Samantha tidak mampu mengingat apa yang terjadi, dia hanya ingat malam itu dia minum segelas anggur, dan dia mulai mengantuk...kantuk yang tidak biasa. Dan saat terbangun dia berada dalam satu ranjang dengan pria yang bahkan tidak ia kenal.
Malam yang kelam itu akhirnya menjadi sebuah petaka untuk Samantha, lelaki asing yang ingin memiliki seutuhnya atas diri Samantha, dan Samantha yang tidak ingin menyerah dengan pernikahannya.
Mampukah Samantha dan Leonard menjadi pasangan abadi? Ataukah hati wanita itu bergeser menyukai pria dari kesalahan kelamnya?
PERINGATAN KONTEN(CONTENT WARNING)
Kisah ini memuat luka, cinta yang kelam, dan batas antar cinta dan kepasrahan. Tidak disarankan untuk pembaca dibawah usia 18 tahun kebawah atau yang rentan terhadap konten tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wiedha saldi sutrisno, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22 : Waktu yang Tepat untuk Menarik Benang Terakhir
Clara tidak pernah menyangka rencananya akan menjadi bumerang.
Ia pikir gosip yang ia sisipkan dalam bisikan santai di pantry, tentang kedekatan Samantha dan Nathaniel, tentang promosi yang katanya tak adil, tentang wanita yang memanjakan tubuhnya demi naik jabatan, akan cukup untuk menggoyahkan kedudukan Samantha. Ia bahkan menikmati beberapa minggu pertama, ketika bisik-bisik itu mulai menjadi arus utama percakapan di antara rekan-rekan satu divisi.
Tapi Clara lupa satu hal penting, Samantha bukan wanita yang akan jatuh hanya karena bisikan.
Alih-alih tenggelam dalam tekanan, Samantha menjelma menjadi versi dirinya yang lebih kuat. Lebih hangat. Lebih terbuka. Ia menjawab fitnah dengan hasil kerja. Ia meredam keraguan dengan kepedulian tulus. Ia menghapus batas antara atasan dan bawahan dengan tawa dan ketulusan.
Dan perlahan-lahan, orang-orang yang semula memalingkan wajah kini mulai kembali tersenyum. Junior-junior yang sempat menjauh kini kembali mendekat, meminta masukan, mencari bimbingan. Bahkan beberapa manajer proyek yang sebelumnya menjaga jarak mulai terang-terangan memuji etos kerja dan dedikasi Samantha.
Clara mulai merasa tidak terlihat.
Puncaknya datang pada hari Jumat pagi, saat rapat mingguan digelar. Nathaniel, dengan tenang dan penuh wibawa, memuji laporan editorial Samantha yang dianggap "menjadi standar baru perusahaan dalam efisiensi dan kreativitas konten."
Clara melihatnya dari seberang meja. Tepuk tangan yang terdengar setelah pujian itu terasa seperti gemuruh di dalam kepalanya. Tangannya mengepal di bawah meja, bibirnya menegang. Ia mencoba tersenyum, tapi hanya terlihat seperti raut orang yang menahan rasa pahit.
Saat rapat selesai, Samantha sempat menghampirinya, dengan senyum tenang dan suara lembut.
"Terima kasih, Clara," ucapnya. "Sudah mengingatkanku, bahwa tak semua senyuman di kantor ini benar-benar ramah. Aku jadi belajar bagaimana bersinar tanpa perlu meredupkan orang lain."
Clara tercekat. Itu bukan ejekan. Itu bukan ancaman. Itu lebih menusuk daripada apapun yang pernah ia dengar.
Malam itu, di apartemennya yang sepi, Clara memandangi wajahnya sendiri di cermin. Retak-retak halus mulai muncul di balik riasan yang sempurna. Ketidaksempurnaan yang tak bisa lagi ia sembunyikan.
Ia sadar, permainan ini belum selesai.
Tapi Samantha… Samantha tak lagi bermain untuk bertahan.
Wanita itu sedang bersiap untuk menang.
...****************...
Clara duduk di dalam mobilnya yang terparkir di basement gedung kantor, jari-jarinya menggenggam setangkai rokok yang belum dinyalakan. Pandangannya kosong menatap dinding beton yang dingin, tapi pikirannya penuh bara. Ia telah kalah di banyak lini. Ia tidak lagi mampu menyembunyikan ketidaksukaannya, dan kini, ia pun ditinggalkan oleh sekutu-sekutunya yang dulu menikmati drama kecil di kantor.
Samantha… perempuan itu telah mencuri segalanya, pengakuan, perhatian Nathaniel, dan kini simpati banyak orang.
Clara tidak bisa menerima itu.
Ia membuka ponselnya dan mulai menelusuri folder-folder lama, rekaman kamera kantor yang pernah ia simpan, percakapan singkat yang pernah ia tangkap, dan… satu video samar di mana Samantha memasuki ruangan Nathaniel larut malam, lalu keluar dengan rambut kusut dan langkah goyah. Tak ada suara. Tak ada bukti konkrit. Tapi cukup untuk menebar keraguan.
Namun bukan itu senjatanya.
Clara sudah menghubungi seseorang. Seorang jurnalis dari blog gosip korporat, jenis media yang haus akan cerita panas, yang tak peduli benar atau tidak, selama klik masuk dan spekulasi memanas. Ia menawarkan informasi eksklusif tentang hubungan gelap seorang CEO dengan bawahannya, dan bagaimana perempuan itu menggunakan daya tariknya untuk meraih posisi penting.
"Nama saya tidak perlu disebut," kata Clara dalam pesan singkatnya. "Tapi saya punya cukup bukti dan saksi diam."
Ia tahu risiko dari langkah ini. Tapi egonya sudah terlalu terluka untuk kembali. Jika Samantha memang bermain bersih, biarlah dunia menghakiminya. Tapi kalau Samantha menyimpan rahasia, Clara akan menjadi orang pertama yang membukanya lebar-lebar.
Beberapa hari ke depan akan menjadi medan perang.
Dan untuk pertama kalinya, Clara tak hanya ingin menang, ia ingin melihat Samantha hancur, reputasinya tercoreng, kariernya runtuh… bahkan mungkin, kehilangan Nathaniel dan Leonard sekaligus.
Dalam pikirannya, dunia hanya adil jika Samantha juga merasa seperti yang ia rasakan, sendirian, tidak diinginkan, dan pecundang.
...****************...
Hari itu terasa lebih padat dari biasanya. Samantha baru saja selesai memimpin rapat editorial mingguan ketika notifikasi dari ponselnya berbunyi bertubi-tubi. Awalnya ia tak mengacuhkan, pikirannya masih penuh dengan revisi halaman dan tenggat waktu.
Namun ketika notifikasi itu datang dari grup alumni kampusnya, grup keluarga, bahkan sebuah akun anonim yang belum pernah mengirim pesan sebelumnya, hatinya mencelos.
Judul artikel di blog korporat itu menampar matanya begitu layar ponsel menyala:
“Skandal CEO Muda dan Kepala Editornya: Apakah Kenaikan Jabatan Berbau Nafsu?”
Matanya terus menyisir baris demi baris tulisan, yang dipenuhi insinuasi murahan dan tuduhan yang disusun rapi, seolah ditulis oleh orang dalam. Nama Nathaniel disamarkan, tapi detail yang disisipkan cukup untuk membuat siapa pun menebak arahnya. Dan yang lebih buruk: nama “S” disebut berulang kali.
Samantha menarik napas dalam-dalam, menahan gemuruh di dadanya. Ia tahu betul gaya tulisan ini… penuh dendam yang halus tapi menggigit. Mata tajamnya langsung tertuju pada satu kemungkinan, Clara.
Beberapa rekan kerja yang tadinya hangat kini menyapanya dengan senyum canggung. Ruang pantry terasa lebih sunyi setiap kali ia masuk. Tatapan curiga dan bisik-bisik halus mulai memenuhi lorong kantor.
Namun Samantha bukan wanita yang mudah roboh.
Malam itu, di ruang kerjanya yang mulai kosong, ia duduk di depan layar laptop, membuka kembali folder-folder investigasi pribadinya tentang Nathaniel dan segala kebusukannya. Tapi kali ini, ia membuka satu folder baru, Clara – Probable Threat.
Ia menuliskan satu baris memo:
"Jika mereka bermain kotor, maka aku akan jadi lumpur yang menyeret mereka semua tenggelam."
Samantha tidak akan mundur. Tidak saat ia sudah sejauh ini. Dan terlebih lagi, bukan saat Nathaniel masih percaya bahwa ia adalah sekutunya, bukan musuhnya. Kepercayaan itu akan menjadi senjatanya yang paling tajam.
...****************...
Samantha tidak menyukai permainan kotor. Tapi bukan berarti ia tak tahu cara memainkannya.
Esok paginya, ia datang lebih pagi dari biasanya. Setengah lantai masih kosong, dan hanya cahaya dari jendela kaca besar yang menyinari ruangannya. Dengan ketenangan yang dingin, ia membuka laptop, lalu mulai mengakses laporan dan evaluasi tim editorial selama tiga bulan terakhir.
Ia mencermati satu per satu, tenggat yang terlambat, artikel yang direvisi berulang kali, dan email-email pengingat yang tak digubris. Nama Clara kerap muncul. Ia mengarsipkan semuanya, menyiapkan data, bukti, dan fakta-fakta kecil yang bisa membentuk gambaran besar.
Bukan untuk melaporkan. Bukan untuk mengadu.
Tapi untuk menciptakan keraguan.
Hari itu, dalam rapat kecil divisi konten, Samantha dengan tenang menampilkan grafik performa mingguan. Ia menyoroti hasil kerja beberapa tim, tanpa menyebut nama, namun arah kritiknya jelas mengarah ke satu titik.
Clara merasa disorot. Tapi Samantha hanya tersenyum kecil, seolah semua yang ia sampaikan hanyalah hasil kerja objektif, tak lebih dari itu.
Namun permainan sesungguhnya dimulai saat Samantha diam-diam bertemu dengan HR, atas nama evaluasi staf untuk promosi tahunan. Ia menyarankan beberapa nama dengan potensi bagus, dan secara halus menyebut Clara sebagai seseorang yang mungkin butuh “waktu tambahan” untuk menyempurnakan kapasitas manajerialnya.
Clara tidak langsung terjatuh, tapi tanah tempatnya berpijak mulai retak.
Di sisi lain, Samantha juga meminta Miles untuk menyelidiki jejak digital Clara. "Tidak usah terlalu dalam," ujarnya. "Cukup cari tahu apakah dia punya koneksi di luar kantor yang bisa menulis gosip sepicik itu."
Ia tahu betul, kemenangan tak selalu datang dari serangan frontal. Kadang, cukup dengan mendorong perlahan… dan membiarkan musuhnya jatuh sendiri.
Dan di setiap langkahnya, Samantha tetap menjaga topeng tenang di hadapan Nathaniel, masih lembut, masih mengagumi, masih penurut. Tapi jauh di dalam, ia sedang menyulam akhir dari permainan ini. Ia hanya menunggu waktu yang tepat untuk menarik benang terakhir.