NovelToon NovelToon
CAMARADERIE (CINTA DAN PERSAHABATAN)

CAMARADERIE (CINTA DAN PERSAHABATAN)

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Diam-Diam Cinta / Cinta Murni
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Leova Kidd

Guliran sang waktu mengubah banyak hal, termasuk sebuah persahabatan. Janji yang pernah disematkan, hanyalah lagu tak bertuan. Mereka yang tadinya sedekat urat dan nadi, berakhir sejauh bumi dan matahari. Kembali seperti dua insan yang asing satu sama lain.

Kesepian tanpa adanya Raga dan kawan-kawannya, membawa Nada mengenal cinta. Hingga suatu hari, Raga kembali. Pertemuan itu terjadi lagi. Pertemuan yang akhirnya betul-betul memisahkan mereka bertahun-tahun lamanya. Pertemuan yang membuat kehidupan Nada kosong, seperti hampanya udara.

Lantas, bagaimana mereka dapat menyatu kembali? Dan hal apa yang membuat Nada dibelenggu penyesalan, meski waktu telah membawa jauh kenangan itu di belakang?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leova Kidd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Demo Terminal Baru

 

Rumahku serasa pasar dadakan. Ramai oleh riuh canda tawa Raga dan teman-temannya. Itu pertama kali aku didatangi oleh rombongan boyband. Tentu saja sedikit syok. Biarpun memiliki banyak kawan lelaki, mereka biasa datang satu persatu. Paling banter dua orang. Bukan keroyokan begitu.

Mana anaknya pada hiperaktif pula. Terlebih Ronald yang tidak pernah mau diam. Dia itu tipikal cowok kece tapi pecicilan, ganteng tapi bobrok. Ada saja ulahnya yang membuat kami tergelak. Tentu saja kami yang dimaksud adalah kecuali Kevin.

Kevin tak peduli akan itu semua. Baginya, tidak ada yang lebih menarik untuk diperhatikan selain tamagotchi. Mungkin binatang peliharaan virtual dalam benda mungil tersebut jauh lebih menyenangkan dibanding sahabat-sahabatnya.

Ah, sudahlah! Orang kalau memang sudah aneh, ya aneh saja. Tidak butuh alasan untuk menjadi demikian. Bisa jadi itu merupakan karakter bawaan orok.

Beberapa hari sebelumnya, Raga tuh sengaja meninggalkan gitar di rumahku. Jadi, hari itu dia memainkan sebuah lagu andalan. Apa lagi kalau bukan DUA SEJOLI milik Dewa, yang liriknya maksa banget dia gubah sendiri.

Aku tidak bisa menahan tawa setiap kali mendengar lagu tersebut. Baru kena intro pun, sudah langsung senyum-senyum baper. Raga pandai menerbangkan perasaan wanita, hingga melayang setinggi angkasa. Bisa-bisanya kepikiran untuk menyelipkan kata 'cewek Srindit' di antara lirik asli.

Hawa tercipta di dunia

Untuk menemani sang Adam

Begitu juga dirimu (cewek srindit)

Tercipta tuk temani aku

Tiba-tiba, Kevin ketawa ngikik saat mendengar syair lagu hasil maksa tersebut. Cowok berperawakan junkies itu mengangkat wajah, menatapku dengan ekspresi jijik.

“Kamu... mempan dirayu pake lagu kayak gitu?” tanyanya lirih seraya memasukkan mainan tamagotchi ke dalam kantong celana. Itu suara pertama yang Kevin keluarkan setelah tiga jam lebih duduk di ruang tamu rumahku.

Mendengar pertanyaan dan ekspresinya yang sengaja mengolok Raga, aku tersenyum semanis mungkin. Meski sadar, semanis-manisnya senyum yang aku suguhkan, mustahil bisa menarik perhatian cowok dingin tersebut.

Tiba-tiba Kevin kembali berucap, “kalau aku jadi kamu, udah muntah sejak tadi.”

“Diem, onyet! Sirik aje,” sahut Raga sembari melempar kulit kacang ke arah Kevin.

Kevin tertawa lebar, dan aku terpana seakan melihat keajaiban dunia. Bening banget tuh bocah, sumpah! Saking beningnya, aku rasa nyamuk pun takut mengisap darahnya.

Pelan, kualihkan tatapan pada sepasang kaki dan tanganku yang buluk, berbulu pula. Kebetulan aku diciptakan dengan fisik spesial. Kata orang-orang sih begitu. Perempuan berbulu lebat itu istimewa.

🤣

🍁🍁

 

Suatu hari....

Aku terduduk panik di sebuah bangku beton di luar Terminal Seloaji, Ponorogo. Waktu itu, Terminal tersebut baru akan difungsikan, dan masih dalam tahap uji coba. Terminal sebelumnya terletak di daerah Tonatan, masuk wilayah kota. Sementara terminal baru, lokasinya agak tersisih di pinggir utara kota Ponorogo, tepatnya di Desa Cekok, Kecamatan Babadan.

Mungkin persoalan lokasi yang waktu itu memicu ketidaknyamanan para awak bus sehingga menggelar aksi demonstrasi besar-besaran. Seluruh bus dari dan menuju terminal Ponorogo mengadakan aksi mogok, termasuk bus jurusan Madiun, Surabaya, dan Malang.

Tentu saja aku luar biasa panik, sebab terancam tidak dapat pulang. Bersama beberapa teman yang rumahnya Babadan, Mlilir, dan Dolopo, kami menunggu dengan penuh tanda tanya di luar terminal, berharap ada satu atau dua bus yang bersedia mengantar pulang.

“Tenang aja, Nad,” ucap mbak Lista, salah satu teman akrabku yang rumahnya Babadan. Dia berusaha menghibur aku yang tidak dapat menyimpan rasa panik, bahkan hampir menangis. “Kalo nggak ada bus, nginep di rumahku aja nanti.”

Aku diam. Pun saat teman-teman lain mengaminkan usulan Mbak Lista, aku hanya bisa diam. Bukan perkara menginap di mana jika tidak bisa pulang, yang aku cemaskan adalah orang tuaku. Mereka pasti kepikiran dengan anak gadisnya yang cute ini.

Tengah aku terduduk lunglai, ada bus CENDANA trayek Madiun-Ponorogo PP merayap keluar dari area dalam terminal. Kurang lebih 20 anak langsung berdiri dan bersiap menyambutnya. Semua dilanda panik. Waktu sudah menunjuk angka 3 lewat, yang mana biasanya jam segitu aku sudah sampai Dolopo.

Bus bercorak pink-putih berhenti di depan kami. Ternyata kenek-nya adalah Bowo, salah satu kenek yang aku kenal. Aku merangsek maju paling depan di antara teman-temanku, untuk menanyai awak bus tersebut. Namun, belum sempat aku membuka mulut, Bowo sudah berucap kalimat yang meluluh lantakkan harapan.

“Kamu masih di sini? Kita nggak ada yang operasi hari ini. Semua mogok,” ujar lelaki berusia 24 tahun tersebut seraya menatapku prihatin.

Entah bagaimana rupa wajahku kala itu? Sepertinya mulai menangis.

“Terus ini mau ke mana?” Salah satu temanku bertanya. Aku sendiri sudah tidak ingin tahu. Sepertinya malam itu memang takdirku untuk tidur di rumah Mbak Lista.

“Kita antar kalian sampai Mlilir! Ayo naik, naik!” perintah Bowo kepada gerombolan siswa-siswi berseragam putih abu-abu tersebut seraya merengkuh bahuku, menyuruh naik juga. “Kamu minta dijemput di Mlilir saja.”

“Nggak ada yang bisa jemput,” tukasku lirih. Mana mungkin aku minta Bapak menjemputku ke Mlilir dengan becak pancalnya, sedangkan jarak dari rumahku menuju Mlilir itu kurang lebih 20 kilometer.

“Ya, gimana? Kita nggak operasi.”

“Bus-nya pulang ke Madiun, ‘kan?” Aku berkilah sebab yang kutahu pangkalan Bus Cendana itu berlokasi di Te’an, Madiun.

“Tapi nggak bisa bawa penumpang.”

“Aku doang, masa nggak boleh?”

“Ya elah, Nad,” keluh Bowo lirih. “Aku sih nggak apa-apa. Tapi sopirku mana berani? Nanti kalau ketahuan yang lain, kami bisa dimarahin.”

Pupus sudah harapanku.

“Anak laki-laki yang biasa nungguin kamu di depan gang itu, emang nggak bisa jemput?” Bowo lanjut bertanya ketika bus mulai merayap meninggalkan terminal. Dia duduk di sebelahku, pada deretan bangku paling belakang. “Itu pacar kamu, bukan?”

 “Yang mana?”

“Yang motornya Ninja biru.”

Aku terkekeh geli membayangkan betapa perhatiannya Bowo padaku, sampai-sampai dia tahu perihal Raga sedetail itu.

“Kata siapa itu pacarku?”

“Kalau bukan pacar, ngapain tiap sore nungguin kamu?”

“Tahu dari mana dia menungguku? Bisa aja kan memang nongkrong di situ?” debatku tak mau kalah. Ini hanya segelintir gambaran dari keakraban kami.

“Nggak mungkin cakep begitu kerjaannya nongkrong di depan gang.”

Lagi-lagi tawaku meledak.

“Aku sering perhatikan kalian.”

“Dih, kurang kerjaan!” olokku sembari mengulum senyum.

“Perhatian dan kurang kerjaan itu beda!”

“Memperhatikan kami itu bagian dari kurang kerjaan! Kepo sama hidup orang!”

“Nggak usah nyelimur!” Bowo tidak mau kalah. Melihat aku ngotot membantah, dia keluarkan semua argumen dan analisanya. “Bener kan dia pacarmu? Kalau bukan, minimal tuh cowok naksir. Buat apa buang-buang waktu, menunggu setiap sore? Dari penampilannya juga terlihat dia anak rumahan, bukan anak tongkrongan.”

Pertanyaan tersebut tak dapat kujawab, sebab aku sendiri tidak tahu harus menjawab apa. Gara-gara hal itu juga, aku jadi overthinking. Sepertinya benar yang Bowo katakan. Buat apa setiap sore Raga menunggu aku pulang sekolah? Tidak mungkin tanpa tujuan.

 

🍁🍁

 

Keluarga Mbak Lista yang ramah menyambut baik kedatanganku. Aku diperlakukan tak ubahnya anak sendiri. Mbak Lista merupakan bungsu dari dua bersaudara. Dia memiliki seorang kakak lelaki yang usianya selisih satu tahun, dan sama ramahnya seperti kedua orang tua mereka.

“Ya Allah, kasihannya. Terus nanti kalau Ibunya nyari gimana, Lis?” Ibunya Mbak Lista memandangiku dengan tatapan iba.

“Nanti sore aku antar,” sahut Mas Bagus, kakak lelaki Mbak Lista.

“Jauh, Gus. Kamu berani?” Sang Ibu berpaling ke anak lelakinya. Tak lama kemudian, berbalik menatapku kembali. “Madiun kota kan, Nduk?”

“Iya, Bu,” jawabku.

“Sebelah mana Madiunnya?”

“Sleko.”

“Nah! Sleko, Gus. Jauh itu. Sudah, biar nginep sini aja. Besok berangkat bareng Lista.”

“Ada telepon yang bisa dihubungi?” Mas Bagus kembali menanyaiku.

“Ada.”

“Ya sudah, nanti aku antar ke wartel, telepon keluarga kamu biar nggak khawatir.”

“Iya, kasih kabar ke Ibumu. Bilang saja, menginap di rumah Mbak Lista Ngrupit, gitu.” Ibunya menimpali.

Sorenya, aku pergi ke Mlilir bersama Mbak Lista dengan diantar oleh Mas Bagus. Kami naik motor bonceng bertiga, demi ke wartel.

Dulu jarang orang punya HP. Maka usaha wartel atau telepon umum masih banyak bertebaran di mana-mana.

Namun, aku gagal menghubungi Ibu. Ternyata telepon di rumah bosnya rusak. Aku tidak tahu akan hal tersebut. Sedangkan aku tidak menyimpan nomor lain yang bisa dihubungi selain tempat kerja Ibu.

Keesokan paginya, pukul 6 Ibu dan Bapak sudah stand by di depan pagar sekolah, dengan kondisi Ibu berurai air mata dan sepasang matanya bengkak segede jengkol. Aku dipanggil menghadap guru TU—untung bukan guru BP—sebab Ibuku melaporkan anaknya kemarin tidak pulang dan tak ada kabar.

Begitu melihat aku dalam keadaan baik-baik saja, Ibu langsung menubrukku dan memeluk erat seolah puluhan tahun tidak berjumpa. Di situ aku ditanyai oleh guru, apa alasan tidak pulang? Kenapa tidak memberi kabar? Dan bla-bla-bla—masih banyak pertanyaan lain. Setelah mendengar penjelasan tentang kejadian sebenarnya, semua mafhum.

Saat itu aku menyesal, kenapa tidak pernah terpikir untuk meminta nomor telepon rumah Raga atau nomor handphone-nya. Andai punya nomor dia, hari itu aku bisa meminta tolong untuk menyampaikan kabar ke Bapak. Dan orang tuaku tidak perlu panik semalaman, sampai harus datang ke Sekolah pada pagi-pagi buta.

Hal itu juga disesalkan oleh Raga.

“Coba bilang! Kan bisa aku jemput,” ucap dia ketika besoknya aku bercerita mengenai peristiwa tersebut. “Kemarin aku nunggu di depan sampai jam 5. Aku pikir kamu pulang kampung. Rumahmu juga sepi, pagarnya tutup.”

Seulas senyum merekah di bibirku. “Jadikan pengalaman aja,” kilahku sok bijak.

“Mulai sekarang simpan nomorku dalam dompet. Kalau ada apa-apa, hubungi aku.” Raga menulis sederet angka pada secarik kertas, lalu mengulurkannya kepadaku.

“Makasih.”

“Jadi, kemarin gimana? Nginep di rumah temanmu?”

“Nggak ada pilihan lain. Semua kendaraan umum menuju Madiun diblok.”

“Syukurlah ada teman yang baik.”

“Ibu dan Bapak datang ke sekolah, tadi pagi. Ibu mewek, matanya kayak abis disengat tawon.” Aku tak dapat menahan tawa.

“Husss!” hardik Raga sembari mengulum senyum. “Itu karena khawatir, karena sayang sama kamu.”

 

🍁🍁

 

 

 

1
leovakidd
👍
Mugini Minol
suka aja ceritanya
leovakidd: masya Allah, makasih kakak 😍
total 1 replies
Kiran Kiran
Susah move on
leovakidd: pasukan gamon kita
total 1 replies
Thảo nguyên đỏ
Mendebarkan! 😮
leovakidd: Thanks
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!