NovelToon NovelToon
CEO DINGIN

CEO DINGIN

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Kaya Raya / Keluarga / Romansa / Dendam Kesumat / Pembantu
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Arlena, gadis muda yang dipaksa menikah oleh keluarganya.
Arlena menolak dan keluarganya langsung mengusir Arlena
Arlena akhirnya memutuskan untuk meninggalkan rumah demi mencari arti kebebasan dan harga dirinya.
Dikhianati dan dibenci oleh orang tuanya serta dua kakak laki-lakinya, Arlena tak punya siapa pun... sampai takdir membawanya ke pelukan Aldric Hartanto — seorang CEO muda, sukses, dan dikenal berhati dingin.

Ketika Aldric menawarkan pekerjaan sebagai pelayan pribadinya, Arlena mengira hidupnya akan semakin sulit. Tapi siapa sangka, di balik sikap dingin dan ketegasannya, Aldric perlahan menunjukkan sisi yang berbeda — sisi yang membuat hati Arlena berdebar, dan juga... takut jatuh cinta.

Namun cinta tak pernah mudah. Rahasia masa lalu, luka yang belum sembuh, dan status yang berbeda menjadi tembok besar yang menghalangi mereka. Mampukah cinta menghangatkan hati yang membeku?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 23

Keesokan paginya, sinar matahari perlahan masuk menembus jendela rumah sakit, menyentuh wajah pucat Arlena yang masih tertidur.

Aldric masih duduk di sisi ranjang, dengan mata sedikit sembab karena begadang semalaman.

Tangannya tetap menggenggam tangan Arlena, seolah tak ingin melepaskannya sedetik pun.

Perawat masuk dengan langkah ringan, hendak mengganti infus.

“Tuan Aldric, Anda belum tidur?” tanyanya pelan.

Aldric hanya mengangguk kecil. “Aku tidak akan pergi sampai dia bangun.”

Beberapa menit berlalu, dan kelopak mata Arlena mulai bergerak.

Jari-jarinya menggenggam balik tangan Aldric dengan lemah.

Aldric langsung menunduk, memperhatikan wajahnya.

“Arlena?” panggilnya lembut.

Dengan pelan, Arlena membuka matanya. Pandangannya masih buram dan penuh rasa takut, tapi begitu ia melihat wajah Aldric, matanya mulai berkaca-kaca.

“T-tuan…” suaranya serak dan hampir tak terdengar.

Aldric segera berdiri, menatapnya penuh haru. “Kamu aman sekarang. Tidak ada yang akan menyakitimu lagi.”

Air mata Arlena jatuh perlahan, dan untuk pertama kalinya sejak tragedi itu, ia menganggukkan kepala—tanda bahwa ia percaya. Bahwa tempat paling aman… adalah di sisi Aldric.

Aldric menatap wajah Arlena yang masih lemah dengan sorot mata penuh penyesalan dan kesedihan.

“Maaf… aku belum bisa menangkap keluargamu,” ucapnya pelan, nyaris seperti bisikan yang tertahan di tenggorokan. Namun, Arlena dengan suara yang lirih namun penuh kepastian menggelengkan kepala, matanya menatap lurus ke mata Aldric.

“Mereka bukan keluargaku, Tuan…” ucapnya dengan nada getir, “mereka hanyalah sekumpulan orang jahat yang selama ini menyiksaku, memperlakukanku seperti sampah...”

Tangannya yang kecil dan dingin menggenggam tangan Aldric erat-erat, seolah mencari kehangatan dan perlindungan dari dunia yang selama ini begitu kejam padanya.

Dengan suara bergetar dan air mata yang mulai membasahi pipinya, Arlena melanjutkan, “Ibu… perempuan itu… dia bukan ibuku… dia menculik ku saat aku masih bayi, di rumah sakit…”

Suaranya pecah di akhir kalimat, dan Aldric bisa merasakan betapa dalam luka yang ditinggalkan kebenaran pahit itu dalam hati Arlena.

Matanya menatap langit-langit ruangan seakan mencoba mencari potongan kenangan yang tak pernah ia miliki.

“Di mana orang tuaku yang sebenarnya, Tuan?” bisiknya penuh harap dan rasa kehilangan yang tak terbendung.

“Aku ingin bertemu mereka… aku ingin tahu seperti apa pelukan mereka… aku ingin tahu seperti apa suara tawa mereka… Aku ingin berenang bersama mereka di sungai kecil atau laut, atau apapun… seperti di cerita-cerita bahagia yang sering aku dengar dulu…”

Tangisnya pecah, namun dalam genggaman tangannya pada Aldric, ada harapan baru yang perlahan tumbuh bahwa suatu hari, meski terlambat, ia bisa menemukan keluarganya yang sejati… dan mungkin untuk pertama kalinya dalam hidup, merasakan arti rumah yang sebenarnya.

Aldric terdiam beberapa saat, hatinya terasa sesak mendengar pengakuan Arlena.

Tak pernah sedikit pun terlintas di benaknya bahwa gadis yang selama ini kuat menahan luka, ternyata menyimpan kisah kelam sejak bayi diculik dan tumbuh dalam lingkungan yang tak pernah mencintainya.

Tatapan Aldric melembut. Ia mengelus punggung tangan Arlena yang masih menggenggam erat tangannya, seolah ingin memberikan kekuatan.

“Aku tidak menyangka…” ucap Aldric pelan, suaranya terdengar serak.

“Kau… diculik sejak bayi…”

Ia menarik napas panjang, lalu menatap gadis itu dengan penuh tekad.

“Arlena, mulai hari ini kau tidak sendirian lagi. Aku akan membantumu… aku janji. Kita akan mencari mereka. Kita akan temukan keluargamu yang sebenarnya, siapa pun mereka, di mana pun mereka berada.”

Arlena menatap Aldric dengan mata berkaca-kaca, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, ia merasa tidak takut.

Ada seseorang yang percaya padanya. Ada seseorang yang akan berjuang bersamanya.

Setelah Arlena mulai tenang dan kondisinya sedikit membaik, Aldric berjalan keluar ruangan dengan ekspresi serius.

Ia memanggil Dena asisten kepercayaannya dan memberinya perintah langsung.

“Dena, aku butuh bantuanmu. Cari tahu siapa sebenarnya orang tua kandung Arlena. Dia pernah diculik saat bayi dari rumah sakit. Gunakan seluruh akses yang kita punya,” ucap Aldric tegas.

Dena yang dikenal cerdas dan cekatan, langsung menyalakan laptopnya dan mulai menelusuri jejak digital, arsip rumah sakit lama, dan catatan-catatan kependudukan yang pernah diretasnya untuk keperluan bisnis investigasi.

Tangannya menari di atas keyboard dengan cepat, sementara layar laptop menampilkan deretan data dan foto-foto lama.

Beberapa menit berlalu, Dena tiba-tiba membelalakkan mata. Ia menatap layar lekat-lekat dan bergumam, “Tidak mungkin…”

Aldric mendekat. “Apa yang kamu temukan?”

Dena menoleh perlahan, wajahnya penuh keterkejutan.

“Arlena… dia adalah putri kandung dari Tuan Maxim,” ucapnya pelan namun jelas.

“Tuan Maxim? Maksudmu… Maxim Hendricko? Penguasa bisnis Asia Tenggara?” Aldric tertegun.

Dena mengangguk. “Data DNA rumah sakit cocok. Ada laporan bayi hilang 20 tahun lalu dari RS Internasional Mentari, dan bayi itu adalah putri satu-satunya Maxim dan Nyonya Alena. Nama Arlena diambil dari gabungan nama kedua orang tuanya…”

Aldric terdiam. Kepalanya dipenuhi berbagai pertanyaan.

Namun satu hal yang pasti hidup Arlena akan berubah sepenuhnya. Dan ia harus melindunginya lebih dari sebelumnya.

Aldric mengangguk tegas, matanya tajam menatap Dena.

"Cepat hubungi Tuan Maxim Hendricko. Gunakan jalur pribadi dan pastikan dia datang ke sini secepatnya. Mereka harus tahu bahwa putri mereka… masih hidup."

Dena segera membuka saluran komunikasi khusus—jalur eksklusif yang hanya digunakan untuk urusan darurat tingkat tinggi.

Ia mengetik kode verifikasi dan tak lama kemudian wajah seorang pria paruh baya, tegas dan berwibawa, muncul di layar.

"Ini Dena, asisten Aldric. Kami memiliki informasi penting tentang anak Anda yang hilang dua puluh tahun lalu."

Tuan Maxim terdiam sejenak. Matanya menyipit tajam. “Jelaskan.”

“Putri Anda… Arlena. Dia masih hidup, Tuan. Dan saat ini berada di bawah perlindungan Tuan Aldric. Kami punya bukti DNA dan catatan medis yang cocok dengan laporan hilangnya bayi Anda dari RS Mentari tahun 2005.”

Terdengar suara tercekat dari balik layar, dan tak lama kemudian muncul seorang wanita wajahnya sangat mirip dengan Alena. Nyonya Alena menutupi mulutnya, air matanya jatuh.

"Putri kami... masih hidup?" gumamnya pelan.

Aldric mengambil alih pembicaraan. “Kami butuh Anda berdua datang ke Jakarta, secepat mungkin. Arlena dalam kondisi trauma, tapi dia aman. Ini waktunya untuk memulihkan kembali apa yang telah dirampas dari kalian.”

Tuan Maxim menjawab dengan suara mantap namun gemetar oleh emosi, “Kami akan berangkat malam ini juga. Pastikan dia tetap aman, Aldric. Kami tidak akan kehilangan dia… lagi.”

Aldric melangkah pelan masuk ke ruang pemulihan, membawa serta secangkir teh hangat di tangannya.

Sorot matanya melembut saat melihat Arlena masih terbaring lemah, meski wajahnya kini jauh lebih tenang dari hari sebelumnya.

Ia duduk di sisi ranjang, memandangi gadis yang telah melalui begitu banyak luka dalam waktu yang singkat.

Hatinya berat, ada sesuatu yang ingin ia sampaikan, namun ia menahan diri. Belum saatnya.

“Arlena…” bisiknya pelan, jemarinya menyentuh lembut punggung tangan gadis itu.

Arlena membuka mata perlahan. “Tuan…” gumamnya, suara masih serak. “Maaf… saya masih lemah…”

“Kau tidak perlu meminta maaf. Kau hanya perlu pulih. Itu saja,” ucap Aldric, suaranya tenang tapi tegas.

Ia menghela napas perlahan, seolah berjuang menahan sesuatu.

Ia belum memberitahu belum saatnya Arlena tahu bahwa kedua orang tuanya, orang-orang yang selama ini ia impikan untuk temui, sedang dalam perjalanan. Aldric ingin momen itu sempurna.

Bukan dalam ruang rawat dengan bau obat-obatan, tapi dalam pelukan hangat dan tangis bahagia yang tak tercemari ketakutan.

“Beristirahatlah lagi. Nanti malam, mungkin akan ada kejutan,” katanya sambil tersenyum tipis, lalu mengusap pelan rambut Arlena yang kini mulai tumbuh sedikit rapi kembali.

Arlena menatapnya dalam diam, merasa ada sesuatu yang berbeda dalam nada suara Aldric.

Tapi ia terlalu lelah untuk bertanya lebih jauh. Ia hanya menggenggam tangan pria itu sedikit lebih erat, dan perlahan menutup matanya kembali.

Aldric tetap duduk di sana. Menjaga. Menunggu. Dan menyiapkan hati untuk saat Arlena tahu kebenarannya bahwa ia tidak lagi sendirian di dunia ini.

1
Kadek Bella
lanjut thoor
my name is pho: siap kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!