Sabrina rela meninggalkan status dan kekayaannya demi menikah dengan Zidan. Dia ikut suaminya tinggal di desa setelah keduanya berhenti bekerja di kantor perusahaan milik keluarga Sabrina.
Sabrina mengira hidup di desa akan menyenangkan, ternyata mertuanya sangat benci wanita yang berasal dari kota karena dahulu suaminya selingkuh dengan wanita kota. Belum lagi punya tetangga yang julid dan suka pamer, membuat Sabrina sering berseteru dengan mereka.
Tanpa Sabrina dan Zidan sadari ada rahasia dibalik pernikahan mereka. Rahasia apakah itu? Cus, kepoin ceritanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Sabrina terkejut melihat dua orang yang tidak dikenalinya berdiri di depan pintu. Seorang pria dan wanita paruh baya yang berdandan sangat menor.
"Cari siapa?" tanya Sabrina.
"Kamu, istrinya Zidan?" tanya pria yang memakai kemeja berwarna putih.
"Benar," jawab Sabrina. "Anda siapa?" tanya Sabrina balik.
"Kamu bisa sama siapa, Sabrina?" tanya Bu Maryam yang datang dari arah belakang.
Belum juga Sabrina bicara, Bu Maryam berteriak kepada orang yang sedang berdiri di depan pintu. Sang mertua berkata, "Mau apa kalian datang ke rumahku, hah!"
Mendengar suara bentakan Bu Maryam terkejut. Dia bisa melihat aura kemarahan dari ekspresi wajah ibu mertuanya.
"Jangan injakan kaki kamu di sini lagi, Yadi! Bawa wanita pelacur itu juga!" lanjut Bu Maryam.
Sabrina menelisik laki-laki paruh baya yang baru diketahuinya adalah ayah dari Zidan. Wajahnya memang mirip, tetapi bagian mata dan bibirnya berbeda. Dia juga memerhatikan wanita yang berpenampilan mewah dengan banyak perhiasan yang dikenakan pada jari, lengan, dan leher, juga telinganya. Baju yang dipakainya pun terlihat sangat bagus dan mahal.
"Aku datang ke sini mau bertemu dengan Zidan dan istrinya," jawab Pak Yadi.
"Mau ketemu?" Bu Maryam bicara dengan nada menyindir. "Kemarin-kemarin ke mana ketika Zidan hidup kesulitan dan membutuhkan dirimu!"
"Iya. Kemarin juga pas Kang Zidan meminta restu saja enggak ditanggapi!" lanjut Sabrina yang ikutan marah sama Pak Yadi.
Sebelum menikah Zidan beberapa kali menghubungi ayahnya untuk meminta restu. Dia mengirim pesan lewat messenger karena cuma itu satu-satunya media sosial milik Pak Yadi yang Zidan tahu. Setiap hari dia mengirim pesan, tetapi tidak ditanggapi, padahal beberapa kali terlihat online dan membuat status.
"Nah, kan! Kamu memang tidak perduli sama anak kandung kamu sendiri. Menelantarkan anak kandung, tapi malah mengurus anak orang lain. Dasar orang tua dzalim!" bentak Bu Maryam sambil menunjuk muka Pak Yadi.
"Heh, anakku juga berarti anaknya Bang Yadi! Karena dia sudah menikah sama aku. Jadi, kewajiban dia juga menafkahi anakku," balas wanita yang bersama Pak Yadi.
"Diam kau, Niken! Wanita pelacur seperti kamu maunya hidup enak. Tidak mau hidup sudah dan bekerja keras. Dengan bermodal ngang'kang, kau rebut suami orang! Kenapa kau tidak minta sama bapaknya anakmu biaya hidup anak-anakmu. Malah merampas semua hak Zidan dari Bapaknya," ucap Bu Maryam dengan penuh emosi.
Semua harta kekayaan milik Pak Yadi dinikmati oleh Niken dan anak-anaknya, tanpa memberikan sedikit pun untuk Zidan. Dahulu, harta kekayaan milik Pak Yadi yang begitu banyak dijual diam-diam dan uangnya masuk rekening Niken. Begitu menceraikan Bu Maryam, Pak Yadi tidak punya harta lagi. Jangankan harta gono-gini, nafkah mut'ah saja tidak ada.
Beruntung masih ada rumah peninggalan orang tua Bu Maryam, jadi mereka tidak di sini walau sudah jelek. Dengan mengandalkan kekuatan seorang wanita, Bu Maryam membesarkan Zidan seorang diri. Kadang mendapatkan uang dari kedua saudaranya untuk biaya sekolah Zidan. Sungguh waktu itu sangat berat dan penuh penderitaan bagi Bu Maryam dan Zidan.
"Oh, wanita ini adalah pelakor, ya! Harus di viralkan," ucap Sabrina yang langsung melakukan live di akun media sosial miliknya.
"Hai, guys! Lihat, wanita ini adalah pelakor pada zamannya. Dia sangat licik dan sudah membuat mamah mertua dan suamiku hidup menderita! Kira-kira karma apa yang pantas untuknya, ya?" ucap Sabrina.
Tentu saja perbuatan istrinya Zidan itu membuat tercengang ketiga orang lainnya. Mereka belum paham dengan kelakuan Sabrina yang dikiranya cuma bercanda.
"Sana pergi! Aku dan Zidan enggak butuh kehadiran kamu!" Usir Bu Maryam kepada Pak Yadi dan Niken.
"Ya, sekarang Kang Zidan dan Mamah sudah hidup bahagia sama aku. Kalian sebaiknya pergi jangan ganggu kita lagi," lanjut Sabrina yang masih asyik melakukan live streaming.
"Hei, ngapain kamu? Enggak lagi merekam kejadian ini, kan?" tanya Niken.
"Enggak," jawab Sabrina. "Aku sedang mengadakan live streaming, kok!"
"Apa?!" pekik Niken yang terlihat ketakutan.
"Matikan! Aku bilang matikan!" Niken mencoba merebut handphone milik Sabrina.
"Eits, enak saja main ambil barang milik orang lain!" Sabrina mengangkat tinggi ponsel miliknya.
Rupanya Zidan pulang dengan napas tersengal-sengal. Dia sempat melihat live streaming yang dilakukan oleh Sabrina. Makanya buru-buru pulang, berlari.
"Bapak!"
"Akang!" Sabrina lari ke arah Zidan dan langsung memeluk lengannya.
Sudah belasan tahun Zidan tidak bertemu dengan ayahnya, sejak kedua orang tuanya bercerai. Bahkan ketika kematian sang nenek pun Pak Yadi tidak pulang. Sehingga Zidan yang waktu itu sudah remaja dan Bu Maryam sibuk mengurus segala keperluan pemakaman.
"Zidan," panggil Pak Yadi. Terlihat ada kerinduan pada pancaran sinar matanya kepada sang anak.
"Kenapa baru datang?" tanya Zidan sambil mencium tangan ayahnya.
Mata Sabrina membulat melihat Zidan masih berlaku baik kepada ayah yang sudah membuangnya, menelantarkan dirinya. Dia berpikir kalau jadi suaminya akan usir dan tidak akan bersikap baik.
"Bapak baru baca pesan kamu kemarin. Makanya baru datang," jawab Pak Yadi dengan mata berkaca-kaca. Hati pria paruh baya itu bergetar karena putranya memperlakukan dia dengan baik.
"Bapak ke sini naik apa? Apa baru sampai?" tanya Zidan.
"Bapak naik bus sampai terminal. Lalu, naik angkutan pedesaan sampai pasar. Jalan kaki sampai sini," jawab Pak Yadi memberi tahu anaknya.
"Kalau begitu masuk dulu! Minum dulu, pasti haus," ajak Zidan.
Bu Maryam dan Sabrina melotot. Kedua wanita itu tidak menyangka Zidan akan berbuat begitu.
"Mereka adalah tamu. Kewajiban kita memuliakan tamu yang datang ke rumah," kata Zidan kepada Sabrina.
Walau benci dan marah, Bu Maryam memberikan dua gelas air putih dan setoples biskuit. Rencananya dia juga mau memberikan brownies gosong buatan Sabrina, tetapi di cegah oleh Zidan.
"Mah, jangan mempermalukan diri sendiri. Jangan buat wanita itu punya cela untuk menjelek-jelekkan Mamah," ucap Zidan.
"Tapi, Zidan ...."
"Jangan buat hati Mamah terluka lagi. Tunjukkan kalau Mamah adalah wanita kuat dan buat Bapak menyesal sudah melepaskan Mamah dan memilih wanita itu," ujar Zidan dengan nada lembut.
Sementara itu, Sabrina lupa dengan perintah ibu mertuanya untuk mengganti belanjaan yang salah tadi. Perempuan itu duduk dengan tatapan tajam kepada Niken. Dia bisa menilai kalau istri kedua Pak Yadi, usianya jauh lebih muda dari Bu Maryam. Karena kulitnya masih terlihat kencang dan gaya berpenampilannya juga seperti ibu-ibu muda.
Niken memang baru berusia 35 tahun, terpaut 15 tahun dengan Pak Yadi. Ketika menikah dengan Pak Yadi usianya baru 20 tahun, tetapi sudah punya dua orang anak yang masih kecil-kecil.
"Bapak, kok, bawa banyak barang di depan?" tanya Zidan.
Sabrina dan Bu Maryam baru sadar kalau di teras dekat kursi ada beberapa tas dan dua. Tadi mereka tidak memerhatikan itu.
"Mulai sekarang Bapak akan tinggal di sini," jawab Pak Yadi.
"Apa?" pekik Bu Maryam yang terlihat terkejut sekaligus tidak percaya.
***
bukan musuh keluarga Sabrina
jangan suudhon dl mamiiii