Alya adalah gadis mandiri yang bekerja sebagai perawat di sebuah rumah sakit swasta. Hidupnya sederhana namun bahagia, hingga suatu hari ia harus menghadapi kenyataan pahit, ayahnya terlilit utang besar kepada seorang pengusaha kaya, Dimas Ardiansyah. Untuk melunasi utang itu, Dimas menawarkan satu-satunya jalan keluar—Alya harus menikah dengannya. Masalahnya, Dimas sudah memiliki istri.
Dengan hati yang terpaksa dan demi menyelamatkan keluarganya, Alya menyetujui pernikahan itu dan menjadi madu. Ia masuk ke dalam kehidupan rumah tangga yang dingin, penuh rahasia, dan ketegangan. Istri pertama Dimas, Karin, wanita anggun namun penuh siasat, tidak tinggal diam. Ia menganggap Alya sebagai ancaman yang harus disingkirkan.
Namun di balik sikap dingin dan keras Dimas, Alya mulai melihat sisi lain dari pria itu—luka masa lalu, kesepian yang dalam, dan cinta yang belum sempat tumbuh. Di tengah konflik rumah tangga yang rumit, kebencian yang mengakar, dan rahasia besar dari masa lalu,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 17
Pagi itu langit cerah, tapi hati Alya seperti mendung yang menunggu hujan jatuh.
Di ruang tamu, koper kecil berdiri tegak. Aira sudah diantar ke rumah Bibiknya, adik Dimas untuk akhir pekan, dan Rey belum datang hari itu. Hanya ada Alya, Bu Erna, dan keheningan yang menggantung seperti kalung luka yang tak kunjung dilepas. Sedangkan ayahnya, sedang ada pekerjaan di luar sana.
“Kamu yakin, Nduk?” tanya Bu Erna pelan. “Kamu baru mulai tenang...”
“Justru karena itu, Bu. Aku butuh tahu… apakah ketenangan ini datang karena Rey, atau karena aku sudah belajar berdiri sendiri.”
Ia tersenyum, memeluk Bu Erna erat.
“Aku cuma butuh waktu. Bukan lari, tapi menjauh sebentar.”
Alya pergi ke Yogyakarta.
Ke rumah tantenya yang sudah seperti ibu sendiri baginya. Kota itu tak asing, tapi kali ini ia datang bukan sebagai anak atau istri — melainkan sebagai wanita yang sedang belajar menata ulang jiwanya.
Ia mengisi harinya dengan sederhana: membantu di kafe kecil milik sepupunya, membaca buku di taman kota, dan menulis — sesuatu yang lama tak ia sentuh sejak dulu.
Dan di sanalah ia bertemu Fahri.
Fahri datang seperti senja yang datang pelan, hangat, dan tidak menuntut.
Seorang arsitek freelance, pelanggan tetap di kafe yang dijaga Alya. Ia tak banyak bicara, tapi sorot matanya selalu tenang. Tidak menilai, tidak mengusik.
Pertemuan mereka tak direncanakan. Mulanya hanya sekadar basa-basi soal cuaca dan kopi. Lalu hari demi hari, percakapan itu menjelma menjadi diskusi buku, musik, dan masa lalu yang tak saling mereka gali — tapi sesekali muncul lewat jeda.
“Kamu suka diam ya?” tanya Fahri suatu malam.
“Karena suara di kepala-ku sudah terlalu ramai,” jawab Alya jujur.
Fahri tertawa kecil. “Aku juga. Maka kadang, aku hanya duduk di sini, membiarkan malam yang bercerita.”
Tiga minggu sudah berlalu.
Rey menghubungi Alya beberapa kali. Ia tak marah, tak mendesak. Hanya menulis pesan singkat,
“Aku di sini. Aira sudah kembali dari rumah adiknya Dimas, dia bahkan bertanya kapan kamu pulang. Aku bilang, ketika bunda sudah menemukan apa yang ia cari.”
Alya membalas,
“Terima kasih karena kamu tidak mencari-ku seperti orang kehilangan. Tapi menungguku seperti orang percaya.”
Dan dalam diam itu, ia mulai tahu… bahwa cintanya pada Rey bukan hilang. Hanya sedang diajarkan ulang — tentang bagaimana mencintai tanpa menghilangkan dirinya sendiri.
Suatu sore, Fahri dan Alya duduk di tangga batu pinggir sungai Code.
Angin sore berembus pelan. Mereka tak saling bicara lama, hingga Fahri berkata,
“Kamu pernah disakiti ya?”
Alya menoleh, tersenyum pahit. “Bukan. Aku pernah percaya… terlalu dalam.”
“Dan sekarang?”
“Aku sedang belajar percaya... pada diriku sendiri.”
Fahri menatapnya dalam. Tapi bukan tatapan yang meminta. Hanya mengagumi. Menghargai.
“Kalau kamu sudah selesai belajar, semoga masih ada ruang di hatimu untuk orang baru.”
Alya terdiam. Jantungnya berdetak lebih cepat, bukan karena cinta baru, tapi karena ia sadar, ia sudah bisa merasa lagi.
Malam itu, Alya menulis di jurnalnya,
“Aku tidak jatuh cinta. Tapi aku mulai pulih. Dan mungkin, pemulihan adalah bentuk cinta paling sunyi, tapi paling jujur.”
“Fahri bukan Rey. Tapi Fahri adalah jeda yang membuatku ingat... bahwa aku bukan milik luka. Aku milik diriku sendiri.”
Pergi bukan selalu tentang menghindar. Kadang, pergi adalah satu-satunya cara agar kita bisa kembali… bukan sebagai bayangan dari siapa pun, tapi sebagai diri sendiri yang utuh.
Dan di kota itu, di antara kopi dan senja, Alya tidak mencari cinta. Tapi ia menemukan sesuatu yang lebih langka: damai.
*
Satu bulan di Yogyakarta ternyata tidak membuat Alya merasa jauh dari kenyataan. Justru di sana, ia merasa lebih dekat dengan dirinya sendiri. Setiap pagi di kafe, aroma kopi dan dentingan gelas menjadi pengingat bahwa hidup berjalan — meski pelan, meski hati masih menyimpan sisa luka.
Dan dari semua yang hadir di keseharian itu, Fahri adalah satu kehadiran yang makin lama... makin tidak bisa diabaikan.
Fahri bukan tipikal pria yang menekan atau mengejar.
Ia hadir seperti hujan gerimis, pelan, tapi cukup untuk membuat hati basah.
Pagi itu, saat Alya sedang merapikan stok biji kopi di rak belakang kafe, Fahri datang dengan sepiring nasi goreng dan dua cangkir kopi susu.
“Aku tahu kamu belum sarapan,” ucapnya singkat.
Alya menoleh, terkejut. “Kamu masak sendiri?”
“Bukan. Tetanggaku yang buat. Aku cuma bagian menyampaikan.”
Alya tertawa kecil, duduk di meja dekat jendela. Mereka makan dalam diam. Tapi di antara diam itu, ada ketenangan. Yang tidak menuntut pembuktian. Yang tidak meminta lebih dari sekadar hadir.
Hari-hari berikutnya, mereka sering menghabiskan waktu bersama.
Kadang di taman kota. Kadang di toko buku kecil dekat Tugu. Sesekali di studio kerja Fahri, di mana ia menunjukkan maket rumah-rumah yang ia desain — rumah yang katanya “ingin punya banyak jendela, agar cahaya selalu punya jalan masuk.”
“Kamu percaya rumah bisa menyembuhkan?” tanya Fahri suatu sore.
“Kalau rumah itu bukan cuma bangunan, tapi juga tempat di mana hati bisa pulang, maka aku percaya,” jawab Alya.
Fahri mengangguk pelan. “Mungkin karena itu, aku suka menggambar rumah. Karena aku belum tentu bisa menjadi rumah untuk siapa pun. Tapi aku ingin orang-orang yang lelah... punya tempat untuk kembali.”
Alya diam. Kalimat itu menusuk lembut ke dalam hatinya. Ia sendiri pun sedang mencari jalan pulang — bukan ke rumah Rey, tapi ke dirinya sendiri.
Pada suatu malam yang gerimis, Fahri mengantar Alya pulang.
Tak banyak bicara, hingga mereka sampai di depan pagar rumah.
“Boleh aku tanya satu hal?” ujar Fahri, sebelum Alya turun dari motor.
“Tanya saja.”
“Jika suatu hari kamu tidak ragu lagi... apakah aku boleh tetap ada di sekitarmu?”
Alya menunduk. Hatinya bergetar. Ia tidak punya jawaban pasti. Tapi ia tahu satu hal yaitu kehadiran Fahri membuatnya tidak merasa sendirian.
“Kita lihat nanti, ya?” jawabnya pelan. “Aku belum berani menjanjikan apa pun.”
“Aku tidak minta janji,” sahut Fahri sambil tersenyum. “Aku hanya ingin kamu tahu, kamu tidak harus menyembuhkan diri sendiri sendirian.”
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Alya menangis. Tapi bukan karena sakit.
Karena akhirnya, ia merasa... tidak sendiri.
Keesokan harinya, Alya menerima kiriman bunga.
Bunga matahari. Di tengahnya ada secarik kertas,
"Untuk kamu yang masih belajar mencintai cahayanya sendiri."
—F
Ia tertawa kecil, menggigit bibir sambil menatap bunga itu. Lalu ia menulis di jurnalnya:
“Aku tidak tahu ke mana hubungan ini akan mengarah. Tapi untuk pertama kalinya, aku tidak merasa dikejar oleh cinta. Aku justru merasa ditunggu oleh pengertian.”
“Dan mungkin, itulah yang membuatku bisa bernapas lagi.”
Fahri tidak datang dengan janji manis. Ia datang dengan sabar, dengan ruang, dengan tenang. Dan untuk hati Alya yang selama ini tercekik oleh ekspektasi dan luka, kehadiran Fahri adalah bukti bahwa cinta tidak harus membakar. Kadang, ia hanya cukup menjadi cahaya kecil yang tidak pernah padam.