Tidak menginginkan menjadi duri dalam hubungan dua orang yang saling mencintai. Tetapi takdir sudah menjadi seperti itu. Kesalahan besar yang membuat Aletta harus berada diantara hubungan Thalia Kakak kandungnya dengan Devan orang yang seharusnya menjadi Kakak iparnya.
Aletta kehidupannya sudah dihancurkan, berusaha menerima takdirnya dan mengalah demi kebahagiaan sang Kakak. Tetapi ternyata semua tidak mudah.
Lalu bagaimana Aletta harus berada di posisi yang benar-benar sangat sulit ini?
Apa dia mampu bertahan?
Siapa yang menjadi korban sebenarnya!
Lalu siapa yang paling tersakiti dalam hal ini?"
Jangan lupa untuk mengikuti novel terbaru saya sampai selesai. Jangan tabung bab dan terus dukung dengan beri komentar.
Follow Ig Saya ainuncefeniss
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nonecis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 9 Panik.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya Ratih yang sudah memasuki kamar mandi.
"Tidak Bunda. Aletta hanya pusing saja," jawabnya.
"Kalau begitu kamu jangan ke kampus dulu. Kita sebaiknya ke rumah sakit," ucap Bunda.
"Tidak Bunda. Aletta baik-baik saja," jawabnya yang tidak ingin pergi kemana-mana.
"Kamu yakin baik-baik saja?" tanya Ratih yang pasti sangat mengkhawatirkan putrinya.
"Iya Aletta baik-baik saja dan tidak perlu kemana-mana," jawabnya.
"Kalau begitu kamu sebaiknya istirahat!" tegas Bunda yang pasti tidak akan membiarkan Aletta kuliah hari ini karena melihat kondisinya yang tampak lemas dan bahkan wajah itu juga pucat.
****
Thalia hari ini ke kantor dijemput Devan
"Sayang kamu sudah sarapan belum?" tanya Thalia.
"Aku tadi sudah sarapan," jawab Devan.
"Aku pikir belum," jawab Thalia.
"Kenapa? Apa kamu belum sarapan?" tanya Devan.
"Bagaimana mau sarapan jika tadi selera makanku langsung hilang ketika Aletta muntah-muntah," jawab Thalia.
Chittttt.
Tiba-tiba saja Devan merem mendadak yang hampir saja membuat jidat Thalia menjadi korban.
"Sayang mau apa-apaan sih?" tanyanya.
"Tadi hampir saja menabrak kucing," jawabnya dengan gugup.
"Kamu hampir saja membuat jantungku copot. Kita hampir saja celaka," ucap Aletta.
"Aku minta maaf," ucap Devan.
"Hmmm, kamu tadi mengatakan apa? Aletta muntah-muntah?" tanyanya memastikan.
"Iya. Dia belakangan ini memang sering aneh, lemas dan sering pucat, entahlah kuliah seberat apa yang dialami sampai fisiknya lemah seperti itu. Bunda juga tadi menyarankan untuk rumah sakit dan kamu tahu sendiri Aletta sangat keras kepala yang tetap tidak ingin ke rumah sakit dan untung saja dia tidak jadi kuliah," jawab Thalia dengan nada kesal yang mungkin sarapannya terganggu karena Aletta.
Sementara kan tidak respon apapun yang justru terlihat memikirkan sesuatu.
"Sayang kamu baik-baik saja?" tanya Thalia yang membuat Devan menganggukkan kepala.
"Ya. Sudah ayo kita lanjut jalan!" ajak Thalia dan Devan menganggukkan kepala.
***
Aletta yang berbicara dengan kedua orang tuanya tampak serius di ruang tamu.
"Kenapa tiba-tiba Aletta.
"Kenapa kamu ingin pindah kuliah ke Jepang?" tanya Bunda.
"Aletta tidak nyaman di kampus Aletta, orang-orang yang berada di sana semena-mena dan Aletta juga tidak cocok dengan peraturan dan juga sistem yang ada di sana," jawabnya.
"Tapi bukankah itu adalah kampus favorit kamu. Kamu juga berusaha belajar, bekerja keras agar bisa kuliah di sana dan kenapa menyerah baru saat mulai perjalanan?" tanyanya.
"Aletta tidak sanggup Bunda. Aletta tetap ingin pindah," jawabnya yang sepertinya memiliki alasan atau tidak tinggal di Jakarta.
"Aletta kamu masih sangat muda dan Bunda tidak bisa melepaskan kamu begitu saja. Bunda juga tidak tahu bagaimana pergaulan di luar sana, bagaimana budaya di negara orang dan Bunda takut kamu terjadi sesuatu," ucap Ratih dengan berat hati melepaskan putrinya.
"Tapi tidak ada yang harus dijaga lagi dan hidupku sekarang benar-benar sudah hancur. Aku jika tidak mungkin mengatakan apa yang terjadi. Hanya dengan cara aku berada di Luar Negeri dan maka semua akan selesai!" batin Aletta.
"Bunda di Jepang juga ada paman dan Bibi. Mereka bisa menjaga Aletta dengan baik. Bunda dan Ayah tidak perlu mengkhawatirkan apapun. Aletta hanya ingin mandiri," ucapnya.
"Kamu sudah yakin dengan pilihan kamu?" tanya Ayah.
"Iya Ayah," jawabnya tampak ragu.
"Assalamualaikum, aku pulang!" Thalia yang menghampiri kedua orang tuanya yang seperti biasa mencium punggung tangan itu.
"Kenapa wajah kamu seperti itu?" tanya Thalia melihat wajah sang adik dan dia juga melihat ekspresi kedua orang tuanya.
"Ada apa ini? Aku lihat ada bau-bau tidak enak di sini Ayah dan Bunda juga terlihat tidak semangat?" tanya Thalia semakin penasaran.
"Adik kamu memutuskan untuk pindah kampus dan tinggal di Luar Negeri," jawab Ratih.
"What? Are serious?" pekik Alia yang benar-benar terkejut dan Aletta menganggukkan kepala.
"Why?"
"Aletta tidak nyaman berada di kampus yang sekarang,"jawabnya singkat.
"Aletta kalau tidak nyaman di kampus yang sekarang bisa pindah kampus dan tidak harus ke Luar Negeri. Kamu juga anaknya sangat manja dan apa yakin bisa berpisah dari Ayah dan Bunda?" tanya Thalia tampak ragu melihat adiknya itu.
"Aku sudah memikirkan semua ini dan aku juga sedang mengurus prosedur kepindahanku dari kampus yang lama," jawabnya.
"Kamu mau pindah kampus kayak mau pindah ke sebelahnya aja. Memang semudah itu dan bukankah kamu harus mengurus ini itu, tempat tinggal di Jepang kampus di Jepang, banyak yang harus diurus Aletta dan kamu seharusnya memikirkan semua itu sebelum kamu masuk kampus," ucap Thalia.
"Seperti apa yang sudah aku katakan, Kak. Jika aku sudah memiliki kampus yang aku tujuh dan semuanya akan aku selesaikan dengan baik," jawabnya dengan tegas.
"Ya, sudah terserah kamu. Kakak hanya tidak yakin saja kamu bisa berpisah dari Ayah dan Bunda," ucapnya.
"Jika memang ini sudah menjadi keputusan kamu Aletta. Ayah dan Bunda tidak bisa berbuat apa-apa. Kamu menjalani semuanya dan ayah hanya berharap kamu baik-baik saja dan belajar dengan tenang, jangan pernah menutupi apapun dan kabari keluarga jika membutuhkan sesuatu," ucap Danu yang membuat Aletta menganggukkan kepala.
"Ya, teman berantem bakalan pergi deh," sahut Thalia yang walau sejak tadi dia kesal dengan adiknya tetapi dia sangat sedih jika harus berpisah dengan sang adik.
"Karena jika aku tetap berada di sini maka lama-kelamaan semua orang akan tahu apa yang terjadi padaku aku dan aku juga melakukan semua ini karena tidak ingin menyakiti hati Kakak," batin Aletta.
***
Karena akan pergi yang membuat Aletta mengemasi barang-barangnya yang memasukkan pakaiannya ke dalam koper. Dia sudah memikirkan kepindahannya jauh-jauh hari dan memang ini yang terbaik menurut Aletta.
Dratt-drattt-drattt.
Panggilan telepon yang tiba-tiba saja terdengar membuat Aletta melihat panggilan tersebut yang ternyata dari Devan.
"Untuk apa dia menghubungiku?" tanyanya dan tidak mengangkat telepon tersebut.
Panggilan telepon itu benar-benar sangat mengganggu Aletta dan mau tidak mau Aletta langsung mengangkatnya.
"Ada apa?" tanyanya.
"Kamu ke Luar Negeri karena masalah ini?" tanya Devan yang pasti mendapatkan informasi dari Thalia.
"Aku sudah mengatakan jangan pernah membahas hal itu dan itu sama sekali tidak berkaitan," jawab Aletta.
"Aletta yang kamu lakukan adalah salah. Kamu tidak perlu pergi kemana-mana dan aku juga sebentar lagi akan ke Luar Negeri. Jika kamu khawatir aku muncul di hadapanmu dan maka itu tidak akan terjadi!" tegas Devan.
"Aku hanya ingin menenangkan diri dan terserah ku mau pergi atau tidak. Aku tetap pada keputusanku!" tegas Aletta
"Aletta tinggal di Luar Negeri tidaklah mudah dan apalagi kamu masih muda dan bagaimana jika terjadi sesuatu pada kamu?" tanyanya yang terdengar begitu khawatir.
"Bukankah semua sudah terjadi padaku dan apa yang bisa diubah hah! Aku hanya membutuhkan ketenangan dan aku sudah mengatakan berkali-kali jangan pernah menghubungiku lewat telepon atau muncul di hadapanku. Aku tetap ingin pergi dan tidak ada urusan denganmu. Apa yang terjadi di antara kita bukankah memang harus dilupakan!" tegas Aletta.
"Aletta tapi...."
Devan tidak melanjutkan kalimat tersebut Aletta sudah mematikan panggilan telepon. itu.
"Semua yang terjadi justru karena kau!" ucapnya dengan kesal.
"Untuk apa menghubungi ku. Jika kau saja sudah menghancurkan segalanya dan tidak ada yang tersisa lagi. Kenapa semua bisa jadi seperti ini?"
Aletta memegang kepalanya yang terasa pusing. Pada akhirnya dialah yang harus mengalah atas semua yang terjadi.
Bersambung..