Level Up Milenial mengisahkan Arka, seorang guru muda berusia 25 tahun yang ditugaskan mengajar di SMA Harapan Nusantara, sekolah dengan reputasi terburuk di kota, dijuluki SMA Gila karena kelakuan para muridnya yang konyol dan tak terduga. Dengan hanya satu kelas terakhir yang tersisa, 3A, dan rencana penutupan sekolah dalam waktu setahun, Arka menghadapi tantangan besar.
Namun, di balik kekacauan, Arka menemukan potensi tersembunyi para muridnya. Ia menciptakan program kreatif bernama Level Up Milenial, yang memberi murid kebebasan untuk berkembang sesuai minat mereka. Dari kekonyolan lahir kreativitas, dari kegilaan tumbuh harapan.
Sebuah kisah lucu, hangat, dan inspiratif tentang dunia pendidikan, generasi muda, dan bagaimana seorang guru bisa mengubah masa depan dengan pendekatan yang tak biasa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Rifa'i, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ulangan, Kumis, dan Kekacauan Terkendali
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya datang: hari ulangan semester. Seluruh siswa 3A datang dengan wajah penuh rasa campur aduk. Ada yang siap, ada yang panik, ada juga yang hanya berharap lembar jawabannya bisa diisi dengan iman dan keberuntungan.
Namun, kabar mengejutkan datang pagi itu.
Pak Arkan, guru kesayangan mereka, dikabarkan sakit dan tidak bisa hadir.
“Beliau kena diare berat, jadi hari ini yang mengawasi kalian adalah... Pak Darman,” kata Reza.
Seluruh siswa menelan ludah. Kumis legendaris itu akan mengawasi mereka. Hari yang awalnya penuh harapan mendadak terasa seperti film thriller.
Saat waktu ujian dimulai, Pak Darman masuk kelas dengan langkah mantap. Kumisnya lebih rapi dari biasanya, mengenakan jaket olahraga dan peluit di leher.
“Duduk rapi. Jangan ada suara. Jangan ada gerakan mencurigakan. Kumis saya bisa mencium kecurangan,” katanya dingin.
Ujian dimulai.
Satu menit... dua menit... hening.
Lalu:
Jaka mengangkat tangan.
“Pak, kalau saya menguap dan kebetulan melihat jawaban temen, itu masuk kecurangan atau musibah?”
Pak Darman menyipitkan mata. “Itu masuk kategori ‘hampir dihukum’.”
Lia termenung dan tersenyum sendirian pak Darman menatap dengan kebingungan."nak, kau sakit ?" tanya pak Darman.
Lia menjatuhkan pensil. Saat ia membungkuk mengambilnya, Reza berbisik pelan, “Jangan lupa doa dulu, biar jawabannya ilham.”
Pak Darman meniup peluit. “JANGAN BISIK-BISIK!”
Seluruh kelas kaget.
Andi kaget sampai menjatuhkan kalkulator. Sinta yang duduk di sebelahnya langsung berbisik, “Itu kalkulator atau bom waktu?”
Toni menatap soal dan mengangkat alisnya selama 3 menit sekali, Pak Darman berjalan menghampirinya."apa ada yang aneh di soal itu ?"
Deri sibuk mengerjakan soal ekonomi. Tapi tiba-tiba ia tertawa kecil.
Pak Darman langsung melangkah ke arahnya.
“Ada yang lucu dari soal?”
Deri menjawab, “Soal nomor 5, Pak. Menanyakan strategi bisnis... padahal saya sudah trauma investasi perasaan.”
Pak Darman menghela napas panjang.
“Deri... saya juga pernah rugi di saham... cinta.”
Semua siswa tercekat.
“Serius, Pak?” tanya Toni.
Pak Darman tersenyum kecut. “Makanya saya jadi kepala sekolah.”
Sesi ujian lanjut. Tapi suasana berubah jadi campuran antara horor dan komedi. Setiap kali ada suara sedikit saja, peluit berbunyi. Bahkan saat Reza bersin, peluit ikut menyahut.
“Pak, saya cuma bersin...”
“Bersin terlalu mencurigakan,” jawab Pak Darman.
Akhirnya waktu selesai. Semua menyerahkan lembar jawaban dengan ekspresi seperti habis pulang perang.
Pak Darman berdiri di depan kelas.
“Kalian ini... memang konyol. Tapi setidaknya... jujur.”
“Semoga nilai kalian nggak bikin saya ikut sakit kayak Pak Arkan,” katanya sambil keluar ruangan.Mereka semua tertawa dan lega.
“Ulangan teraneh seumur hidup,” kata Amira.
“Tapi paling berkesan,” jawab Andi.
...----------------...
Setelah ulangan semester yang mendebarkan dan penuh peluit Pak Darman, suasana sekolah sedikit lebih santai. Namun, hati para siswa 3A tetap resah. Bukan karena soal ulangan yang bikin migrain, tapi karena sang guru kesayangan mereka, Pak Arkan, masih belum sembuh.
“Gimana kalau kita jenguk Pak Arkan?” usul Lia saat istirahat di kelas.
“Satu suara untuk jenguk!” sahut Reza sambil mengangkat tangan tinggi.
“Dua!” seru Andi.
“Yang nggak setuju... akan dikeluarkan dari grup WA kelas!” ancam Deri sambil bercanda.
Akhirnya mereka semua sepakat. Mereka merencanakan misi seperti agen rahasia bawa buah, vitamin, dan yang terpenting: hiburan.
Mereka datang ramai-ramai dengan motor dan sepeda, lengkap dengan masker, topi, dan... poster bertuliskan “Cepat Sembuh, Pak Arkan. Kami Butuh Ujian Tambahan!”
Rumah Pak Arkan sederhana, tapi hangat. Saat mereka tiba, ibu Pak Arkan membukakan pintu.
“Astaga... rame banget. Kalian kayak mau demo,” katanya sambil tertawa.
“Kami bawa semangat dan sedikit kebisingan, komandan !” jawab Jaka.
Pak Arkan terkejut melihat mereka. Ia terbaring di sofa, dengan selimut dan obat diare berserakan di sekitar.
“Pak, jangan menangis. Itu efek mencret kan? Bukan karena rindu?” tanya Dina dramatis.
Amira menyerahkan buah. “Kami beli jeruk vitamin C, tapi juga vitamin cinta dari kami semua.”
Pak Arkan tertawa, “Kalian ini... ada-ada saja.”
Andi mengeluarkan papan tulis kecil.
“Karena Bapak sakit, izinkan saya mengajar... Kimia tentang hubungan manusia.”
“Dan saya akan presentasi bisnis: Mengelola Uang Saku Untuk Menjenguk Guru,” tambah Deri sambil mengangkat spidol.
Sinta menyodorkan kalkulator. “Bapak tahu nggak, biaya jajan kita seminggu lebih besar dari biaya transport jenguk ini?”
Pak Arkan tertawa sampai menahan perut.
“Bapak jangan ketawa dulu, masih demam!” kata Lia panik.
“Kalau ketawa bikin sehat, biarkan saya tertawa seharian,” sahut Pak Arkan sambil tersenyum lebar.
Lalu Toni berdiri dan berkata, “Bapak, atas nama rakyat kelas 3A, kami menyampaikan resolusi: semoga Bapak cepat sembuh dan tidak meninggalkan kami sendirian di bawah penjagaan Pak Darman!”
“Setuju!” teriak semua.
Pak Arkan tertawa lagi. “Pak Darman galak ya?”
“Lebih galak dari sistem ekonomi monopoli, Pak,” jawab Deri.
Setelah satu jam penuh tawa, cerita absurd, dan foto-foto bersama, mereka pun pamit.
“Terima kasih, anak-anak. Kalian bukan cuma murid, tapi juga obat,” kata Pak Arkan dengan mata berkaca-kaca.
“Cepat sembuh, Pak. Kami masih butuh bimbingan... dan diskon nilai,” sahut Reza.
Mereka pergi dengan hati hangat dan semangat baru. Tak hanya menjenguk guru, mereka baru saja mempererat ikatan keluarga kecil bernama kelas 3A.
“Pak, bapak harus tahu... ulangan semester tadi pagi adalah sejarah!” katanya serius, sambil duduk bersila di lantai.
Pak Arkan mengangkat alis, “Sejarah kenapa?”
“Sejarah karena Pak Darman mengawasi kami dengan intensitas tinggi... kumisnya kayak detektor kejujuran.”
Semua langsung tertawa.
“Benar, Pak,” sahut Sinta. “Bersin pun bisa dianggap kode morse untuk nyontek.”
“Gorengan di kantin aja nggak seketat itu diawasin,” tambah Jaka.
Pak Arkan tertawa hingga memegangi perutnya.
“Bapak jadi penasaran, gimana ekspresi kalian waktu ujian?”
Reza langsung berdiri dan menirukan berbagai ekspresi:
Ekspresi Andi: Menatap soal seperti sedang mengurai DNA.
Ekspresi Deri: Menulis cepat sambil bisik, “Ini semua tentang ekonomi hati.”
Ekspresi Toni: Menulis sambil mengangkat alis tiap tiga menit, seolah sedang debat dengan soal.
Ekspresi Lia: Sempat melamun dan tersenyum sendiri, membuat pak Darman kebingungan.
Pak Arkan menepuk-nepuk sofa sambil tertawa, “Astaga... kalian ini benar-benar komedi berjalan.”