Prince play boy tingkat dewa yang sudah terkenal dengan ketampan nya, cukup dengan lirikan nya mampu membuat para kaum hawa menjerit histeris meminta Prince untuk menikahi mereka.
Suatu hari Prince mendapatkan tantangan untuk memacari siswi terjelek disekolah nya selama seminggu, namun jika ia menolak hukuman yang harus ia terima yaitu memutuskan semua pacar nya yang sudah tidak terhitung jumlah nya.
Prince mau tak mau menerima tantangan teman nya yaitu memacari adik kelas nya yang di cap siswi terjelek disekolah.
Berniat untuk mempermainkan adik kelas nya, Prince justru terjebak oleh permainan nya sendiri.
bagaimana kelanjutan nya, langsung cek sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penulismalam4, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Diagnosis| lo mau apa?
Margaret perlahan membuka matanya. Cahaya putih dari lampu langit-langit terasa lembut menyentuh pandangannya. Aroma antiseptik khas rumah sakit kembali menyapa hidungnya. Pandangannya masih sedikit buram, tapi ia bisa melihat siluet seseorang duduk di tepi ranjang, menggenggam erat tangannya.
"Yang... akhirnya lo sadar, Yang..." suara itu parau, sedikit bergetar.
Margaret menoleh pelan. Wajah Prince yang biasanya penuh semangat kini terlihat begitu letih—mata sembab, rambut berantakan, dan ada gurat-gurat cemas yang tak pernah ia tunjukkan sebelumnya.
"Maaf... bikin lo khawatir," bisik Margaret dengan suara serak.
Prince langsung memeluk Margaret, pelan, seolah takut ia hancur jika dipeluk terlalu erat.
"Lo jangan kayak gini lagi, Yang... Gue beneran takut," ujarnya lirih, menyembunyikan isak di bahu Margaret.
“Gue baik-baik aja kok,” ucap Margaret, meski suaranya tak seyakinkan biasanya.
Prince melepaskan pelukannya dan menatap Margaret dalam-dalam. “Enggak, lo gak baik. Lo drop tiba-tiba di sekolah, lo pingsan di hadapan gue... terus dokter bilang...”
Margaret menggeleng cepat, menaruh jarinya di bibir Prince agar ia berhenti bicara.
“Gue tahu... Tapi untuk sekarang, cukup temenin gue. Gak usah ngomongin yang berat-berat dulu,” ucap Margaret lembut.
Prince menggenggam tangannya lebih erat. “Oke. Tapi janji, mulai sekarang kita jalanin semuanya bareng-bareng. Gue gak akan tinggalin lo, gak akan.”
Margaret tersenyum lemah. “Gue tahu... lo gak pernah benar-benar pergi.”
Suasana hening. Tapi bukan hening yang menyakitkan. Justru terasa seperti ruang untuk bernapas—untuk mengerti, menerima, dan mencintai dalam diam.
Dari luar jendela, langit mulai berubah warna, matahari sore menyelinap masuk lewat tirai yang sedikit terbuka, menyinari dua hati yang saling bertaut—di antara waktu yang terbatas, tapi penuh makna.
Langit di luar mulai menggelap. Lampu-lampu rumah sakit perlahan menyala, menciptakan bayangan lembut di dinding ruangan. Margaret masih bersandar di tempat tidur, dengan Prince duduk di sampingnya, jari-jarinya masih menggenggam tangan Margaret dengan erat, seolah takut jika dilepas, gadis itu akan menghilang lagi.
Ketukan pelan terdengar dari arah pintu.
Prince menoleh. Margaret pun ikut melihat ke arah yang sama.
Pintu terbuka perlahan. Sosok Karin muncul lebih dulu, wajahnya terlihat khawatir tapi juga lega saat melihat Margaret sudah sadar.
“Lo sadar juga akhirnya...” gumam Karin, hampir berbisik.
Di belakang Karin, Arkan melangkah masuk dengan tenang. Wajahnya seperti biasa: tanpa ekspresi mencolok, tapi sorot matanya lekat tertuju pada Margaret, mengamati diam-diam seperti sedang membaca sesuatu yang tak terucap.
“Karin...” panggil Margaret pelan.
Karin langsung menghampiri, memeluk Margaret dengan pelan dan hati-hati, menghindari infus yang masih menempel di tangan sahabatnya.
“Gila lo... sempat bikin gue mikir lo bakal pergi diam-diam lagi,” ucap Karin pelan, tapi terdengar ketakutan di balik suaranya.
Margaret tertawa kecil, walau napasnya belum benar-benar stabil. “Gue gak ke mana-mana, Rin.”
Prince bangkit, memberi tempat pada Karin dan diam berdiri di sisi ranjang, mengamati interaksi mereka dengan wajah tenang, meski matanya masih menyisakan kelelahan emosional.
Arkan, yang masih berdiri tak jauh dari pintu, akhirnya angkat bicara.
“Gue cuma mau lihat... kabarnya,” ucapnya singkat, dengan nada rendah.
Margaret mengangguk, menatapnya beberapa detik. Ada sesuatu yang aneh dalam cara Arkan memandangnya—seolah dia tahu sesuatu yang orang lain tidak tahu. Pandangan itu membuat Margaret sedikit gelisah, meski ia tidak bisa menjelaskannya.
“Gue baik-baik aja. Terima kasih udah datang,” jawab Margaret sopan, mencoba tersenyum.
Arkan hanya menunduk sedikit, lalu melangkah pelan ke sisi ruangan, berdiri tenang tanpa berkata lagi. Tapi dari sorot matanya, jelas ia memperhatikan setiap detail, seolah sedang menata kepingan puzzle dalam pikirannya sendiri.
Karin menatap Arkan dengan pandangan heran, tapi tak berkata apa-apa.
Prince mendekat ke sisi Margaret, meraih tangan gadis itu kembali. “Lo harus banyak istirahat. Jangan pikirin hal lain dulu.”
Margaret mengangguk, tapi sebelum ia memejamkan mata lagi, pandangannya tak sengaja bertemu dengan tatapan Arkan—tatapan sunyi namun dalam, seperti menyimpan sesuatu yang belum waktunya dibuka.
Margaret hampir tertidur saat Dokter Revan masuk, Margaret mmbuka mata nya dan dia tau ini bukan kabar baik.
"Margaret?" suara lembut itu milik dokter Revan. Ia masuk dengan membawa map dan senyum yang terasa lebih kaku dari biasanya.
Margaret tersenyum tipis, “Udah siap ya hasilnya, Dok?”
Revan hanya menatapnya sejenak, lalu berjalan mendekat dan duduk di kursi di samping tempat tidur. Tak langsung menjawab, hanya membuka map perlahan, lalu menutupnya kembali.
"Margaret," ucapnya pelan. "Kami sudah mendapat hasil diagnosis lengkap."
Margaret mengangguk. “Gimana, kanker gue udah bosen belum di tubuh ini?”
Revan tak tertawa. Dia hanya menatap mata Margaret, dalam dan penuh empati.
"Ada perkembangan… tapi bukan ke arah yang kita harapkan.”
Suara itu cukup untuk membuat ruang itu membeku.
Margaret menunduk, menatap kedua tangannya yang saling menggenggam. “Berapa lama?”
Revan menghela napas. “Jika tak ada perubahan besar… mungkin sekitar tiga bulan. Itu waktu terbaik.”
Sunyi.
Terlalu sunyi.
Margaret tidak menangis. Dia hanya diam, mencoba menelan kenyataan seperti menelan pil pahit tanpa air. Bibirnya bergerak, tapi tak ada suara. Lalu, setelah beberapa detik, ia bersuara lirih.
“Tiga bulan, ya?”
Revan menatapnya, lalu mengangguk pelan.
Margaret menarik napas panjang, lalu menyandarkan tubuhnya ke bantal. Tatapannya lurus ke jendela, ke arah langit yang kelabu.
Langit di luar jendela sudah sepenuhnya kelabu. Cahaya matahari tenggelam perlahan, digantikan oleh lampu jalan yang mulai menyala samar di kejauhan. Dalam diamnya, Margaret terus menatap langit, seolah mencari jawaban atau penghiburan dari sesuatu yang tak bisa disentuh.
Prince masih berdiri di sisi ranjangnya, tubuhnya kaku. Ia menatap Margaret seperti menatap mimpi buruk yang terlalu nyata. Karin duduk di tepi tempat tidur, memegang ujung selimut Margaret dengan tangan yang gemetar.
Arkan, di sisi ruangan yang remang, tak bergerak sedikit pun. Tapi matanya tak lepas dari Margaret—tatapan yang kali ini lebih gelap, lebih dalam, dan terasa... penuh konflik.
Margaret akhirnya bicara, pelan sekali, seperti angin malam yang lewat begitu saja.
“Tiga bulan... bukan waktu yang lama.”
Prince langsung menggenggam tangannya lebih erat. “Jangan bilang gitu. Kita bisa cari cara. Kita bisa lawan ini bareng.”
Margaret menoleh menatap wajahnya. “Kita udah lawan ini bareng, Kak. Tapi kalau ini akhir dari cerita gue... gue cuma pengin kita jalani sisa halamannya dengan tenang. Gak usah perang. Gak usah lari.”
Karin menahan napas. Air matanya akhirnya jatuh juga, tapi ia cepat-cepat menyekanya. “Lo belum selesai, Mar. Tiga bulan bisa jadi tiga tahun. Siapa tahu lo lebih kuat dari yang lo pikir.”
Margaret tersenyum tipis. “Mungkin. Tapi kalaupun enggak... lo semua harus janji, jangan sedih terlalu lama. Gue gak suka drama.”
Sunyi lagi.
Lalu, tiba-tiba Arkan melangkah mendekat. Suaranya terdengar pertama kali sejak kabar itu disampaikan.
“Margaret...”
Semua orang menoleh ke arahnya. Nada suara Arkan masih tenang, tapi ada sesuatu yang berubah dalam sorot matanya. Seperti... ia melihat Margaret dari tempat yang berbeda—bukan sebagai gadis sakit yang menanti waktu, tapi sebagai sesuatu yang jauh lebih penting dari itu.
“Kalau waktu lo terbatas... lo mau ngapain?” tanya Arkan, nada suaranya datar namun menusuk.
Margaret menatapnya, agak kaget dengan pertanyaannya. Tapi kemudian ia tersenyum, lebih tulus.
“Aku mau... jatuh cinta setiap hari. Sama orang yang sama. Mau tertawa, nangis, jalan-jalan, duduk diam... tapi semuanya bareng orang-orang yang aku sayang. aku mau ke pantai terus mau camping”
Arkan hanya mengangguk pelan. Matanya berkabut sesaat, namun dia segera mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Tak ada kata tambahan dari bibirnya, tapi sesuatu dalam dirinya seolah baru saja terpatri lebih dalam.
Prince kembali duduk di kursi samping ranjang. Ia menyandarkan kepalanya di tangan Margaret, menggenggam erat jari-jarinya seolah takut waktu benar-benar mencuri mereka satu per satu.
Margaret menutup matanya perlahan. Tapi kali ini bukan karena sakit. Bukan karena lelah. Melainkan karena ia merasa... cukup.
Cukup dicintai.
Cukup dimengerti.
Cukup diterima.
Dan di pojok ruangan, Arkan berdiri membisu—pandangan kosong, namun matanya menyimpan satu kalimat yang hanya dirinya sendiri yang tahu.
"Tiga bulan cukup. Untuk membuka pintu yang sudah terlalu lama tertutup."