NovelToon NovelToon
Pernikahan Balas Dendam

Pernikahan Balas Dendam

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikah Kontrak / Pernikahan Kilat / Cinta Paksa / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:290
Nilai: 5
Nama Author: arinnjay

Seorang wanita cantik dan tangguh bernama Arumi Pratama putri tunggal dari keluarga Pratama.
Namun naas suatu kejadian yang tak pernah Arumi bayangkan, ia dituduh telah membunuh seorang wanita cantik dan kuat bernama Rose Dirgantara, adik dari Damian Dirgantara, sehingga Damian memiliki dendam kepada Arumi yang tega membunuh adik nya. Ia menikah dengan Arumi untuk membalas dendam kepada Arumi, tetapi pernikahan yang Arumi jalani bagaikan neraka, bagaimana tidak? Damian menyiksanya, menjadikan ia seperti pembantu, dan mencaci maki dirinya. Tapi seiring berjalannya waktu ia mulai jatuh cinta kepada Damian, akankah kebenaran terungkap bahwa Arumi bukan pelaku sebenarnya dan Damian akan mencintai dirinya atau pernikahan mereka berakhir?
Ikutin terus ceritanya yaa

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon arinnjay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 8: Bayangan Di Balik Nama

Dua hari setelah penangkapan Saka, Damian merasa tubuhnya seperti hampa. Ia menyangka semua akan terasa lega setelah satu nama besar berhasil dijatuhkan. Tapi kenyataannya, justru semakin banyak lubang yang terbuka.

“Seperti kamu gali tanah untuk cari emas,” gumamnya sambil menatap layar laptop, “tapi malah ketemu kuburan.”

Arumi duduk tak jauh dari Damian, menelusuri dokumen dari kartu memori Raka. Di dalam folder tersembunyi, mereka menemukan satu dokumen yang belum sempat dibuka: daftar nama.

Nama-nama yang berderet tanpa keterangan, hanya satu kolom kecil di samping tiap nama bertuliskan angka-angka—kemungkinan besar jumlah transfer uang.

Dan di puncak daftar itu, satu nama muncul berulang: Alaric Foundation.

Arumi mengetik cepat. “Yayasan ini nggak punya rekam jejak resmi di Indonesia. Tapi ada afiliasi dengan perusahaan-perusahaan investasi asing... dan pernah berpartner dengan yayasan Nadine sepuluh tahun lalu.”

Damian mengernyit. “Kamu bilang... Alaric?”

Arumi menoleh. “Iya. Kamu tahu nama itu?”

Damian berdiri. Tubuhnya tegang. “Alaric... itu nama tengah ibu kandungku.”

Arumi menatap Damian tak berkedip.

“Jadi... kamu bilang... ini bukan cuma soal ayahmu, atau Nadine, atau Saka?”

Damian mengangguk pelan, suaranya nyaris tak terdengar. “Ini tentang keluargaku. Sejak awal.”

---

Sore harinya, Damian kembali ke rumah masa kecilnya. Rumah besar yang kini sudah seperti museum keluarga. Arumi menyusul satu jam kemudian, membawa arsip tua yang disalin dari data publik.

Di ruang kerja tua yang penuh debu, Damian membuka laci-laci yang sudah bertahun-tahun tidak disentuh.

“Waktu kecil,” katanya lirih, “aku sering denger nama Alaric disebut Ibu saat sedang ngobrol dengan temannya. Tapi Ayah selalu marah kalau Ibu bicara soal yayasan itu.”

Arumi menaruh dokumen di meja. “Ada kemungkinan ibumu dulu ikut dalam yayasan Alaric. Tapi kenapa nggak ada jejaknya?”

Damian mengangguk. “Ibu meninggal waktu aku masih 14 tahun. Kecelakaan mobil. Tapi... ada yang nggak masuk akal. Polisi bilang rem blong. Tapi... aku ingat—mobil itu baru keluar dari bengkel.”

Arumi menatap Damian serius. “Kamu yakin... kematian ibumu bukan kecelakaan?”

Damian menghela napas panjang. “Setelah semua ini, aku nggak yakin apa-apa lagi.”

Mereka menghabiskan waktu berjam-jam menggali dokumen lama. Sampai akhirnya, di dalam lemari tua, Damian menemukan satu kotak kecil berlapis kain merah.

Ia membuka perlahan.

Isinya: surat tulisan tangan. Dan foto lama—seorang wanita cantik, berdiri di depan plang bertuliskan ALARC FOUNDATION, Zurich.

Arumi membaca surat itu keras-keras:

> “Kalau suatu hari Damian menemukan ini, artinya aku gagal keluar dari permainan ini. Anakku, aku pernah percaya bahwa aku bisa menyelamatkan dunia dengan membantu orang-orang kuat. Tapi nyatanya... aku hanya jadi pion. Kalau kamu mau bebas dari lingkaran ini, kamu harus tahu: pemilik sebenarnya bukan ayahmu. Tapi orang yang berdiri di balik semua yayasan ini. Namanya... S.”

Damian tertegun. “S? Lagi-lagi S...”

Arumi melipat surat itu. “Itu bisa siapa saja. Tapi... aku rasa kita perlu ke Zurich.”

Damian menatapnya. “Kamu yakin?”

Arumi mengangguk. “Kalau kita berhenti sekarang, semua perjuangan Rose sia-sia. Semua luka kamu, luka aku... bakal tetap terbuka.”

Damian memegang tangan Arumi. “Kalau kita pergi... ini bukan cuma soal balas dendam lagi.”

Arumi tersenyum tipis. “Aku nggak pernah niat balas dendam, Damian. Aku cuma pengen semua ini punya akhir. Yang adil.”

---

Tiga hari kemudian, mereka tiba di Zurich.

Hawa dingin menyambut mereka di bandara. Damian mengenakan mantel hitam panjang, Arumi dengan jaket tebal dan syal abu-abu yang membungkus lehernya.

Mereka menyewa mobil dan menuju sebuah gedung lama di daerah pinggiran—alamat yang tertera di belakang foto ibunya.

Gedung itu kini kosong. Tapi plang "Alaric Foundation" masih menggantung lusuh di depan pintu.

“Kita terlambat lagi?” tanya Arumi lirih.

“Enggak. Kita cuma disambut dengan cara lama,” jawab Damian sambil mendorong pintu masuk.

Di dalam, gedung itu kosong. Tapi di meja resepsionis, ada satu amplop coklat yang ditandai dengan huruf “D”.

Damian membukanya. Isinya hanya satu peta kecil, dan satu pesan:

> “Jika kamu benar-benar anak ibumu, kamu tahu ke mana harus pergi.”

Damian menatap peta itu. “Ini... tempat perkemahan keluarga kita dulu. Di Italia.”

Arumi terdiam. “Kamu pikir ini jebakan?”

Damian mengangguk. “Pasti. Tapi kadang... jawaban cuma bisa didapat kalau kita berani masuk ke dalam jebakan.”

---

Perjalanan ke Italia berlangsung sunyi. Damian mengemudi sambil sesekali menoleh ke arah Arumi yang duduk terdiam, sibuk mengingat-ingat setiap potongan informasi yang pernah mereka temukan.

Mereka tiba di tempat yang dimaksud saat langit mulai gelap. Lokasi itu tak lebih dari rumah kayu tua di tengah hutan pinus.

Arumi menggenggam tangan Damian. “Kita masih bisa mundur.”

“Tapi kita nggak akan pernah tenang.”

Dengan langkah pelan, mereka masuk ke dalam. Rumah itu kosong. Tapi di tengah ruangan ada satu proyektor yang menyala otomatis begitu mereka masuk.

Dan muncul wajah yang tak asing bagi Damian.

Lelaki tua, mengenakan jas abu-abu, dengan senyum yang menenangkan.

“Izinkan aku memperkenalkan diri,” kata suara dari rekaman itu. “Aku adalah pendiri Alaric Foundation. Dan aku juga... kakekmu, Damian.”

Arumi menoleh cepat. “Apa?!”

Video itu berlanjut.

“Ayah dari ibumu. Dulu, aku percaya bahwa dunia hanya bisa diubah jika kita menguasai sistem. Maka aku bentuk yayasan, jaringan, dan aliran dana yang bisa menyeimbangkan kekuatan. Tapi seperti semua kekuasaan... selalu ada yang membelot. Nadine. Saka. Dan banyak lainnya.”

Video berganti menjadi peta global. Jaringan yang tersebar di berbagai negara. Lalu rekaman foto-foto—Rose, Nadine, bahkan Adam. Semuanya terhubung.

“Sistem ini kini rusak. Tapi kamu, Damian... kamu punya pilihan. Lanjutkan. Atau hancurkan.”

Video berakhir. Lampu ruangan mati otomatis.

Arumi menggenggam tangan Damian. “Apa yang kamu pilih?”

Damian menunduk. “Aku belum tahu... Tapi aku tahu satu hal—aku nggak akan biarin orang lain pakai nama keluargaku buat nyebarin kebohongan lagi.”

---

Beberapa hari kemudian, mereka kembali ke Jakarta. Damian langsung menghubungi pengacara, menyerahkan semua dokumen, rekaman, dan data yang mereka temukan ke KPK dan Interpol.

Nama-nama mulai ditangkap satu per satu.

Skandal mulai terbuka.

Media meledak.

Tapi yang tak bisa diliput oleh kamera dan kata-kata adalah satu hal: beban yang Damian dan Arumi bawa dalam diam.

---

Satu malam, setelah semua selesai, mereka duduk berdua di balkon. Hujan turun pelan.

“Setelah semua ini... kamu mau kemana?” tanya Arumi.

Damian menatap langit. “Aku nggak tahu. Tapi aku tahu... aku nggak pengen jalan sendirian.”

Arumi menoleh. “Apa maksudmu?”

Damian tersenyum kecil. “Maukah kamu... tetap di sisiku, meski kita nggak tahu kemana arah selanjutnya?”

Arumi tersenyum. Air matanya jatuh perlahan.

“Aku di sini bukan karena tahu jawabannya, Damian. Tapi karena aku percaya... kebenaran layak diperjuangkan. Termasuk kebenaran tentang kamu dan aku.”

Mereka saling menggenggam tangan. Tak perlu janji, tak perlu kata-kata besar.

Karena setelah semua kebohongan, luka, dan pengkhianatan...

Akhirnya mereka tahu: satu-satunya hal yang nyata adalah mereka—di sini, sekarang, dan apa pun yang akan datang.

--

1
Araceli Rodriguez
Ngangenin deh ceritanya.
Cell
Gak kepikiran sama sekali kalau cerita ini bakal sekeren ini!
filzah
Karakter-karakternya sangat hidup, aku merasa seperti melihat mereka secara langsung.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!