menceritakan tentang kisah dyah suhita, yang ketika neneknya meninggal tidak ada satupun warga yang mau membantu memakamkannya.
hingga akhirnya dyah rela memakamkan jasad neneknya itu sendirian, menggendong, mengkafani, hingga menguburkan neneknya dyah melakukan itu semua seorang diri.
tidak lama setelah kematian neneknya dyah yaitu nenek saroh, kematian satu persatu warga desa dengan teror nenek minta gendong pun terjadi!
semua warga menuduh dyah pelakunya, namun dyah sendiri tidak pernah mengakui perbuatannya.
"sudah berapa kali aku bilang, bukan aku yang membunuh mereka!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Abdul Rizqi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
menemui mbah rasimah
Rizky ingin sekali menghampiri dyah yang tengah kesakitan, namun ia tak kuasa bagaimana nanti jika dirinya malah di serang oleh dyah.
"Apa dyah kerasukan?" Rizky ingin mengambil tindakan, namun urung kala dyah tiba tiba bangkit dan kembali berjalan.
Rizky bergegas kembali mengikuti dyah, kali ini dyah berjalan ke arah pemakaman.
"Mau ngapain dyah ke pemakaman?"
Langkah dyah sedikit kaku, ketika angin dingin berhembus lirih menyapu tengkuknya yang sedikit meremang.
Malam seolah menelan bumi dari sinar matahari. Sama seklai tak ada cahaya yang menyinari di area pemakaman ini, hanya gelap saja.
Rizky mengusuk tungkuk, sedikit meneliti keadaan sekitar. Suara dedaunan yang tertiup angin, menimbulkan bunyi yang memekakan telinga.
"Lah, dyah kemana?" Rizky kehilangan jejak dyah, sebab ia terlalu fokus pada kegelapan malam.
Manik mata rizky mengedar, menelisik ke arah sekitar ia berdiri. Mencari cari keberadaan dyah, yang jelas tadi berada di depannya. Baju putih yang di kenakan dyah, jelas mempermudah rizky melihatnya.
Hingga sepersekian menit, rizky hanya memutar mutar di sana saja. Tak kunjung menemukan keberadaan dyah.
"Aaaarghhh tolong!" Terdengar suara teriakan yang membuat rizky terjingkat.
Pikiran buruk tentang dyah membuat dirinya lekas berlari, ke arah sumber teriakan itu.
Matanya membulat, kala melihat pemandangan yang mampu membuat perutnya mual.
Terlihat mulut dyah penuh dengan cairan kental berwarna merah. Tangabya pun juga sama, bahkan seluruh bajunya juga terkena noda tersebut.
Tepat di bawahnya saat ini terlihat seseorang yang tengah berbaring, dengan mata melotot dan bagian perut yang sobek menganga sampai sampai organ organ tubuhnya berceceran.
Rizky membekap mulut dengan kaki yang berjalan mundur secara perlahan kebelakang. Perutnya mual, tak kuasa menahan pemandangan yang ada di depannya.
Setelah puas mengbrak abrik isi perut orang itu, dyah segera bangkit. Berjalan terhuyung huyung ke arah sungai yang tak jauh dari sana.
Rizky merasa tanggung sudah sampai sejauh ini, ia kembali membuntuti dyah, meski sebenarnya perasaanya sudah tidak karuan.
Dyah menceburkan diri ke dalam sungai. Aliran air yang tampak begitu tenang, seketika berubah menjadi merah darah.
"Sungai yang menjadi sumber minum warga sini, sudah aku campur darah milik anak buah manusia setengah iblis itu. Lihatlah ini dyah, siapapun yang menyakitimu akan merasakan tajamnya belati dan parang milikku!" Lirih dyah yang sedang berdiam diri di tengah tengah sungai.
"Yang di habisi dyah, itu semua adalah anak buah seseorang yang memfitnah keluarga dyah? Siapa? Dan siapa yang sedang merasuki dyah saat ini!" Batin rizky.
Dia sangat kebingungan, karena walaupun suaranya mirip seperti suara dyah, namun tidak mungkin itu dyah, karena rizky tahu betul dyah sangat takut dengan darah dan kegelapan.
"Yang jelas dia bukan dyah. Dan kalau sampai warga sampai tahu, bisa bahaya. Dyah bisa bisa di habisi sekarang aku harus apa?"
Rizky kebingungan sendiri dengan apa yang harus dia lakukan. Terlintas ucapan bapaknya waktu itu, dan ucapan hantu nenek saroh yang meminta dia untuk membawa dyah pergi dari desa wanara.
Dyah keluar dari sungai, tatapanya begitu kosong dengan kelopak mata yang membengkak.
Belati yang dia pegang jatuh ke tanah, di susul dengan tubuhnya yang ikut ambruk secara bersamaan.
"Dyah!" Teriak rizky yang langsung berlari ke arah dyah.
Gadis itu tampak sekali pucat, badanya yang tadinya basah karena aur sungai, tiba tiba kering dengan sendirinya.
Rizky bergegas menggendong dyah pulang ke rumah, dengan perasaan was-was dan ketakutan yang tiada tara.
Kuk... kuk.... kuk....
Burung hantu yang berseliweran kesana kemari, menyaksikan rizky yang menggendong dyah.
Setelah kembali rizky menidurkan dyah di ranjang kamar adiknya, rizky bergegas keluar.
Dia sangat panik, apabila ada salah satu warga yang terjaga dan melihat dia menggendong dyah malam malam.
"Jangan sampai ibu tahu, apa yang harus aku katakan jika ibu sampai tahu?" Batinnya yang mencoba untuk tenang.
Rizky kembali ke kamarnya, dengan dada yang di buat senetral mungkin.
Apa yang tidak di ketahui rizky, saat ini dyah membuka matanya dengan mata yang putih polos, sudut bibirnya mengembangkan senyuman penuh arti.
***
Waktu berjalan cepat, pagi hari telah tiba.
"Ada yang ingin rizky bicarakan pak, ini sangat penting!"
"Ada apa le?"
"Jangan di sini pak, sambil jalan saja."
Rizky mempersilahkan bapaknya untuk berjalan terlebih dahulu.
Kedua bapak dan anak itu berjalam beriringan. Dengan rizky yang terus menggenggam jemarinya denga raut wajah panik.
"Mau bilang apa le? Kok sekarang malah diem?" Tanya pak ustad.
"Sebenarnya rizky mau ajak bapak ke rumah mbah rasimah hari ini?" Tanya rizky ragu ragu.
"Oh, kamu ingin menanyakan sesuatu tentang dyah ya. Ya sudah, kalau begitu sekarang kita ke sana. Kebetulan bapak memang sudah tidak memiliki urusan lagi." Jawab pak ustad.
Mereka berbelok arah, berjalan ke arah jalan setapak kebun kopi.
Jalanan yang sepi dan gelap karena kanan dan kirinya semak belukar. Sebenranya ini adalah kebun warga, tetapi sudah lama tidak di urus. Karena sebagian warga memang memutuskan untuk merantau ke kota.
Mereka semua akhirnya tiba di sebuah rumah yang terpencil dari rumah lainnya. Rumah kecil dengan halaman yang di penuhi oleh dedaunan kering yang berjatuhan, berserakan di sana.
"Kulo nuwun!" Ucap pak ustad yang sudah memasuki teras rumah.
Dinding bambu yang setengahnya sudah tampak rapuh dan berlubang itu, memperlihatkan seseorang yang berjalan lirih dari dalam rumah.
Suara angin menyapu pepohonan rindang di sekeliling rumah ini, menciptakan suara riuh yang mengusik telinga.
"Monggo!" Terdengar suara khas wanita tua, bersamaan dengan terbukannya pintu utama.
Pintu rumah yang engselnya sudah berubah warna menjadi kecoklatan itu, berderit ketika di buka.
Tampak wanita bungkuk yang berjalan tubuh menekuk, serta mata yang tertutup sebelah, berdiri tepat di depan pak ustad dan rizky.
"Oh kamu nak yusuf, ada apa?" Tanyanya lirih.
"Ada sesuatu hal yang ingin saya sampaikan."
"Iya sudah, masuk!"
Nenek tua itu berjalan masuk ke dalam rumahnya, sementara pak ustad dan rizky mengikuti langkahnya masuk ke dalam.
Rumah ini sangat gelap, lantai masih terbuat dari tanah, membuat suasana di dalam rumah ini teramat dingin.
Rizky dan bapaknya di persilahkan duduk di bangku kayu yang setengah sudah patah tepat di bagian dudukannya. Dengan mata yang awas ke kanan dan ke kiri rizky akhrinya duduk di tempat duduknya.
Meski hatinya ragu apakah kursi ini mampu menopang tubuhnya.
"Kursi itu kuat, hanya tampangnya saja seperti ini, tetapi jika sekalipun kamu lompat lompat di atasnya tidak akan terjadi apa apa, cobalah kalau tidak percaya." Ucap nenek itu kepada rizky tampaknya ia tahu perasaan rizky.