"Aku mencintainya, tapi akulah alasan kehancurannya. Bisakah ia tetap mencintaiku setelah tahu akulah penghancurnya?"
Hania, pewaris tunggal keluarga kaya, tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Meskipun seluruh sumber daya dan koneksi dikerahkan untuk mencarinya, Hania tetap tak ditemukan. Tidak ada yang tahu, ia menyamar sebagai perawat sederhana untuk merawat Ziyo, seorang pria buta dan lumpuh yang terjebak dalam bayang-bayang masa lalunya.
Di tengah kebersamaan, cinta diam-diam tumbuh di hati mereka. Namun, Hania menyimpan rahasia besar yang tak termaafkan, ia adalah alasan Ziyo kehilangan penglihatannya dan kemampuannya untuk berjalan. Saat kebenaran terungkap, apakah cinta mampu mengalahkan rasa benci? Ataukah Ziyo akan membalas dendam pada wanita yang telah menghancurkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9. Bertekad
“Ziyo, aku sudah menghubungi beberapa agensi perawat,” kata Diva sambil duduk di ruang tengah. Ia memandang Ziyo yang masih terlihat lemah di kursinya. “Tapi kebanyakan sudah penuh atau hanya memiliki perawat dengan jadwal yang terlalu padat. Sementara ini sebelum mendapatkan perawat, tidak apa-apa bukan jika pelayan di rumah ini yang membantumu? Aku akan mencari perawat secepatnya.”
Ziyo hanya mengangguk pelan. “Tak apa-apa. Aku serahkan semuanya padamu.”
Sebelum percakapan mereka berlanjut, bel rumah berbunyi. Diva berdiri dan berjalan menuju pintu utama.
Saat pintu terbuka, Pak Sarwo, satpam di rumah Ziyo, berdiri di samping seorang wanita muda berpenampilan sederhana. Ia mengenakan kacamata tebal, kawat gigi mencolok, dan sebuah tompel besar di pipinya. Pakaian yang dikenakannya tampak bersahaja, jauh dari kesan seorang profesional.
“Selamat sore, Nyonya,” sapa wanita itu dengan suara sopan, sedikit gemetar.
Diva mengerutkan kening, menatapnya penuh selidik. “Kamu siapa?”
“Saya Hania, Nyonya,” jawabnya cepat. “Saya mendengar Anda sedang mencari perawat.”
Diva menyipitkan mata, semakin curiga. “Dari mana kamu tahu soal ini?”
"Saya mendengar dari Pak Sarwo bahwa Anda mencari perawat untuk Tuan Ziyo," jawab Hania seraya melirik pria di sampingnya.
Pak Sarwo yang dilirik pun ikut bersuara, seolah spontan. "Dia ini tetangga saya di kampung, Nyonya." Entah kenapa, ia merasa terdorong untuk membantu gadis yang baru dikenalnya ini, hanya karena melihat ketulusannya.
Diva menghela napas panjang sambil memijit pelipisnya. “Saya mencari perawat, bukan pembantu.”
“Saya memang tidak punya sertifikat perawat, tapi saya pernah merawat paman saya yang sakit stroke selama bertahun-tahun. Saya sangat membutuhkan pekerjaan sekarang. Jika Nyonya berkenan, saya siap membantu merawat Tuan,” ujar Hania, suaranya terdengar mantap meski ada sedikit ketegangan.
"Benar, Nyonya. Hania merawat pamannya dengan tulus," Pak Sarwo menambahkan, seolah tanpa sadar dirinya terus mendukung Hania.
Diva kembali menatap wanita di depannya. Penampilannya memang tidak meyakinkan, tapi ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat Diva berpikir ulang. Cara bicaranya yang penuh rasa hormat, serta keberaniannya datang ke sini, cukup menunjukkan kesungguhannya.
“Kamu yakin bisa?” tanyanya akhirnya, masih dengan nada ragu.
“Saya yakin, Nyonya. Saya mungkin tidak memiliki pendidikan formal, tapi saya tahu bagaimana menangani pasien. Saya juga bersedia tinggal di sini dan menjadi perawat siaga satu kali dua puluh empat jam,” jawab Hania, kali ini lebih mantap.
Diva terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk. “Baiklah, aku akan memberimu kesempatan. Tapi ingat, aku tidak suka kecerobohan. Jika kamu melakukan kesalahan, jangan harap bisa bertahan di sini.”
“Terima kasih banyak, Nyonya. Saya akan melakukan yang terbaik,” ucap Hania sambil menundukkan kepala dengan sopan.
Pak Sarwo melirik Hania sekilas sebelum berpamitan dan kembali ke posnya. Dalam hati, ia bertanya-tanya mengapa dirinya begitu saja membantu gadis itu. "Apa aku sudah dihipnotis olehnya?" pikirnya. Namun, saat mengingat tatapan penuh tekad dan ketulusan di mata Hania, ia menghela napas. "Tidak... aku hanya benar-benar melihat kesungguhannya."
Sementara itu, Diva berbalik dan berjalan masuk, mengisyaratkan Hania untuk mengikutinya ke dalam rumah.
“Ziyo, ini Hania. Dia tetangga yang direkomendasikan oleh satpam kita. Katanya dia punya pengalaman merawat orang sakit, jadi aku pikir dia bisa membantu selama kita belum mendapatkan perawat.”
Ziyo mengangkat kepalanya sedikit, meskipun matanya tidak bisa melihat. “Baiklah. Kalau dia bisa membantu, aku tidak keberatan.”
Hania berdiri di belakang Diva, tampak diam dan patuh. Dengan wajah sederhana dan postur yang tenang, tidak ada yang mencurigai apa pun darinya.
Hania menatap Ziyo yang duduk tenang di kursi rodanya. Wajah pria itu tampak pucat, matanya sedikit sayu, tetapi tetap menyiratkan ketenangan. Dalam hati, Hania merasa sedih dan bersalah. Semua "ini salahku... Andai malam itu aku tidak bertindak impulsif, Ziyo tidak akan berada dalam kondisi seperti ini."
Genggaman tangannya mengerat, menahan gejolak emosi yang memenuhi dadanya. Ia bertekad, "Aku akan merawatnya sebaik mungkin. Aku harus menebus semuanya."
Namun, lamunannya buyar saat suara Diva memecah keheningan.
"Ziyo, kamu terpaksa harus pindah kamar. Tidak mungkin kamu tetap tinggal di kamarmu yang ada di lantai dua dengan kondisimu saat ini," kata Diva lembut. "Aku sudah mengatur kamar baru untukmu dan memindahkan barang-barangmu ke sana."
Ziyo mengangguk pelan. "Aku mengerti," sahutnya dengan tenang.
Diva lalu menoleh ke arah Hania. "Aku akan menunjukkan kamar Ziyo. Ayo, ikut aku." Ia bicara dengan suara lembut tapi tegas.
Tanpa menunggu jawaban, ia mulai mendorong kursi roda Ziyo menuju kamar yang telah disiapkannya.
Hania mengangkat wajahnya, buru-buru mengangguk, lalu mengikuti langkah Diva. Sesekali matanya melirik ke arah Ziyo, hatinya dipenuhi tekad. "Aku akan menjaga dan merawatmu, Ziyo. Aku janji."
Saat tiba di depan sebuah kamar di lantai dasar, Diva membuka pintu dan mendorong kursi roda Ziyo masuk ke dalam.
"Inilah kamarmu sekarang," katanya dengan senyum lembut. Kamar itu cukup luas, dengan tempat tidur besar yang telah disesuaikan untuk kemudahan Ziyo, meja kecil di sampingnya, serta sebuah sofa di sudut ruangan.
Hania mengikuti mereka masuk, memerhatikan setiap sudut ruangan dengan saksama.
Diva berbalik menatap Hania dengan ekspresi penuh perhatian. "Hania, aku sangat berharap kamu bisa merawat Ziyo dengan baik. Aku ingin dia merasa nyaman selama masa pemulihannya."
Hania mengangguk cepat. "Saya akan melakukan yang terbaik, Nyonya."
"Aku tahu kamu belum berpengalaman secara profesional, tapi aku percaya niat baik dan kesabaran lebih penting dalam merawat orang sakit," lanjut Diva dengan nada lembut. "Setiap pagi dan sore, bantu dia mandi dan berganti pakaian. Pastikan dia makan tepat waktu dan minum obat sesuai jadwal. Jangan lupa, dia juga perlu peregangan agar tidak terlalu lama duduk di kursi roda."
"Baik, Nyonya," sahut Hania patuh.
Diva tersenyum tipis. "Bagus. Aku ingin dia merasa diperhatikan, tapi jangan terlalu banyak bicara jika dia tidak ingin diganggu, ya? Aku tidak ingin dia merasa lelah karena terlalu banyak interaksi."
"Saya mengerti, Nyonya." Sekilas, Hania melirik Ziyo yang tetap diam. Ada sesuatu di dalam sorot matanya yang sulit ditebak.
"Kalau begitu, aku serahkan Ziyo padamu," ujar Diva dengan nada penuh kepercayaan. "Jangan ragu meminta bantuanku jika ada yang kamu butuhkan."
"Baik, Nyonya." Hania mengangguk sopan.
Setelah itu, Diva keluar, meninggalkan Hania dan Ziyo di dalam kamar.
Hania menarik napas dalam, lalu menatap Ziyo yang tetap diam di kursi rodanya. Dengan suara pelan, ia berkata, "Saya akan merawat Anda sebaik mungkin, Tuan."
Ziyo tidak menoleh, tetapi ekspresinya sedikit berubah, seolah mempertimbangkan kata-kata Hania. Tatapannya kosong, mengarah ke luar jendela, tetapi ada ketenangan yang sulit diterjemahkan di wajahnya.
Hania menggigit bibirnya, merasa semakin bertekad untuk menebus kesalahannya.
Hania mengamati Ziyo sejenak, memastikan apakah pria itu ingin mengatakan sesuatu. Namun, Ziyo tetap diam, wajahnya tetap mengarah ke jendela meskipun ia tak bisa melihat apa pun di luar sana.
Dengan hati-hati, Hania berjongkok di samping kursi rodanya. "Tuan, apakah Anda ingin minum atau butuh sesuatu?" tanyanya lembut.
Ziyo menggeleng pelan. "Tidak."
Hania menggigit bibirnya, merasa sedikit canggung dengan keheningan di antara mereka. Ia ingin berbicara lebih banyak, ingin menyampaikan permintaan maafnya, tapi ia tahu ini bukan saat yang tepat.
Mengalihkan perhatian, ia mulai merapikan selimut di pangkuan Ziyo, memastikan pria itu tetap nyaman. Setelah itu, ia melirik ke sekitar kamar, mencari hal lain yang bisa ia lakukan. "Kalau begitu, saya akan membereskan barang-barang Tuan yang belum tertata," katanya, mencoba terdengar natural.
Tanpa menunggu jawaban, Hania bangkit dan mulai mengatur barang-barang Ziyo di kamar baru itu yang menurutnya belum rapi dan tempatnya belum tepat.
Selagi ia sibuk merapikan barang-barang, suara Ziyo tiba-tiba terdengar. "Apa kamu benar-benar bisa merawat orang sakit?"
Hania terdiam sesaat sebelum menoleh. "Saya akan berusaha sebaik mungkin, Tuan," jawabnya penuh kesungguhan.
Ziyo tidak langsung membalas, hanya mengangguk kecil sebelum kembali terdiam.
Hania menghela napas, menyadari bahwa kepercayaan pria itu tidak akan datang dengan mudah. Tapi ia tidak akan menyerah. Ia akan membuktikan bahwa ia bisa menebus kesalahannya, sedikit demi sedikit.
Saat Hania menutup laci setelah merapikan barang-barang Ziyo, suara pria itu kembali terdengar, pelan namun tajam.
"Aku tidak suka pembohong."
Hania tersentak. Jantungnya berdegup kencang. Apakah Ziyo mencurigainya?
...🍁💦🍁...
.
To be continued
Hania pergi ziyo ada yg hilang walaupun tidak bs melihat wajah hania ziyo bs merasakan ketulusan hania walaupun ada yg disembunyikan hania....
Dalang utama adalah diva ingin mencelakai ziyo dan pura2 baik didepan ziyo bermuka dua diva ingin menguasai perusahaan.....
Dasar ibu diva hanya mementingkan diri dan tidak mementingkan kebahagiaan Zian..
Diva tidak akan tinggal diam pasti akan mencelakai ziyo lagi....