Pemuda 18 tahun yang hidup sebatang kara kedua orangtuanya dan adeknya meninggal dunia akibat kecelakaan, hanya dia yang berhasil selamat tapi pemuda itu harus merelakan lengan kanannya yang telah tiada
Di suatu kejadian tiba-tiba dia mempunyai tangan ajaib dari langit, para dewa menyebutnya golden Hands arm sehingga dia mempunyai dua tangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarunai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
"Begitulah ceritanya, Tuan... Entah bagaimana bisa saya berada di alam manusia ini," ucap bulan pelan, suaranya mengalun lembut dalam pikiran Han.
"Berarti.... Nama aslimu itu Dewi Ratu Wulan? apa aku harus memanggilmu seperti itu? dan apa maksudmu dengan 'bisa berada di alamku'? apakah sebelumnya hal itu mustahil bisa dilakukan?" tanya Han, masih bingung dengan semua yang ia dengar.
"biarlah nama saya tetap menjadi Bulan, Tuan," jawabnya dengan tenang. "itu nama yang Tuan berikan, dan saya menyukainya. mengenai kedatangan saya ke alam ini... semua sudah diatur oleh keseimbangan semesta. kita berasal dari kehidupan yang berbeda, tentu saja kita tidak bisa bersatu yang sudah di tentukan oleh alam. itulah kenapa bangsa dewa dan bangsa iblis tidak bisa hidup berdampingan–karena jika dipaksa, hanya akan membawa kehancuran."
Han mengangguk kecil, berusaha memahami. Tapi satu hal masih mengganjal pikirannya.
"kalau begitu, kenapa bangsa iblis bisa menyerang kalian? dan kenapa aku... bisa sampai ke alam atas dan bertemu dengan Dewa kehidupan waktu itu?"
Bulan terdiam sesaat, seolah menyusun kata-kata sebelum menjawab.
"Awalnya, bangsa dewa dan bangsa iblis memang dipisahkan oleh penghalang besar. Sebuah formasi kuno yang sangat kuat... seolah seperti dinding tak terlihat yang menjaga kedamaian antar alam. Tapi entah kenapa, suatu hari, penghalang itu memiliki retakan. Para dewa berusaha memperbaikinya... namun energi mereka justru tersedot masuk ke dalam formasi. Setelah itu, tak ada lagi yang berani menyentuhnya.”
Ia melanjutkan dengan nada lebih berat, "Semakin lama, retakan itu melebar. Hingga akhirnya... penghalang hancur total. Saat itulah bangsa iblis menyerbu dan peperangan besar terjadi. Karena itulah semesta memisahkan alam kami sejak awal—untuk mencegah pertarungan yang akan menghancurkan segalanya."
"untuk kasus yang Tuan hadapi saat bertemu dengan Dewa kehidupan, saya pun tidak begitu mengerti? yang pasti kalian bertemu saat sama-sama dalam seberkas jiwa." jawab Bulan yang membuat Han kurang puas dengan jawabnya.
walapun kini ia mulai memahami alasan dibalik batasan alam yang diceritakan Bulan. Alam semesta memang sudah mengatur agar tak ada kekuatan besar yang bertemu tanpa keseimbangan.
Selesai mandi, Han keluar dari kamar mandi dengan pikiran yang mulai tenang. Ia memutuskan untuk pergi ke Bank hari ini, tapi perutnya mulai berontak duluan.
"Cari makan dulu deh... di kos juga belum ada bahan dan peralatannya," gumam Han sambil memegang perutnya yang mulai keroncongan.
"Sepertinya aku makan di warung saja. Kalau di restoran pasti mahal," katanya sambil mulai mencari warung makan.
Karena Kota Tamian merupakan kota maju, banyak restoran dan toko modern berdiri di sepanjang jalan. Jarang sekali ditemukan pedagang menggunakan gerobak atau warung sederhana.
Setelah lama mencari namun tidak menemukan warung, Han memutuskan untuk ke bank terlebih dahulu untuk mencairkan uang dan membuat rekening.
Sesampainya di bank, Han masuk dan diarahkan oleh satpam. Untungnya, satpam bank cukup ramah sehingga Han tidak dipersulit.
Setelah selesai mencairkan uang dan membuka rekening, Han kembali menuju terminal untuk mencari makan. Ia masih belum terbiasa makan di restoran mewah, apalagi dengan pakaian lusuh yang dikenakannya saat ini, besar kemungkinan ia tidak akan diperbolehkan masuk.
Setibanya di warung dekat terminal, Han memesan makanan.
"Bu, pesan makanannya satu, minumnya teh hangat ya," kata Han pada ibu penjual.
"siap, Den. Silakan duduk dulu, nanti saya antarkan makanannya," jawab si ibu penjual.
Setelah Han duduk, makanan pun segera diantar. Anak muda itu mulai makan dengan lahap. Namun, ketika makanannya hampir habis, lima orang preman datang dan memalak penjual warung tersebut.
"Heh! Bayar, bayar! Mana sini uangnya?" bentak salah satu dari ke lima preman bertampang garang sambil menjentikkan jarinya ke arah ibu penjual.
Wanita paruh baya itu menggenggam kain lap di tangannya, tubuhnya gemetar ketakutan. "Ma-maaf, tuan… penghasilan saya makin hari semakin sedikit, sekarang ini kadang nggak cukup buat makan juga…" ucapnya dengan suara bergetar, matanya menunduk penuh takut.
Tanpa pikir panjang, salah satu preman menendang kursi di sampingnya hingga hancur berkeping-keping. Suara kayu patah memecah suasana pagi yang semula tenang.
"Bukan urusanku!" teriaknya. "Yang penting, kau harus bayar! Kalau nggak, warung jelekmu ini bakal kita ratakan!"
Beberapa pengunjung warung langsung berdiri dan mundur menjauh, sebagian lagi hanya bisa menunduk, pura-pura tak melihat. Tak ada yang berani menentang. Sampai sebuah suara tenang namun dingin terdengar dari belakang mereka.
"Kalau punya tangan dan kaki, kenapa nggak dipakai buat kerja, bukan buat memalak?" ucap Han yang sudah berdiri tak jauh dari kelima preman itu.
Semua kepala menoleh. Para preman itu mengerutkan dahi, menilai penampilan Han yang hanya mengenakan kaus usang dan celana lusuh. Mereka lalu tertawa mengejek.
“Wah, bocah satu ini mau jadi pahlawan ya? Pergi sana sebelum kami patahkan kaki dan tanganmu!”
Han hanya tersenyum tipis, matanya menatap mereka seperti memandang sampah.
"Orang rendahan sepertimu bahkan terlalu beruntung jika bisa menyentuhku."
Ucapan itu seperti menyulut api. Salah satu preman, yang bertubuh paling besar, langsung melompat maju dan mengayunkan tinjunya ke wajah Han.
"Kurang ajar! Mati kau—!"
Sebuah kepalan tangan besar mengarah langsung kewajah Han dengan kecepatan tinggi. Namun,
Tap.
Tinju itu berhenti. Ditepis dengan satu tangan. Dingin dan tanpa usaha.
Semua mata langsung membelalak.
Han menggenggam tangan preman itu… lalu perlahan meremasnya.
Krak!!
"ARGHHHH!!!" Teriakan kesakitan menggema. Wajah preman itu memucat seketika.
Dan sebelum yang lain bisa bereaksi—
Boom!!
Satu tendangan dari Han mendarat di perutnya. Tubuh besar itu melayang, menghantam pembatas jalan dengan suara dentuman keras hingga tubuhnya tak bergerak lagi. Mati di tempat.
Sunyi. Semua orang membeku di tempat.
Tidak ada yang menyangka seorang anak muda berumur 18 tahun begitu berani melawan salah satu anggota kriminal yang paling di takuti di ibu kota ini, bahkan bisa mengalahkannya dengan mudah.
"Berkemampuan juga kau, bocah!" desis salah satu preman yang tersadar, napasnya terengah setelah melihat temannya terkapar. "Tapi sayangnya kau telah memilih lawan yang salah, sehebat apa pun dirimu jika sudah berani menyinggung anggota mafia Tengkorak Hitam! kau akan mati!"
Han menyipitkan mata, bibirnya menyeringai tipis.
"tengkorak Hitam?" gumamnya. "sepertinya hanya kumpulan sampah masyarakat..."
"Hmm?! Kenapa kau diam, anak muda? Apa kau takut sekarang setelah mendengar nama kami?" tantang si preman, menegakkan dagunya dengan penuh percaya diri, dada membusung seperti singa palsu.
Ck!
Han mengangkat kepalanya pelan, menatap mereka dengan pandangan menghina.
“Tengkorak Hitam ya… bukankah tengkorak itu warnanya putih? Apa kalian buta warna?” katanya dengan nada santai namun penuh ejekan.
Wajah si preman berubah merah padam, matanya membelalak karena tersinggung. "Jangan menyesal kau, anak muda!"
Teriakan itu menjadi isyarat. Tanpa aba-aba, dia menerjang Han dengan kecepatan tinggi, tinjunya melayang ke arah wajah pemuda itu. Namun Han tidak bergeming. Dengan langkah ringan, dia menghindar ke samping—nyaris seperti bayangan yang menghilang dalam sekejap.
Dan di saat si preman membuka pertahanannya.
Duarrr!