Lanjutan dari Dokter Cantik Milik Ceo
Namanya Sahara Putri Baskara, ia adalah seorang dokter muda, memiliki paras cantik dan pesona yang begitu luar biasa. Namun sayang ia terpaksa harus menikah dengan mantan suami wanita yang sangat ia benci, demi membebaskan dirinya dari jerat hukum yang akan ia jalani.
"Kalau kau masih mau hidup bebas dan memakai jas putih mu itu maka kau harus menikah dengan ku!" ucap Brian dengan tegas pada wanita yang sudah menabrak dirinya.
"Tapi kita tidak saling mengenal tuan," kata Sasa berusaha bernegosiasi.
"Kalau begitu mari kita berkenalan," jawab Brian dengan santai.
Lalu bagaimanakah nasip pernikahan keduanya, Sasa setuju menikah dengan Brian karena takut di penjara. Sementara Brian menikahi Sasa hanya untuk menyelamatkan pernikahan mantan istrinya, karena Sasa menyukai suami dari mantan istrinya itu.
Hanya demi menebus kesalahannya, Brian mengambil resiko menikahi Sasa, wanita licik dan angkuh bahkan keduanya tak pernah saling mengenal.
---
21+
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IPAK MUNTHE, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 8
Sasa yang belum berbuka puasa walau pun sudah tengah malam merasa tidurnya terusik karena lapar, tadi Sindi sudah membangunkan Sasa setelah satu jam sebelum ia membawa makanan. Namun Sasa yang sangat kelelahan tak terusik sedikit pun, akhirnya Sindi pergi tanpa membangunkan Sasa lagi karena ia yakin nanti kalau Sasa terbangun ia langsung makan makanan yang sudah ia siapkan atau pun meminta Art untuk membuatkannya makanan sesuai keinginannya.
"Ya....ampun apa jam buka puasa masih lama, aku laper banget....." gumam Sasa yang masih menutup mata dan berusaha mengumpulkan nyawanya, ia berusaha bangun namun tak bisa karena tubuhnya seperti di himpit sesuatu yang terasa berat. Karena merasa penasaran Sasa membuka mata, "Waaaaaaa," teriak Sasa panik ternyata Brian memeluknya.
"Diam!" kata Brian yang merasa tidurnya terganggu karena teriakan Sasa.
"Mas ngapain peluk aku!" tutur Sasa berusaha melepaskan diri.
Brian yang mendengar ucapan Sasa, reflek melepaskan Sasa. Brian tadinya berpikir itu adalah guling namun ternyata Sasa.
"Nggak ada yang mau peluk kamu!" ucap Brian berusaha membela diri karena ia memang tak berniat untuk melakukan itu.
"Udah kepergok juga, masih ngeles. Kayak bajaj," omel Sasa lagi.
Brian menatap Sasa dengan kesal, ia kembali berubah menjadi seseorang yang terlihat kejam dan dingin. Dengan cepat Sasa turun dari ranjang, karena Brian di mata Sasa seperti harimau yang siap menerkam.
"Mas Brian, saya spikiater ya. Saya sudah menghadapi ribuan pasien gangguan jiwa, jadi hati-hati dengan saya. Saya bisa membuat anda tenang tanpa bisa berbuat apa-apa!" ucap Sasa berkacak pinggang, ia sudah menuruti perkataan Brian untuk menikah namun tidak untuk selalu membentaknya.
"Kau berani berdebat dengan ku!" tutur Brian yang mulai turun dari ranjang.
"Ibu," Sasa keluar dari kamar dan berlari sekencangnya karena takut pada Brian, "Ibu," Sasa langsung masuk dan memeluk Sindi yang sedang tidur terlelap.
"Sasa," Sindi dengan cepat terbangun dan memeluk Sasa, ia pikir Brian sudah main tangan pada Sasa, "Kamu di apakan Brian Nak?" tanya Sindi panik, begitu juga dengan Pasha yang sudah terbangun.
"Bu.....Sasa takut," kata Sasa memperkuat pelukannya pada Sindi, keduanya turun dari ranjang dan keluar dari kamar. Sindi melihat Brian yang berdiri di anak tangga.
"Brian kamu kenapa? Sebenarnya mau kamu apa? Kamu memaksa Sasa menikah dengan mu. Tapi kenapa sekarang kamu malah kasar padanya, kamu selalu sopan pada Ibu. Sekarang Ibu juga mau kamu sopan pada istri mu," tutur Sindi kesal pada Brian.
"Bu...." mata Sasa berkaca-kaca ia masih bersembunyi di belakang tubuh Sindi, berusaha melindungi diri.
"Jangan takut, ada Ibu," kemudian Sindi kembali menatap Brian yang kini sudah berdiri di hadapannya, "Berani kamu main tangan sama Sasa seperti kamu main tangan pada Anggia dulu, abis kamu sama Ibu," Sindi menunjuk wajah Brian dengan jari telunjuknya, demi memperingati anaknya.
Brian masih diam menatap Sasa, yang mengintip dari belakang Brian. Sasa di sana bukan takut tapi menjulurkan lidah merasa menang karena ada yang membelanya, Brian tersenyum samar melihat tingkah Sasa sambil otaknya memikirkan ide.
"Bu, Brian nggak main tangan sama Sasa. Coba tanya dia," Brian menunjuk Sasa.
"Bu, tadi Mas Brian marah-marah sama Sasa, Bu istri itu di sayangin kan Bu. Bukan di marah-marah," ucap Sasa dengan melas pada Sindi.
"Ya Nak," Sindi membenarkan ucapan Sasa, kemudian ia menatap Brian, "Jangan coba-coba ulangi kesalahan dulu, kalau sampai satu kali saja berani kamu menyakiti menantu Ibu. Kalau bukan kamu maka Ibu yang akan mati," ucap Sindi lagi, ia benar-benar takut jika Brian kembali berulah lalu di akhir menyesal semua tak berguna lagi sedikit pun.
"Ibu ngomong begitu cuman karena membela anak orang ini!" kata Brian protes sambil menatap Sasa.
"Dia bukan anak orang, dia anak Ibu!, ingat ya....berani kamu berbuat macam-macam kata-kata Ibu tadi tidak main-main!" tandas Sindi.
Brian diam dan mencerna perkataan Sindi, baru kali ini ia melihat Sindi berkata cukup serius. Namun ia juga merasa takut dengan perkataan Ibunya.
"Bu. Brian nggak ngapa-ngapain Sasa, Brian cuman mau....." Brian menggantung ucapannya sambil memikirkan ide yang pas, "Ibu mau cucu tidak?" tanya Brian.
"Cucu?" Sindi tersenyum bahagia mendengar pertanyaan Brian, "Mau dong, ya ampun. Brian kamu mau kasih Ibu cucu?" tanya Sindi dengan wajah bahagia dan mata yang berbinar.
"Em." jawab Brian, dengan berat hati karena ia ingin menutupi keburukannya yang barusan ingin mengancam Sasa dengan menatap tajam.
"Ya sudah sana pergi, Ibu tunggu ya kabar bahagianya," ucap Sindi mendorong Sasa mendekati Brian.
"Bu....." Sasa tentu saja tak mau mendekati Brian, "Bu, Mas Brian boong. Tadi dia mau cekik Sasa," ucap Sasa lagi.
"Brian apa itu benar?" tanya Sindi kembali menatap Brian dengan serius, "Awas kamu, kalau menyakiti Sasa. Ibu bunuh diri, ini serius bukan main-main!" ucap Sindi dengan tegas dan cukup jelas tanpa ada rasa ragu.
"Iya Bu, Brian memang nggak mau nyakitin Sasa. Nggak mungkin kan Brian jelasin sama Ibu pengantin baru itu bagaimana," ucap Brian kembali berusaha membuat Sindi yakin, lagi pula ia sangat menyayangi Sindi. Tentu saja ancaman seperti itu sangat membuatnya takut kehilangan sang Ibu.
"Yaudah, Sasa kamu balik ke kamar sama Brian, dia sudah berjanji tidak akan menyakiti mu," ucapa Sindi meyakinkan Sasa.
"Tapi Bu," kata Sasa dengan ragu, Sasa memang terbiasa manja dengan kedua orang tuanya. Hingga saat Sindi terlihat menyayanginnya ia langsung memperlakukan Sindi seperti Zahira Mama kandungnya.
"Kamu belum buka puasakan sampai sekarang?" tanya Sindi, karena ia beberapa kali mendengar perut Sasa berbunyi.
"Belum Bu, Sasa laper banget," kata Sasa memeluk perutnya.
"Brian kamu temani Sasa makan, awas berani ancam dia. Abis kamu sama Ibu!" kata Sindi lagi mengancam Brian.
"Yuk, saya temani cepat!" kata Brian pada Sasa.
"Brian, dia istri mu, bukan tawanan mu. Jadi pandailah berbicara pada istri, apa kau pernah mendengar Ayah mu berbicara pada Ibu seperti itu," tutur Sindi menatap Brian masih dengan tatapan tak bersahabat.
"Iya Bu," jawab Brian sambil menarik tangan Sasa menuju dapur.
"Brian jangan kasar!" kata Sindi dari kejahuan.
"Nggak Bu," kata Brian yang sudah menjauh dari Sindi.
Sementara Sindi tersenyum sambil berjalan kembali masuk ke kamarnya, ia terus saja tersenyum mengingat ucapan Brian yang akan memberikannya cucu.
"Ibu kenapa?" tanya Pasha yang merasa aneh pada istrinya.
"Brian bilang mau kasih kita cucu Yah, Ibu senang sekali," jawab Sindi.
Pasha juga tersenyum, sebab kini Sindi sudah banyak berubah. Bahkan kini Pasha sudah tak perlu lagi melindungi Sasa seperti Anggia dulu, sebab ada Sindi. Sementara Brian Sasa yang kini berada di dapur apakah yang terjadi? Apakah berdamai atau mungkin keduanya kembali dalam perang dunia ke 3?.
***
Jangangan lupa Vote.