Nael, seorang notaris kondang, tenggelam dalam kesedihan mendalam setelah kepergian istrinya, Felicia. Bermodalkan pesan terakhir yang berisi harapan Felicia untuknya, Nael berusaha bangkit dan menjadi pribadi yang lebih baik. Meski kehidupannya terasa berat, ia tidak pernah menyerah untuk membenahi diri seperti yang diinginkan oleh mendiang istrinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indrakoi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER 16: Anak Didik
Pagi hari sebelum buka kantor, aku udah dibikin sibuk sama si Lina—istri Felix. Dia datang ke sini, bahkan sebelum aku bangun tidur, cuma buat minta ubi manis aja. Sehingga, sekarang aku terpaksa harus nyabutin salah satu tanaman ubi manis yang udah boleh dipanen hari ini juga. Hadeh, untung dia ini istrinya Felix yang selalu support aku buat sembuh dari depresi ini. Kalau misalnya cuma sekedar teman doang, udah kuusir orang ini dari tadi.
“Buruan dong, El! Aku lagi bentar ada photoshoot, nih.” Ucap Lina sambil berdiri dengan gelagat yang tidak sabaran di ambang pintu belakang.
“Oi, kau nggak tahu kalau makananmu ini susah banget nyabutnya? Kalau mau cepat, sini bantuin!” Aku membalas dengan nada rendah yang terdengar kesal.
“Dih, nggak mau, lah! Kau nggak liat aku udah stylish gini?”
“Nah, kalau gitu, tunggu di sana dan tutup mulut judesmu itu, ya.” Lina yang terlihat kesal kemudian berpaling ke dalam rumah, lalu meninggalkan sedikit ketenangan untuk diriku.
Tanganku kemudian bergerak untuk mencangkul tanah yang mengubur ubi manis ini agar pencabutannya semakin mudah dilakukan. Asli, sampai sekarang kepalaku masih dipenuhi oleh pertanyaan tentang bagaimana caranya Felicia bisa memanen seluruh tanaman ubi manis ini. Padahal, dari segi fisik, dia nggak mungkin lebih kuat daripada aku.
Saking keponya, ada suatu momen dimana aku membolak-balik setiap halaman yang ada di buku harian Felicia untuk menemukan rahasianya itu. Tapi, bukannya mendapat jawaban, aku malah dibuat mewek gara-gara membaca setiap kata yang dia tulis di sana. Soalnya, 60% dari buku harian itu ternyata berisi puisi-puisi indah yang mengekspresikan kekaguman Felicia terhadap diriku.
Setelah tanah galiannya sudah cukup dalam, aku kemudian mencabut ubi manis ini dengan seluruh tenaga yang masih tersisa. Tepat di saat aku berhasil mencabutnya, Lina tiba-tiba kembali lagi ke kebun belakang dengan ekspresi wajah dingin seperti biasanya.
“Oi, ubi manismu udah kecabut, nih. Sekarang tinggal aku pisahin doang dari batangnya. Tunggu bentar, ya.” Ucapku kepada Lina dengan suara malas.
“Oke, makasih, ya. Tapi, sebelum itu, Felix katanya pengen ngomong sesuatu sama kau.” Balasnya datar, sembari berjalan mendekat untuk memberikan handphoneku.
Aku kemudian mengambilnya dan langsung menempelkannya pada telinga kiri. “Halo, Felix.” Sapaku untuk memberitahu bahwa aku sudah terhubung dengannya.
“Halo, Nael. Hei, dengar, ada hal darurat yang pengen kusampaikan sekarang.” Balasnya dengan nada yang tergesa-gesa.
“Apa itu?” Tanyaku singkat.
“Jam 9 nanti, akan ada 3 orang mahasiswa yang datang buat magang di kantormu untuk beberapa bulan ke depan. Jadi, tolong bimbing mereka dengan baik, ya.” Hah? Mahasiswa magang? Lho, kok tiba-tiba banget, sih?
“O-Oi, kenapa nggak bilang dari awal kalau kau mau naruh mahasiswa magang di sini?” Tanyaku lagi untuk meminta konfirmasinya.
“Nanti kujelaskan, ya. Soalnya, sekarang aku lagi siap-siap buat ngehadirin event internasional di auditorium, nih. Oh, iya! Untuk surat izin magangnya udah ada sama mereka, ya. Nanti tinggal kau tandatangani aja. Bye, Nael!”
“E-Eh, tunggu dul—” Beep! Panggilan berakhir.
...***...
Hadeh, emang dasar pasutri sialan! Yang satu minta ubi manis pagi-pagi, yang satu lagi main nitip anak magang aja seenak jidat. Aku jadi kelabakan, nih, pagi-pagi gara-gara kelakuan mereka berdua! Hah… yaudah, deh, mau gimana lagi.
Setelah Lina pergi, aku langsung beres-beres kantor untuk memberikan kesan pertama yang bagus kepada tiga anak magang itu. Tak lupa juga aku mandi dan mengenakan setelan kemeja yang biasanya kupakai. Ini adalah salah satu bentuk profesionalisme sebagai seorang notaris yang selalu kutunjukkan kepada semua orang.
Jam sudah menunjukkan pukul 8.57, jadi seharusnya mereka akan sampai sebentar lagi. *Ding-dong!* Nah, panjang umur kalian semua. Suara bel rumah itu pasti pertanda bahwa mereka sudah sampai di depan rumah. Aku kemudian segera bergegas ke depan untuk membukakan gerbang.
“Selamat pagi, Pak Nael!”
“Selamat pagi, Pak Nael!”
Begitu pintu gerbangnya sudah selesai dibuka, tiba-tiba aku langsung dikagetkan oleh dua mahasiswa perempuan yang menyapaku dengan penuh semangat. Mereka juga terlihat sedikit membungkuk, seolah memberikan sebuah penghormatan kepadaku. Selain itu, penampilan kedua mahasiswi ini terlihat memiliki perbedaan yang sangat kontras.
Mahasiswi di sebelah kiri mengenakan setelan almamater kampus yang tampak sedikit lecek, rambut yang acak-acakan, serta memiliki ekspresi yang penuh semangat. Sementara itu, mahasiswi di sebelah kanan terlihat memakai setelan yang jauh lebih rapi, kepalanya berhiaskan jilbab yang sangat anggun, tapi wajahnya tampak sangat pemalu.
“Selamat pagi. Silahkan masuk.” Balasku singkat untuk menyambut mereka dengan nada yang dibuat seramah mungkin.
Begitu kita bertiga sampai di ruang kerja, aku segera memeriksa surat izin magang yang dibawa oleh kedua mahasiswi ini. Setelah membaca setiap kata yang ada di sana, aku langsung menandatangani surat izin tersebut yang menandakan bahwa mereka resmi menjadi anak magang di ENF Public Notary.
“Oke, surat izinnya sudah ditandatangani, ya.” Ucapku kepada mereka berdua, sembari meletakkan surat izin magang itu di pinggiran meja. “Mungkin, sebagai permulaan, bagaimana kalau kita saling memperkenalkan diri agar kedepannya bisa jadi lebih akrab?”
*Brakkkk!* Gadis berambut acak-acakan itu tiba-tiba menggebrak meja, kemudian berdiri dari kursinya dengan penuh semangat. “Baiklah! Perkenalkan nama saya Tahsya Gabriela, bisa dipanggil Tahsya. Mohon segala bimbingannya, Pak Nael!” Ucapnya memperkenalkan diri dengan nada yang begitu membara.
“O-Oke, terima kasih. Kau ini ternyata anak yang bersemangat sekali, ya. Hahahaha.” Mataku kemudian beralih ke arah mahasiswi dengan hijab anggun yang duduk tepat di sebelah Tahsya. Aku bisa melihatnya sedikit tertegun begitu menyadari bahwa tatapanku diarahkan kepadanya.
“Baiklah, sekarang giliranmu. Silahkan perkenalkan diri, tapi jangan terlalu ribut, ya.” Ucapku kepadanya sembari memberikan tatapan mata yang seramah mungkin.
“B-Baik! N-N-Nama s-saya Meilani Fitria. Bisa d-dipanggil Meilani. M-mohon segala bimbingannya, Pak Nael…” Ujar Meilani memperkenalkan diri dengan nada pelan yang sangat sulit untuk didengar.
Hah… sepertinya perjalananku dalam mendidik mereka selama 4 bulan ke depan nggak akan berjalan dengan mudah, ya.
...***...
Setelah perkenalan singkat, aku langsung mengajak Tahsya dan Meilani untuk praktik langsung dalam melayani client. Karena mereka berasal dari Fakultas Hukum Universitas Andawana—yang notabene adalah salah satu fakultas hukum terbaik di Indonesia—aku kira mereka akan langsung mengerti tata cara melayani pelanggan dalam urusan kenotariatan.
Tapi, perkiraanku ternyata salah besar. Kedua mahasiswi ini malah kelabakan dalam melayani client, sehingga banyak dari mereka yang pulang dengan wajah cemberut. Yah, namanya juga anak magang. Sekalipun berasal dari Universitas Andawana, tetap aja mereka harus dibimbing dengan baik terlebih dahulu, sebelum disuruh ngelayanin client secara langsung. Ini murni kesalahanku, sih.
Di penghujung hari, aku mengajak Tahsya dan Meilani berkumpul di sofa ruang tunggu untuk mengapresiasi hasil kerja mereka. Walaupun nggak se-lancar yang aku kira, tapi setidaknya mereka sudah berusaha semaksimal mungkin.
“Makasih banyak atas bantuan kalian, ya. Meski tadi agak kelabakan, tapi aku yakin kedepannya kita pasti akan jadi lebih baik.” Ucapku kepada mereka sambil mengacungkan dua jempol.
“Tentu! Terima kasih atas bimbingan anda hari ini, Pak Nael!” Balas Tahsya dengan semangat yang tetap membara.
“T-terima kasih, Pak Nael…” Sementara itu, Meilani membalas dengan suara lirih yang masih malu-malu.
Tiba-tiba, ada suatu hal yang baru terlintas di pikiranku mengenai anak-anak magang ini. Tadi pagi, Felix mengatakan bahwa ada 3 orang mahasiswa yang akan dikirim untuk magang di kantorku. Tapi, kenapa hanya ada dua orang saja yang datang hari ini?
“Oh, iya. Kaprodi kalian bilang kalau ada tiga orang yang bakal magang di sini. Tapi, kenapa hari ini cuma kalian berdua aja yang datang?” Tanyaku sembari menatap mereka berdua secara bergantian.
Tahsya dan Meilani kemudian saling bertukar pandang satu sama lain, lalu menatapku lagi sambil menggeleng-gelengkan kepala. Mereka sepertinya juga tidak tahu dimana keberadaan anak magang yang satu itu.
“Begitu, ya. Jadi kalian berdua juga nggak tahu dia ada dimana.” Gumamku lirih kepada mereka berdua.
“Iya, mohon maaf karena kami tidak tahu dimana keberadaannya sekarang, Pak Nael. Tapi, sebagai gantinya, izinkan aku memberitahu satu hal penting mengenai orang itu.” Tahsya kemudian berdiri dan menatapku dengan mata yang penuh optimisme.
“Kalau Michelle ada di sini, semua tugas yang anda berikan tadi pasti akan disapu bersih olehnya!”