⚠️LIKE setelah baca ya
😇Please VOTE & BINTANG 5 YA!
Ken adalah pewaris grup konglomerat yang dikenal sebagai pembuat onar. Hidupnya berubah 180 derajat sejak difitnah sebagai pembunuh di sebuah club X, 10 tahun silam. Ayahnya kemudian mengusirnya dan berharap, Ken dapat introspeksi diri.
Merasa terpojok atas fitnah yang tidak adil, Ken mulai menjalani misi rahasia. Gonta-ganti identitas hingga menjalankan bisnis gelap pun dilakukannya, untuk mengusut dalang dibalik pencemaran nama baiknya.
Ketika dalam perjalanan untuk mengungkapkan kebenaran, tiba-tiba saja, ia bertemu CELINE yang merupakan cinta pertamanya dan mendadak, mereka menikah!
Akankah misi balas dendam Ken berubah menjadi kisah cinta?
Baca terus di "PREMAN CEO"
Ending akan merujuk pada S2 🙏
***
KOMEN JIKA SUKA YA.
Author ingin dengar pendapatmu!
Like, share, vote ya kak...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon De Lilah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Persyaratan Papa
Dinginnya AC menyembur ke dalam ruangan kosong yang bertuliskan "KANTOR CEO". Ruangan luas dengan ruang tamu pribadi, mini bar dan juga kamar mandi itu nampak mewah dan elegan, berbeda dengan kantor kebanyakan yang hanya ada meja dan kursi saja.
Terdapat plakat akrilik bertuliskan "CEO Hilda Franscesca Tang, Ph.D" di atas meja kayu jati yang nampak antik namun memiliki desain modern.
Tak
Tok
Tak
Tok
Suara sepatu berhak tinggi nampak mendekat, tak lama, pintu ruang direktur terbuka. Seorang gadis bertinggi 170cm dengan setelan jas pink dan rambut tergerai indah memasuki ruangan. Ia tampak sibuk dengan tabletnya tanpa memedulikan suasana sekitar.
Seorang pria dengan tinggi yang tak kalah menjulang, berpostur atletis dan mengenakan setelan jas biru tua mengekor dari belakang. Pria itu membawa dua gelas kopi hitam dengan roti lapis di tangan kanan dan kirinya.
"Rom, tolong buat appointment jam 10 sama Walikota ya, mau bahas program beasiswa anak-anak SMA" Sejurus kemudian, Hilda menatap sekretarisnya. Pria tegap itu mengangguk. Hilda lalu duduk dan mulai menyalakan laptop. Kopi dan roti lapis diletakkan di sisi kanan komputer portable itu, Romy segera beranjak untuk melaksanakan tugasnya.
Ruang sekretaris direktur yang ada di bagian depan, memiliki dua set meja kantor, namun, keberadaan sekretaris lainnya belum terlihat. Ketika jam dinding menunjukkan pukul 07:55 WIB, seorang gadis tampak berlari dengan sepatu hak tingginya supaya dapat segera sampai di meja kerjanya. Romy melotot, gadis itu kemudian memelankan langkahnya. Ia tak sadar telah membuat suasana gaduh akibat tekanan dari hak tinggi sepatunya yang melaju kencang.
"Sorry... " Ujar gadis yang bernama Pretty itu setengah malu. Romy geleng-geleng dan menyuruhnya untuk mengurangi party di hari kerja. Seluruh karyawan The Royal Tree Foundation memang memiliki hubungan yang erat seperti keluarga karena bos mereka yang bersifat hangat.
Hal yang sangat berbeda jika harus bekerja di bawah kepemimpinan Presdir Devon Tang. Suasana dingin dan selalu resmi harus nampak, karena Presdir tak suka dengan keributan. Bangunan Tower Grup Tang juga mengusung tema modern minimalist. Segalanya harus tampak bersih, rapi dan tanpa cela. Kepribadian pemimpin memang nampak pada atmosfer ruang kerja mereka. Nuansa kantor dan sikap karyawan juga dipengaruhi oleh kebijakan perusahaan. Oleh karena itulah, kantor Royal Tree tampak rileks, namun tetap profesional.
Sebelum beranjak rapat dengan walikota, Hilda menyempatkan untuk menghubungi adiknya. Sudah satu minggu sejak Ken diusir dari rumah, Hilda merasa rindu. Beberapa waktu ini mereka hanya bertukar pesan, karena kesibukan Hilda di musim kelulusan sekolah ini. Ia harus banyak rapat dengan para petinggi untuk mengatur program tahunan yang harus segera dilaksanakan. Program beasiswa ini memerlukan dana yang tak sedikit. Jadi, perencanaan matang akan mempermudah menentukan pagu anggaran ketika rapat dewan dilaksanakan.
"Halo, Dek? Malam ini kamu sibuk nggak? Makan malam sama kakak yuk," Ajak Hilda dengan hati gembira.
"Iya boleh kak, dimana?" Jawab Ken dari seberang telepon.
"Resto Pasta France ya? Dijemput apa datang sendiri?"
"Datang sendiri aja kak, aku juga ada urusan kok, "
"Okay, See you jam 7 ya, Bye!"
"Rom, ayo berangkat," setelah menghabiskan roti lapis dan kopi yang tersaji di meja kerjanya, Hilda bergegas menuju kantor walikota. Kebetulan agenda wali kota sedang senggang pagi ini, Hilda lantas melaju menemuinya meski hanya sebentar. Agenda Walikota terkadang tak menentu, Hilda harus mengalah, karena ia ingin segala sesuatu efektif dan efisien tanpa harus berbelit-belit.
Sekretaris Hilda dengan sigap berlari ke arah parkiran mobil, mereka pun melaju menuju kantor walikota di Bilangan Jakarta Selatan.
*
Setelah mengalami hari yang melelahkan, Hilda tampak memerintahkan Romy untuk pulang duluan. Rapat hari ini berakhir baik. Pagu anggaran untuk beasiswa juga sudah ada di gambaran Hilda. Besok, hanya perlu mengadakan rapat dengan para dewan untuk menyetujuinya.
"Biar gue sendiri aja," Putus Hilda lantas melambaikan tangan ke arah Romy. Kali ini, ia akan menyetir sendiri untuk sampai ke Resto France, tempat janjian dengan adiknya, Ken. Perut Hilda sudah keroncongan. Aktivitas tadi mengharuskan ia untuk melewatkan jam makan siang. Meski Romy sudah mengingatkan, Hilda tetap keras kepala supaya menuntaskan pekerjaan terlebih dahulu. Jadilah ia menyetir dengan agak ngebut supaya sampai ke restoran dengan cepat.
*
"Kakak!" Ken mengayunkan tangannya ketika melihat Hilda. Rupanya, upaya ngebutnya sia-sia. Ken sampai lebih cepat.
"Kok udah dateng kamu, Dek? Maaf ya kakak telat," Hilda merapikan setelannya yang kusut kemudian duduk di kursi yang sudah ditarikkan oleh Ken.
"Nggak kok, aku tadi ada acara di sekitar sini. Makanya lebih cepet nyampek," Ken mengipasi kakaknya yang tampak berkeringat.
"Udah pesen?"
"Aku udah, kakak gih pesen apa?"
"Okay,"
Hilda mengamati menu di restoran itu dengan seksama. Pada akhirnya, pesanannya sama seperti biasanya.
"Pasta Aglio e olio aja deh, ma caesar salad, dan strawberry cheesecake ya mbak," ujar Hilda mantap setengah mengiler karena sudah membayangkan hidangan pasta hangat untuk menyumpal lambungnya yang kelaparan.
Ken terkekeh melihat tingkah laku kakaknya. Hilda menahan malu dan mengatakan bahwa tadi tak sempat makan siang. Kali ini ganti Ken yang mengomel karena kakaknya kurang memperhatikan kesehatan. Pekerjaan bisa ditunda, tapi kalau kesehatan harus tetap utama. Kakaknya mengiyakan sambil mencubit pipi adiknya itu seolah baru diceramahi anak TK. Ken mendengus kesal dan mendeklarasikan diri bahwa ia sudah dewasa. Hilda hanya menganggukkan kepalanya tanpa pertimbangan supaya adiknya senang. Tak lama, mimik wajahnya berubah serius.
"Dek, kakak kemarin habis ngomong sama Papa. Katanya, dia punya syarat biar kamu bisa balik," Hilda memulai percakapan. Ken tampak tak tertarik. Hilda menghela nafas panjang.
"Tolong ya, Dek. Biar mama di surga ngga khawatir sama keluarga kita," lanjutnya. Ken menghentikan aktivitas makannya. Kemudian baru memutuskan.
"Emang apa syaratnya, Kak?" tanya Ken.
"Kamu harus buktiin, kalau kamu bisa bekerja dengan baik, bahkan tanpa nama Tang. Sekarang siapa namamu? Kenny? Ya Ampun astaga.... "
Ken tersenyum. Ia menyanggupi.
"Tapi harus kerja formal ya, Dek. Nggak boleh jadi broker judi, makelar tanah, pokoknya yang bisa dilihat resumé-nya. Kamu ada gambaran?" tanya Hilda tak yakin dengan adiknya yang bahkan tak punya ijazah karena selalu berhenti sekolah di tengah jalan.
"Yakin. Iya deh. Demi kakak aja nih ya, aku udah ngga ngurusin Papah sih. Kalo udah dibuang ya gabisa didaur-ulang. Kan aku buka plastik," seloroh Ken melanjutkan makannya. Hilda mengangguk sambil tersenyum. Ia bangga dengan adiknya.
"Makasih ya, Dek. Kamu terus sekarang tinggal dimana? Perlu kakak cariin apartemen?"
"Nggak perlu, Kak. Nanti kakak juga dibenci Papa. Aman kok. Aku numpang di apartemen Chiko,"
Hilda tampak lega. Kali ini, ia bisa makan dengan tenang. Sudah beberapa hari Hilda tak nafsu makan karena mengkhawatirkan keadaan sang adik.
*
"Baik-baik ya, Dek.... Salamin ke Chiko,"
Setelah selesai makan malam, Hilda mengantar Ken pulang ke Apartemen Meridien. Ken meminta diturunkan di gang depan sebelum masuk ke bangunan saja, supaya Hilda bisa segera beristirahat. Kelokan di jalanan Apartemen Meridien cukup tajam, Ken khawatir kakaknya akan kesulitan dengan medan jalan.
"Iya, Kakakku sayang. Hati-hati ya!" balas Ken sambil melambaikan tangannya.
Mobil Hilda menghilang dari pandangan, Ken melanjutkan berjalan kaki sebentar untuk sampai ke unitnya Chiko. Tak disangka, ia bertemu Celine yang baru pulang berbelanja. Mereka pun mengobrol sambil berjalan bersama.