“Bagaimana jika cinta bukan dimulai dari perasaan, melainkan dari janji terakhir seorang yang sekarat?”
Risa tidak pernah membayangkan dirinya akan menikah dengan kekasih sahabatnya sendiri—terlebih, di kamar rumah sakit, dalam suasana perpisahan yang sunyi dan menyakitkan. Tapi demi Kirana, satu-satunya sosok yang ia anggap kakak sekaligus rumah, Risa menerima takdir yang tak pernah ia rencanakan.
Aditya, pilot yang selalu teguh dan rasional, juga tak bisa menolak permintaan terakhir perempuan yang pernah ia cintai. Maka pernikahan itu terjadi, dibungkus air mata dan janji yang menggantung di antara duka dan masa depan yang tak pasti.
Kini, setelah Kirana pergi, Risa dan Aditya tinggal dalam satu atap. Namun, bukan cinta yang menghangatkan mereka—melainkan luka dan keraguan. Risa berusaha membuka hati, sementara Aditya justru membeku di balik bayang-bayang masa lalunya.
Mampukah dua hati yang dipaksa bersatu karena janji, menemukan makna cinta yang sebenarnya? Atau justr
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
BANDARA INTERNASIONAL Soekarno-Hatta – SIANG HARI
Sinar matahari siang yang hangat menyusup masuk melalui jendela kaca ruang kedatangan internasional, membasahi wajah-wajah yang menunggu dengan penuh harap.
Kerumunan kecil sudah berkumpul, wajah-wajah keluarga besar Aditya tampak bercampur dengan teman-teman lama dari kepolisian udara dan beberapa tetangga serta sahabat Risa yang setia menunggu.
Hening sejenak ketika kursi roda yang dituntun perlahan keluar dari pintu kedatangan.
Aditya, meski tubuhnya terbatas, memancarkan aura keteguhan.
Di sampingnya, Risa berjalan pelan namun mantap, wajahnya cerah dan penuh kasih.
Sejurus kemudian, suara pelan kamera ponsel mulai berdenting, merekam momen yang penuh makna ini. Pelukan hangat dan senyuman tulus berhamburan dari orang-orang di sekitar.
“Kapten! Kami bangga sama kamu. Kami semua percaya dari awal!” suara itu pecah dari seorang sahabat lama, disusul tepuk tangan yang menggema di antara kerumunan.
Beberapa orang mengangkat spanduk kecil bertuliskan, “Welcome Back Hero!” dan “Kami Percaya Padamu, Kapten Aditya!” yang membuat suasana semakin haru.
Risa menatap Aditya dengan mata berkaca-kaca. Tiba-tiba, seorang anak kecil berlari dan memeluk kaki Aditya dengan erat.
“Aku baca novel Tante Risa... aku tahu Om Aditya pasti baik!”
Aditya menatap Risa, lalu mengangkat tangan perlahan memberi hormat kepada semua yang hadir. Matanya berkaca-kaca, tapi bibirnya tersenyum lemah.
“Terima kasih… karena kalian percaya padaku… dan istriku.”
Stefanus, sahabat dekatnya, melangkah maju, menepuk bahu Aditya penuh semangat dan merangkul Risa dengan hangat.
“Kalian layak mendapatkan kebahagiaan ini.”
Risa menunduk, bibirnya bergetar menahan air mata.
“Kita pulang, Mas. Ke rumah… ke hidup yang baru.”
Mereka melangkah keluar dari bandara, diterpa tepukan tangan, doa tulus, dan cinta dari orang-orang yang tak pernah berhenti percaya.
---
RUMAH – SORE HARI
Suasana rumah yang sederhana itu kembali hangat seperti dulu.
Aroma ayam bakar yang khas dan menggoda memenuhi udara, membangkitkan rasa rindu akan masa-masa damai yang pernah mereka lalui.
Di dapur kecil, Risa sibuk membolak-balik ayam di atas panggangan kecil, matanya penuh perhatian dan hati dipenuhi harapan.
Di ruang tamu, Aditya duduk di kursi rodanya, memandangi istri yang begitu ia cintai dengan tatapan haru dan bangga.
“Ris… maaf ya. Aku merepotkan kamu terus.”
Risa menoleh, tersenyum lembut sambil mengusap rambut suaminya.
“Mas Aditya, kamu bukan merepotkan. Kamu adalah rumahku.”
Aditya menarik napas dalam-dalam, sedikit tergagap.
“Aku belum bisa membalas semua pengorbanan kamu. Bahkan aku belum bisa berdiri sendiri. Dan… kamu nggak takut lihat wajahku sekarang?”
Risa mendekat, berlutut di depan Aditya, memegang tangannya dengan penuh kasih sayang. Matanya menatap lembut dan penuh keyakinan.
“Mas… aku takut, tapi bukan takut melihat wajahmu. Aku takut kehilangan kamu. Bagiku, mas tetap sama, pria yang dulu aku cintai dan aku banggakan. Wajahmu tidak mengubah apa pun.”
Air mata mengalir perlahan di pipi Aditya. Ia mengangkat tangan, menyentuh rambut Risa dengan penuh kelembutan.
“Kamu wanita terkuat yang pernah aku temui… dan yang paling aku cintai.” ucap Aditya
Risa tersenyum, suaranya hangat mengisi ruang itu.
“Aku akan terus di samping kamu, sampai mas bisa berdiri lagi. Dan bahkan kalau tidak, aku akan tetap di sini.”
Mata mereka bertemu dalam keheningan penuh makna.
Senja perlahan menyelimuti rumah, membawa harapan baru yang terjalin di antara aroma ayam bakar dan angin semilir.
Hujan rintik-rintik mulai turun di luar jendela, menyanyikan lagu malam yang syahdu.
Di meja makan, piring bekas ayam bakar masih tersisa, saksi bisu kebersamaan dan rasa syukur mereka.
Aditya menatap Risa yang sedang membereskan meja, menghela napas berat tapi bahagia.
“Ayam bakar buatan istriku… akhirnya bisa kumakan lagi. Rasanya masih sama. Mungkin malah lebih enak.”
Risa tersenyum lembut sambil menunduk.
“Aku masak itu sambil berdoa, semoga kamu cepat pulang.”
Aditya menatap dalam-dalam ke mata Risa.
“Aku akhirnya pulang, Ris. Dan kamu masih di sini…”
KAMAR TIDUR – BEBERAPA SAAT KEMUDIAN
Risa dengan telaten membantu Aditya berbaring, menata bantal dan menyelimuti tubuhnya dengan penuh kasih.
Ia mulai duduk di kursi kayu dekat tempat tidur, seperti kebiasaan selama masa pemulihan.
Namun, tangan Aditya tiba-tiba menggenggam pergelangan tangan Risa, menahannya lembut.
“Ris… tidur di sini. Di sampingku. Seperti dulu.”
Risa terdiam sesaat, hatinya berdebar, lalu mengangguk pelan.
Ia naik ke tempat tidur dan berbaring perlahan di sisi Aditya. Dalam diam, Aditya mengulurkan tangan dan memeluk Risa dengan erat, hangat, dan penuh cinta yang telah melewati badai panjang.
“Terima kasih sudah menyelamatkanku…”
Risa menutup mata, merasakan kehangatan itu sampai ke dalam jiwa.
“Kamu rumahku, Mas. Dan aku nggak akan pernah pergi.”
Malam itu, keheningan menguatkan mereka. Tak ada rasa takut, tak ada keraguan. Hanya cinta yang utuh, semakin dalam dan kuat.
---
BEBERAPA HARI KEMUDIAN – RUANG TAMU
Sinar matahari pagi menembus tirai jendela, menyinari ruang tamu yang riuh dengan tawa dan suara sahabat lama Aditya yang berdatangan
Mereka membawa bingkisan dan buah tangan, wajah penuh syukur dan bahagia.
“Bro, akhirnya lo balik juga! Kami sempat pikir lo… ya sudahlah, yang penting lo selamat!” ucap Abidin
Aditya tersenyum, mengangkat tangan seolah mengusir kesedihan yang sempat menghantui.
“Masih hidup, dengan kaki dan muka rusak, tapi hatiku utuh. Terima kasih kalian datang.”
Tawa pecah mengisi ruangan. Di sisi lain, Risa sibuk menerima kue dan bingkisan dari tamu yang datang.
Seorang pria muda mendekat dengan sedikit gugup.
“Eh, Risa ya? Maaf ganggu… kamu penulis ‘Cahaya Dalam Kabut’, kan?” tanya Rika
Risa tersenyum terkejut.
“Iya… kok tahu?”
“Istri Aditya ternyata penulis favoritku! Aku bawa novelnya—boleh minta tanda tangan?”
Risa tertawa pelan, merasa hangat diterima.
Aditya menyeringai sambil menggoda.
“Lihat tuh istriku, bukan cuma istri pilot, tapi selebriti juga sekarang.”
Risa menggeleng sambil tersenyum malu.
“Jangan dilebih-lebihkan, Mas.”
“Harusnya kamu tulis kisah kalian jadi novel baru, pasti bestseller!” ucap Simon.
Tawa kembali pecah. Hari itu penuh kehangatan, persahabatan, dan semangat baru dimana sebuah babak baru dimulai, bukan hanya dalam hidup mereka, tapi juga di hati banyak orang yang terinspirasi oleh kisah mereka.
KAMAR TIDUR – MALAM HARI
Lampu utama dimatikan, cahaya lampu tidur remang-remang menerangi kamar yang tenang.
Risa membenahi selimut dengan lembut, lalu naik ke ranjang di samping Aditya yang termenung menatap langit-langit.
Aditya pelan bertanya, suara bergetar.
“Ris… kamu nggak jijik ya lihat wajahku sekarang?”
Risa diam sejenak, kemudian memeluknya erat.
“Mas, aku nggak mencintai kamu karena wajahmu. Aku mencintai kamu karena hati dan keberanianmu. Karena kamu selalu berusaha melindungi orang lain.”
Aditya tak mampu menahan air mata, wajahnya tersembunyi di pelukan Risa.
“Aku merasa nggak pantas buat kamu. Aku bukan Aditya yang dulu.”
Risa menatapnya dengan mata penuh kasih dan tegas.
“Mas, kamu memang bukan Aditya yang dulu. Kamu lebih kuat sekarang. Dan aku bangga jadi istrimu.”
Dalam pelukan yang erat, air mata dan bisikan saling menguatkan mereka. Risa membisikkan dengan suara lembut.
“Terima kasih sudah kembali. Terima kasih sudah bertahan.”
Di tengah keheningan malam, mereka berdua tenggelam dalam cinta yang lebih dalam dari sebelumnya, sebuah cinta yang melampaui segala luka dan kehilangan.
tata bahasanya bagus, enak dibaca
moga happy ending