Di balik gaun pengantin dan senyuman formal, tersembunyi dua jiwa yang sejak lama kehilangan arti cinta.
Andre Suthajningrat—anak dari istri kedua seorang bangsawan modern, selalu dipinggirkan, dibentuk oleh hinaan dan pembuktian yang sunyi. Di balik kesuksesannya sebagai pengusaha real estate, tersimpan luka dalam yang tak pernah sembuh.
Lily Halimansyah—cucu mantan presiden diktator yang namanya masih membayangi sejarah negeri. Dingin, cerdas, dan terlalu terbiasa hidup tanpa kasih sayang. Ia adalah perempuan yang terus dijadikan alat politik, bahkan oleh ayahnya sendiri.
Saat adik tiri Andre menolak perjodohan, Lily dijatuhkan ke pelukan Andre—pernikahan tanpa cinta, tanpa pilihan.
Namun di balik kehampaan itu, keduanya menemukan cermin dari luka masing-masing. Intrik keluarga, kehancuran bisnis, dan bayang-bayang masa lalu menjerat mereka dari segala sisi. Tapi cinta… tumbuh di ruang-ruang yang retak.
Bisakah dua orang yang tak pernah dicintai, akhirnya belajar mencintai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Restoran Lanterra pagi itu tak sepadat biasanya. Meja-meja masih kosong, hanya dua tamu duduk di sudut dekat jendela dengan latte mereka, tenggelam dalam layar laptop. Di dapur terbuka, koki-koki bekerja tanpa suara berarti, hanya suara sendok, spatula, dan aroma bawang panggang yang samar mengisi ruangan.
Lily duduk sendiri di meja pojok, dekat rak anggur, tempat favoritnya memantau jalannya operasional. Tapi pagi ini, ia tak mengawasi siapa-siapa. Ia hanya menatap kosong ke arah gelas air mineral yang belum disentuh. Bajunya sederhana: blouse satin warna ivory dan celana bahan cokelat muda, rambutnya diikat separuh ke belakang. Riasan tipis nyaris luntur karena ia beberapa kali mengusap mata dengan jemarinya.
Tubuhnya terasa perih. Tidak cukup untuk membuatnya terkapar, tapi cukup untuk membuat setiap gerakan mengingatkannya pada malam sebelumnya.
Malam itu.
Wine.
Tawa.
Percakapan hangat.
Ciuman.
Kasur.
Lily mengerjap pelan.
Apa itu nyata?
Ia memejamkan mata.
Kilasan wajah Andre saat mendekat… napas mereka yang saling bertabrakan… tangannya di pinggang Lily… suara kecil dari tenggorokan Andre saat ia menarik tubuh Lily lebih dekat…
Atau hanya bayangan?
Ia merasa mual—bukan karena jijik, tapi karena bingung.
Lily tidak pernah berencana untuk bercinta dengan Andre. Bahkan untuk menyukai Andre saja, ia belum punya cukup waktu. Tapi sesuatu dalam diri pria itu—entah tawa sinisnya, caranya menahan amarah, atau cara ia memeluk Lily saat luka bakarnya kambuh—membuat tembok Lily bergeser sedikit demi sedikit.
Dan semalam… mungkin tembok itu runtuh.
Ia menyandarkan tubuh ke sandaran kursi, menutup wajah dengan telapak tangan. Lalu, dengan secepat kilat, ia menampar pipinya sendiri pelan.
“Sadarlah, Lily.”
Namun rasa panas di pipi tidak membantu.
Ia membuka mata dan secara refleks menatap tangan kanannya—bagian pergelangan yang pernah melepuh karena api kecil dari ledakan pemanggang.
Bekas lukanya masih samar. Tapi lebih dari itu, ia teringat siapa yang merawat luka itu.
Andre.
Ia yang menyuruh Lily duduk. Ia yang mencari salep di kotak P3K. Ia yang membungkus luka Lily dengan kasa, lalu meniupnya pelan seperti anak kecil yang merengek.
Waktu itu, Lily berpikir Andre hanya sedang bersikap sopan. Tapi cara matanya menatap, cara ia berkata, “Kalau kamu mati, aku bagaimana?”—itu bukan basa-basi.
Dan sekarang, Lily tak tahu lagi harus mengartikan apa semua ini.
...****************...
“Dia nggak cinta sama kamu,” bisik sisi gelap dalam dirinya.
“Dia hanya terjebak dalam pernikahan politik. Dia sopan. Bukan berarti peduli.”
“Dia pasti nyesal tidur sama kamu. Mungkin pagi tadi dia berharap itu semua tidak pernah terjadi.”
Lily memejamkan mata lagi, lebih erat. Ia menahan napas, berusaha menenangkan guncangan kecil yang merambat dari ulu hatinya.
Ia takut.
Bukan hanya takut Andre tidak mencintainya,
Tapi juga takut kalau sebenarnya ia mulai mencintai Andre.
Sejak kecil, Lily belajar untuk membangun dinding. Ayahnya yang kawin cerai, kakeknya yang meninggalkan jejak kekuasaan penuh darah, dan media yang selalu mencari celah untuk menyerangnya, membuat Lily tak pernah percaya pada cinta. Bahkan mantan-mantannya semua adalah hubungan berbasis kesepakatan—tidak ada ruang untuk luka.
Tapi Andre…
Tidak masuk dalam skema itu.
Ia adalah musuh, pasangan terpaksa, dan sekarang… entah siapa.
...****************...
Hening yang Terlalu Lama
“Bu Lily?” suara Pak Yusuf, manajer operasional restoran, membuyarkan lamunannya.
Lily mendongak cepat. “Ya?”
“Maaf, Bu. Ada laporan stok daging yang sedikit telat dari supplier. Tapi kami sudah follow-up. Tidak akan memengaruhi dinner nanti malam.”
Lily mengangguk pelan. “Oke. Terima kasih.”
Pak Yusuf ragu sejenak sebelum berkata, “Kalau Ibu butuh waktu untuk sendiri… kami bisa handle hari ini.”
Lily menatap matanya. “Kamu tahu sesuatu?”
Pak Yusuf menunduk sopan. “Kami semua hanya ingin Ibu tenang. Kami tidak pernah… ikut campur.”
Lily tersenyum kecil. “Terima kasih.”
Ia menunggu sampai Yusuf pergi sebelum bangkit dari kursi. Langkahnya pelan menuju toilet restoran. Di sana, ia menatap bayangannya di cermin. Ada gurat lembut di bawah mata. Ada bekas merah samar di leher—bekas yang tidak ingin ia lihat, tapi juga tak bisa ia sembunyikan dari diri sendiri.
Ia memutar keran dan membasuh wajah dengan air dingin. Dinginnya menyengat, tapi tidak menghapus kekacauan dalam pikirannya.
...****************...
Siang menjelang sore, restoran mulai dipenuhi tamu. Lily memutuskan naik ke lantai dua, ke ruang kecil di pojok gedung tempat ia biasa menulis atau membaca. Ia mengambil laptop, tapi tak satu pun email berhasil dibalas. Kepalanya terlalu penuh.
Ia sempat membuka galeri foto di ponsel. Beberapa potret gala dinner dua hari lalu muncul.
Di salah satu foto—hasil jepretan tamu VIP—Andre mencium pipinya. Lily terlihat tersenyum, meski samar.
Ia mengamati foto itu lama.
Mengapa degup jantungnya berlari hanya karena satu ciuman?
“Dasar bodoh,” gumam Lily lirih.
Ia menutup ponsel, menyandarkan kepala ke sofa.
Kata-kata Andre kembali muncul di benaknya.
“Kalau kamu mati, aku bagaimana?”
Dan Lily sadar—itu bukan candaan.
Tapi apakah kalimat itu lahir dari cinta? Atau hanya reaksi impulsif?
Lily menarik napas dalam-dalam, menatap langit-langit.
Ia sadar: yang paling ia takuti bukan luka.
Tapi ditinggalkan.
Karena yang paling ia harapkan diam-diam… adalah dipertahankan.
...****************...
Menjelang malam, Lily akhirnya pulang lebih awal dari biasanya. Ia masuk lewat pintu samping, tidak ingin banyak bicara. Tubuhnya masih terasa berat, dan pikirannya tidak lebih ringan.
Ia membuka pintu kamar, dan melihat seprei sudah diganti.
Namun ia sempat melihat noda merah samar di keranjang cucian—bekas dari malam itu.
Satu-satunya bukti bahwa apa yang ia takutkan bukan mimpi. Tapi realitas yang sedang menunggu di ujung pertanyaan:
Apakah Andre akan bertanya?
Atau berpura-pura lupa?
Dan…
Apakah Lily sanggup mendengarkan jawabannya?
...----------------...