Selama lima tahun pernikahan, Niken dan Damar tampak seperti pasangan sempurna di mata semua orang. Di balik senyum yang mereka pamerkan, ada luka yang mereka sembunyikan—ketidakmampuan untuk memiliki anak. Niken tetap bertahan, meski setiap bisikan tajam dari keluarga mertua dan orang sekitar menusuk hatinya.
Hingga badai besar datang menghantam. Seorang wanita bernama Tania, dengan perut yang mulai membuncit, muncul di depan rumah mereka membawa kabar yang mengguncang, dia adalah selingkuhan Damar dan sedang mengandung darah dagingnya. Dunia Niken seketika runtuh. Suami yang selama ini ia percayai sepenuh hati ternyata menusuknya dari belakang.
Terseret rasa malu dan hancur, Niken tetap berdiri tegak. Demi menjaga nama baik Damar dan keluarganya, ia dengan pahit mengizinkan Damar menikahi Tania secara siri. Tapi ketegarannya hanya bertahan sebentar. Saat rasa sakit itu tak tertahankan lagi, Niken mengambil keputusan yang mengguncang. Ia memutuskan untuk bercerai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YoungLady, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
☀️☀️☀️
Tania memeluk tas belanjaannya erat, sementara wajahnya memerah menahan kesal. Damar berdiri di samping stand minuman mereka, matanya tajam menusuk ke arahnya.
“Aku sudah bilang, Tania, jangan hamburkan uang seenaknya! Itu uang dari omset kita jualan selama seminggu kau habiskan semua!” suara Damar meninggi, terdengar jelas hingga ke telinga beberapa orang yang sedang mengantri di depan stand.
Tania memutar bola matanya, napasnya mulai berat. Ia tahu Damar tipe pria yang perhitungan, tapi bukankah wajar kalau seorang istri membeli sedikit barang untuk dirinya sendiri? Apalagi mereka baru saja mendapat untung besar.
Beberapa pengunjung mulai berbisik, tatapan mereka sinis, seolah menilai Tania rakus dan boros. Ada seorang wanita paruh baya yang bahkan mencibir pelan, “Istri tidak tahu diri, suaminya kerja banting tulang.”
Ucapan itu menusuk telinga Tania. Ia merasa pipinya panas, bukan karena marah semata, tapi malu. Damar, yang selama ini ia anggap lembut, justru mempermalukannya di depan umum.
“Apa salahku, Mas? Aku cuma belanja sedikit,” desis Tania sambil menunduk, matanya mulai berkaca-kaca.
“Sedikit? Lihat ini!” Damar mengangkat nota belanja yang tadi ia ambil dari tas belanjaan Tania. “Sepatu baru, tas, make up, aksesori! Ini semua nyaris menghabiskan omset kita satu minggu ini, Tan! Nanti kita tidak punya modal kalau kamu begini terus!”
Tania menggigit bibirnya. Dalam hatinya, ia berteriak, 'Toh uang habis bisa dicari lagi, kan?' Tapi kata-kata itu terasa tak berguna sekarang. Ia hanya ingin menangis, tapi bukan di depan semua orang.
Tanpa banyak bicara, Tania memutar badan dan melangkah cepat, meninggalkan stand mereka. Damar memanggilnya sekali, dua kali, tapi Tania tak menoleh. Biarlah. Ia perlu menjauh, perlu menenangkan diri.
Ia terus berjalan, menembus keramaian mall yang terasa sesak. Hingga akhirnya ia tiba di taman kecil di samping mall, tempat biasa orang tua dan membawa anaknya bermain, juga jadi spot olahraga favoritnya anak muda.
Tania duduk di bangku, menaruh tas belanja di sampingnya. Ia menghela napas panjang, berusaha mengusir rasa sesak di dadanya. Matanya menatap ke langit yang mulai merona jingga.
Kenapa semua salah di matamu, Mas? pikirnya lirih. Bukankah aku juga berhak menikmati hasil kerja keras kita? Kenapa aku harus terus dianggap boros?
Hingga tiba-tiba pandangannya tertumbuk pada sosok yang begitu familiar.
'Niken,'
Ya, benar. Niken, mantan istri Damar. Wanita itu sedang bersepeda santai, mengenakan setelan olahraga bermerek yang melekat sempurna di tubuh langsingnya. Rambutnya di kuncir tinggi, wajahnya bersih tanpa cela, dan bahkan dari jauh aura percaya dirinya memancar begitu jelas.
Tania memiringkan kepala, merasa dadanya sesak melihat pemandangan itu. 'Kenapa setelah bercerai dari Damar, Niken justru semakin cantik? Semakin bersinar?' Seakan perceraian itu membuat Niken lahir kembali sebagai perempuan yang jauh lebih menarik.
Pandangan Tania makin tajam saat seorang pria bersepeda mendekati Niken. Mereka berhenti di sisi taman, mengobrol santai. Tawa Niken terdengar renyah, dan pria itu—Tania baru menyadari siapa dia—adalah pengacara yang dulu membantu proses perceraian Niken dan Damar. Pria muda, tinggi, berwajah tampan, dan jelas, dari gaya bicaranya, dia sangat tertarik pada Niken.
Tania memperhatikan cara pria itu memandang Niken. Ada kekaguman yang begitu gamblang. Ada tatapan berbinar penuh perhatian yang bahkan tak pernah ia lihat dari mata Damar padanya.
Diam-diam, rasa iri mulai merayap di hati Tania. Ia menggenggam ponselnya perlahan, lalu mengangkatnya, mengarahkan kamera ke arah pasangan itu, dan 'ceklik'. Satu foto berhasil ia abadikan. Lalu dua, tiga, dan empat.
“Damar pasti akan kacau kalau melihat foto ini,” gumam Tania pelan, senyum tipis tersungging di bibirnya. “Apalagi pria itu jelas jauh lebih muda, lebih tampan, dan lebih kaya dari Damar.”
Bayangan reaksi Damar membuat hati Tania berdesir aneh. Mungkin selama ini Damar terlalu sibuk mengontrolnya, terlalu sibuk mengomelinya soal uang, sementara mantan istrinya bebas menikmati hidup, bahkan mungkin akan segera jatuh ke pelukan pria baru.
Tania menatap layar ponselnya, memperbesar salah satu foto. Terlihat jelas tawa lepas Niken, tangan pria itu yang nyaris menyentuh lengannya, serta tatapan intens mereka berdua.
'Apa aku akan mengirim foto ini ke Mas Damar?' pikirnya.
Ia menimbang-nimbang, bibirnya menggigit pelan. Sisi hatinya yang terluka ingin membalas Damar, membuatnya cemburu, membuatnya tahu bahwa dia tak sehebat yang dia pikir.
"Tania, sedang apa kau di sini?" tanya Niken yang tiba -tiba sudah berhenti di depannya.
"Ah, aku sedang mencari angin segar saja. Ibu sedang apa di sini?" tanya Niken balik sambil melirik ke arah pria yang berada di sebelah Niken.
"Aku sedang bersepeda dengan temanku. Ini sudah hampir sore, sebaiknya kau pulang saja ke rumah. Lagi pula wanita hamil pamali berada di luar rumah menjelang magrib!" ucap Niken.
"Ah, iya. Ini juga aku mau pulang."
"Ngomong-ngomong, jangan lupa di lap dulu air matanya. Agar tak terlihat seperti orang yang baru saja patah hati," sindir Niken sambil menyunggingkan senyum miring.
'sial, dia meledekku!' umpat Tania dalam diam.
Niken dan teman prianya berlalu tanpa menoleh ke arah belakang lagi.
Bersambung....