan makan roti atau minum jus sehat lagi! Seperti yang kamu berikan saat latihan semi-militerr!"
Reyesh malah terkekeh kecil mendengar protes dari Mutiara. Nadanya sudah tidak bertenaga, jadi protesnya terkesan seperti omelan manja.
"Nggak kok, Mut. Kali ini, aku akan mengajakmu ke tempat makan favoritku yang tersembunyi."
Mutiara mengangkat kedua alisnya.
"Hah?! Tersembunyi?" tanyanya penasaran.
Reyesh hanya tersenyum, membereskan buku, dan segera mengajak Mutiara keluar dari kelas secepatnya.
"Iya! Bener-bener sebuah tempat yang sangat istimewa! Terkhusus untukku, dan beberapa sahabat terbaikku!" ungkap Reyesh dengan mata berbinar-binar.
"Apa istimewanya?" tanya Mutiara.
"Ayo... ikut saja dulu! Bukan surprise namanya, kalo aku beritahu kamu sekarang." kata Reyesh, bergegas merapikan semuanya, termasuk mengembalikan kembali bangku kuliah pada tempat awal, dan menghapus bekas coret-coretan di papan tulis, pasca memberi bimbel pada Mutiara.
"Seenggaknya, kasih kisi-kisi nya dulu, Rey! Supaya aku terbayang suasananya, lalu memutuskan ikut atau nggak!" kata Mutiara.
"Pake kisi-kisi segala! Emangnya kamu mau ujian, Mut? Udah lah, hayo... Kalau kelamaan dan makin siang, keburu ramai tempat itu. Bisa-bisa, kita nggak kebagian tempat duduk nanti." ucap Reyesh setengah memaksa, masih merayu Mutiara agar mau ikut dengannya.
Bersambung......