Ada cowok yang pikirannya masih di zaman batu, yang menganggap seks cuma sekedar kompetisi. Semakin banyak cewek yang ditiduri, maka semakin jantan dia.
Terus ada juga yang menganggap ini cuma sebagai salah satu ajang seleksi. Kalau goyangannya enak, maka mereka bakal jadian.
Ada lagi yang melihat ini cuma buat kesenangan, tanpa perlu ada keterikatan. Ya, melakukannya cuma karena suka. Sudah, begitu saja.
Dan ada juga cowok yang menganggap seks itu sesuatu yang sakral. Sesuatu yang cuma bisa mereka lakukan sama orang yang benar-benar mereka sayangi.
Nah, kalau gue sendiri?
Jujur, gue juga nggak mengerti. Gue bahkan nggak tahu apa arti seks buat gue.
Terus, sekarang gue ada di sini sama Carolline?
Gue baru kenal dia, jadi gue nggak ada niatan buat tidur sama dia. Tapi kalau soal bikin dia puas?
Itu cerita lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Direct Message
...Selma...
...────୨ৎ────જ⁀➴...
"Gue ngelakuin apa yang harus gue lakuin. Titik."
"Selma."
"Gue nggak bisa kabur selamanya."
"Selma."
"Gue nggak pernah jadi pengecut."
"Selma!"
Suara benda yang dibanting di meja bikin gue kaget dan balik ke dunia nyata.
Nyokap berdiri di samping meja, memperhatikan gue dengan alis yang naik. Rambut coklatnya dicepol asal-asalan, beberapa helai jatuh di wajahnya.
Cahaya senja memantul di kaca jendela di belakangnya, dan sesaat, gue hampir kebawa lamunan lagi.
"Udah kamu baca?"
Gue lihat ke naskah di depan gue.
Gue meringis.
Sesuatu, kan, rasanya kalau lo baca novel khusus dewasa?
Tapi beda cerita kalau yang nulis nyokap lo sendiri. Seperti biasa, otak gue malah taruh dia sebagai tokoh utama, dan itu... ya, ih nggak banget.
Jadi, biar bisa lanjut baca, gue mati-matian ngebayangin ini cuma buku yang gue beli di toko dan gak tahu siapa penulisnya.
"Baru setengah."
"Terus, gimana menurut kamu?"
Muka nyokap penuh harap. Dan ya, meskipun gue gimana gitu pas bacanya, jujur bukunya bagus.
"Selma suka, tapi mungkin bisa Mama tambahin ketegangan di antara mereka sebelum mereka benaran tidur bareng."
Nyokap langsung mencatat.
"Mungkin dua-tiga chapter lagi buat bangun tensinya."
Dia mengangguk.
Kita emang udah biasa ngobrolin soal beginian. Awalnya sih canggung, tapi lama-lama jadi kebiasaan.
Apalagi nyokap gue, Melisandi, udah lebih dari sepuluh tahun jadi penulis novel ranjang. Bukunya laris kayak pertalite. Awalnya dia mulai dari self-publishing, terus ada penerbit kecil yang nemuin dia dan langsung nge-boost kariernya. Sekarang dia udah punya lebih dari tiga puluh buku.
Gue rasa itu kenapa dia punya pemikiran yang terbuka banget soal ini. Seorang ahli erotis jelas nggak bakal jaim sama anak-anaknya pas ngomongin topik beginian.
Dia setuju sama saran gue buat bikin tensinya lebih panjang.
"Mama juga merasa gitu. Ada masukan lain?"
"Bagian pas mantannya si cowok dateng terus jadi antagonis jahat gitu, nggak terlalu klise?"
"Kamu pikir gitu?"
"Iya."
"Oke."
Gue kasih beberapa catatan soal skenario dan adegan yang kayaknya nggak perlu, terus dia catet semuanya. Nyokap selalu dengarin masukan gue dengan serius.
Gue rasa ini yang bikin kita makin dekat. Gue respek banget sama kerjaannya, dan gue nggak pernah bosen bilang kalau dia emang berbakat.
Siapa sih yang nggak bangga punya nyokap sekeren dia?
Tiba-tiba suara iseng masuk ke ruangan.
"Apaan lagi nih yang Mama tulis?"
Melvin, abang gue, masuk ke ruang tamu, langsung ambil naskah itu dengan satu tangan. Nyokap cuma bisa ngeluh pelan.
Bokap nggak terlalu peduli sama kerjaan nyokap, tapi setidaknya dia nggak pernah menghujat.
Beda cerita sama Melvin. Dia 23 tahun, tapi pemikirannya kayak orang yang hidup di abad lalu. Sepanjang waktu, dia cuma nyinyirin nyokap, bilang kalau kerjaannya bikin malu keluarga.
Serius deh, tuh orang hidup di zaman kapan sih?
Ya ampun, gue umur 20, tapi jelas jauh lebih dewasa dibanding dia.
Melvin tuh nggak pernah bisa jauh dari masalah. Walaupun dia udah nggak tinggal bareng kita dan udah hidup sendiri, tetap aja, berasa kayak gue masih harus beresin kekacauannya.
Gue berdiri, langsung mencabut naskah itu dari tangannya. Sekalian, pakai tangan satunya, gue kibaskan "debu ketololan" dari bajunya.
Dia langsung menggeser tangan gue.
"Apaan sih lo?"
"Tadi ada sisa-sisa rontoknya otak lo, di baju lo."
"Haha, lucu banget, Selma."
Tiba-tiba, Noelle muncul di belakangnya. Adik gue yang satu ini lagi bawa buku catatan sekolah dan masih pakai earphone. Rambut pirangnya jatuh menutupin sebagian kupingnya.
Untungnya, Noelle ini nggak ketularan cara berpikir Melvin yang norak.
Dia copot earphone, jalan masuk, terus langsung cium kepala nyokap.
"Hari ini gimana?" tanya nyokap sambil senyum.
"Bagus. Noelle dapet nilai tertinggi lagi di Kimia." Noelle buka tasnya dan taruh di gantungan dekat ruang tamu. "Pak Yohan bilang Noelle bakal masuk daftar siswa terbaik."
"Gila!" Gue melewati Melvin sambil nyodorin jari tengah secara halus, terus nyamperin Noelle. "Nih anak pinter nurun dari siapa, sih?"
Noelle menyengir. "Nurun kakak."
Kita ketawa bareng.
Setelah makan malam, gue nganterin Melvin sampai pintu saat dia mau cabut.
"Bilang ke bokap, kalau gue mampir."
Dia berbalik, matanya yang segelap nyokap menunduk memperhatikan gue. Dia juga dapat tinggi badan dari nyokap.
"Kenapa? Lo baik-baik aja?"
Gue tatap dia balik, "Gue bakal lebih baik kalau lo berhenti bersikap nyebelin sama nyokap."
Melvin gesek lidahnya ke gigi depan, terus mendekat, lalu berbisik, "Dan gue bakal lebih baik kalau lo berhenti ikut campur urusan gue, Selma."
Terus, dia melewati gue.
Gue tahan tangannya sebelum dia sempat menyentuh wajah gue lebih jauh.
"Gue nggak ngerti maksud lo."
Melvin melirik, terus ngeluarin napas pendek sebelum melepas tangannya dari genggaman gue.
"Lo ngerti kok."
Gue telan ludah.
"Gue harap lo cukup pinter...."
Dia maju, nyium kening gue sebentar, terus meraba pipi gue pelan.
"Gue nggak bakal nyakitin lo..." bisiknya, suaranya lebih lembut dari yang seharusnya. "Tapi gue nggak bisa janjiin hal yang sama buat orang-orang di sekitar lo."
Habis itu, dia pergi. Gue baru sadar gue nahan napas sejak tadi.
Melvin lebih berbahaya dari yang mau gue akui. Sejak dia cabut dari rumah, dia makin nggak bisa dikontrol. Setidaknya, waktu dia masih di sini, bokap-nyokap masih bisa ngerem dia dikit.
Tapi sekarang?
Gue nggak ngerti gimana dia bisa mandiri secara finansial, tapi jawabannya ada di media sosial. Kakak gue yang satu itu sekarang influencer. Dengan muka cakep dan badan atletis, dia punya jutaan fans yang nggak tahu siapa dia sebenarnya di balik layar.
Gue naik ke kamar, rebahkan diri di kasur, dan akhirnya sadar apa yang udah gue lakuin tadi.
Gue buang napas panjang.
Gue nggak suka kabur dari masalah. Itu bukan gue. Tapi itu satu-satunya hal yang gue lakuin sejak hari itu, sejak gue menyelamatkan si cowok itu, Asta Batari.
Gue kira kalau gue diam saja, dia bakal lupa dan berhenti mencari gue.
Tapi post di Instagram-nya kemarin nunjukin yang sebaliknya. Dia bukan tipe orang yang gampang melepas sesuatu.
Gue nggak berniat jadi misterius atau gimana, gue punya alasan kenapa gue nggak pengen orang tahu siapa gue.
Tapi tetap aja, di sinilah gue sekarang. Gue pegang HP, bolak-balik lihatin post-nya lagi.
"Asta…" nama itu keluar pelan dari mulut gue.
Gue sendiri nggak ngerti kenapa gue merespon postnya. Kayak ada sesuatu yang nyuruh gue buat balas. Seolah gue bisa merasakan keputusasaan dia.
Dan walaupun gue udah ninggalin komentar di post-nya semalem, dia baru nge-DM gue pagi ini.
...📩...
...Halo, Selma....
...Gue tahu, kita nggak saling kenal, tapi kalau lo nggak keberatan, gue mau ngucapin makasih secara langsung buat bantuan lo malam itu....
...Ini nomor gue....
...Asta B....
Gue cuma baca doang. Gue respect karena dia menjaga jarak dan nggak nge-spam gue pakai pesan. Oke, dia cuma mau bilang makasih, dan gue paham. Kalau gue ada di posisinya, mungkin gue bakal ngelakuin hal yang sama.
cobalah utk hidup normal phyton
𝚜𝚊𝚕𝚞𝚝 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊,𝚠𝚊𝚕𝚊𝚞𝚙𝚞𝚗 𝚖𝚊𝚕𝚟𝚒𝚗 𝚔𝚊𝚔𝚊𝚔𝚗𝚢𝚊 𝚝𝚊𝚙𝚒 𝚍𝚒𝚊 𝚝𝚍𝚔 𝚋𝚎𝚕𝚊𝚒𝚗 𝚔𝚊𝚔𝚊𝚔𝚗𝚢𝚊,𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊 𝚖𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚗𝚐𝚎𝚍𝚞𝚔𝚞𝚗𝚐 𝚙𝚑𝚢𝚝𝚘𝚗
𝚜𝚎𝚖𝚊𝚗𝚐𝚊𝚝 𝚍𝚘𝚗𝚐 🥰🥰
𝚜𝚖𝚘𝚐𝚊 𝚌𝚘𝚌𝚘𝚔 𝚢𝚊 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊 🥰🥰
𝚜𝚎𝚖𝚘𝚐𝚊 𝚍𝚐𝚗 𝚊𝚍𝚊𝚗𝚢𝚊 𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊 𝚔𝚊𝚖𝚞 𝚋𝚒𝚜𝚊 𝚗𝚎𝚖𝚞𝚒𝚗 𝚓𝚊𝚝𝚒 𝚍𝚒𝚛𝚒 𝚔𝚊𝚖𝚞 𝚍𝚊𝚗 𝚕𝚞𝚙𝚊𝚒𝚗 𝚟𝚎𝚢..𝚐𝚊𝚔 𝚜𝚎𝚝𝚞𝚓𝚞 𝚔𝚕𝚘 𝚊𝚜𝚝𝚊 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚟𝚎𝚢