NovelToon NovelToon
Cintaku Kepentok Bos Dingin

Cintaku Kepentok Bos Dingin

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / CEO / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Wanita Karir / Angst
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: Erika Ponpon

Nagendra akankah mencair dan luluh hatinya pada Cathesa? Bagaimana kisah selanjutnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erika Ponpon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

6

Sementara itu… di apartemen Cathesa.

Dia masih termenung di depan layar laptop, membaca pesan terakhir dari Nagendra:

“Kamu tetap ikut ke event gala.”

Tanpa penjelasan lebih lanjut. Tanpa nada hangat seperti kemarin.

Seolah… dia kembali menjadi Nagendra yang dulu: cuek, datar, dan jauh.

Cathesa meremas roti bakar yang tadi dia buat sendiri, lalu mendesah pelan.

“Bodoh. Aku mulai jatuh, dan dia mulai menjauh.”

Di kantor pusat Alejandro Corporation, esok harinya…

Semua orang terdiam saat pintu lift terbuka dan seorang wanita elegan melangkah keluar. Sepatu hak tinggi mengkilap, gaun formal putih gading, dan aroma parfum yang sangat familiar—karena kemarin masih bikin Cathesa sesak napas.

“Selamat pagi,” ucap Adeline dengan senyum memikat. “Saya ingin bertemu Pak Nagendra.”

Seketika, bagian resepsionis mulai heboh bisik-bisik.

Cathesa hanya bisa berdiri terpaku dari jauh, sambil menahan napas.

Dan saat Adeline melirik ke arahnya, dia melangkah mendekat… lalu tersenyum dengan ramah palsu.

“Kamu pasti… sekretarisnya, ya?”

“Benar. Cathesa Agastha.”

Ia berusaha tersenyum netral, tapi suaranya nyaris gemetar.

Adeline mengangguk pelan.

“Terima kasih sudah menjaga Nagendra sampai hari ini. Tapi… saya akan urus dia mulai sekarang.”

Nagendra berdiri di balkon kamar lamanya di rumah masa kecilnya. Tangannya menggenggam pagar besi dingin, tapi pikirannya jauh lebih dingin dari cuaca pagi itu.

Di bawah, Adeline sedang mengobrol akrab dengan ibunya di taman belakang. Tertawa. Elegan. Seolah tidak pernah menghilang dari hidupnya bertahun-tahun.

Tapi justru itulah yang mengganggu Nagendra.

Seolah-olah semuanya bisa kembali seperti dulu.

Padahal… tidak.

Banyak luka yang tidak mereka lihat. Salah satunya, dia sendiri.

Di sisi taman, Adeline menyelesaikan percakapan dengan senyum penuh percaya diri. Setelah ibunya berjalan masuk kembali ke rumah, Adeline melangkah pelan ke arah balkon tempat Nagendra berdiri.

“Nagi—”

“Jangan panggil aku begitu,” potongnya tanpa menoleh.

Adeline tidak mundur. “Baik. Nagendra.”

Dia menatap pria itu lekat-lekat, menakar setiap gerakan dinginnya seperti strategi.

“Aku tahu kamu masih marah. Aku tahu aku salah karena pergi tiba-tiba. Tapi… aku juga tahu kamu belum benar-benar membuka hati untuk siapa pun selama ini.”

Nagendra menatapnya akhirnya. Matanya hitam, tenang, dan tajam.

“Aku tidak membuka hati, bukan karena kamu. Tapi karena aku tidak mau lagi menyia-nyiakan waktu untuk seseorang yang bisa pergi kapan saja.”

Adeline menghela napas. Tapi senyumnya… masih utuh.

“Kali ini aku tidak akan pergi. Aku kembali bukan hanya karena perjodohan ini. Tapi karena aku yakin… tempatku memang di sampingmu.”

Nagendra ingin membantah. Tapi sebelum sempat berbicara, Adeline mengucapkan kalimat terakhirnya pelan, tepat sasaran:

“Atau… kamu sudah membuka hati untuk wanita lain di kantormu itu?”

Matanya menajam.

Cathesa.

Dia menyebut nama itu tanpa menyebut nama. Tapi Nagendra tahu… Adeline tahu.

“Aku tidak mencampur urusan pribadi dengan pekerjaan,” jawabnya dingin.

Adeline tersenyum. “Tapi kamu membawa dia ke gala minggu ini, bukan? Dan kamu memberikan dia bros milik keluargamu—yang dulunya hanya diberikan pada orang yang… spesial.”

Nagendra terdiam.

Tak menyangkal.

Adeline menatapnya, penuh tekad.

“Kalau kamu mau permainan ini menjadi permainan terbuka… aku siap.”

Sementara itu… di kantor, Cathesa duduk termenung.

Ia baru saja menerima memo dari HRD yang memberitahu bahwa “Tamu khusus keluarga direksi akan hadir di gala” dan semua staf diminta menjaga sikap, terutama yang dekat dengan pimpinan utama.

Dekat dengan pimpinan utama?

Itu siapa?

Dia menoleh ke arah ruang kerja Nagendra yang kosong.

Jantungnya mulai tak tenang lagi.

Dan tanpa ia sadari, Adeline sudah mulai mengatur langkah-langkahnya, satu demi satu.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Pagi ini terasa aneh sejak awal.

Nagendra belum datang seperti biasa pukul delapan. Tapi ruangan CEO sudah terbuka. Dan ada suara perempuan dari dalam. Lembut, manja, elegan.

Bukan suara Adeline. Bukan juga suara Ibu Nagendra.

Aku sedang menaruh dokumen di meja luar saat sosok wanita berambut pendek rapi, berdress pastel lembut, masuk melewati lorong dengan percaya diri.

Wanita yang kemarin datang ke kantor.

Aku masih belum tahu namanya. Tapi dia bukan staf. Bukan klien tetap. Dan… bukan sekadar teman lama.

Dia menyapaku ringan. “Masih di sini? Kamu pasti sekretaris tetap Nagendra.”

Aku mengangguk kaku.

Senyumnya… manis, tapi matanya tajam. Terlalu tajam untuk disebut ramah.

Tanpa menunggu izin, dia langsung membuka pintu ruang CEO.

“Sorry, aku langsung masuk aja,” ucapnya, padahal belum dipersilakan.

Aku spontan berdiri.

“Ma—maaf, ada—”

Terlambat.

Pintu sudah terbuka. Dan di dalam sana…

Adeline duduk di sofa ruang kerja Nagendra dengan anggun sambil memegang secangkir kopi yang biasa aku buatkan untuk Pak Nagendra.

Nagendra sendiri berdiri dekat jendela, memalingkan wajah.

Wanita baru itu membeku di tempat. Adeline hanya melirik santai.

“Oh, halo. Kamu datang juga ya. Aku pikir kamu cuma mampir kemarin.”

Senyumnya ramah—tapi penuh siasat.

Wanita itu tak langsung menjawab. Tapi aku bisa lihat, matanya menatap tajam ke arah Nagendra.

“Adeline,” gumam wanita itu, pelan.

Seperti menyebut nama yang pernah dia coba lupakan.

Adeline berdiri dari sofa, mendekatinya perlahan.

“Sudah lama ya. Dunia kecil. Tapi ya, akhirnya kita ketemu… di titik yang sama. Lagi.”

Nagendra menghela napas berat.

“Aku tidak mengatur ini,” katanya pelan, nyaris untuk dirinya sendiri.

Adeline menatapnya.

“Tapi mungkin… takdir yang mengaturnya. Dua wanita dari masa lalumu, kembali… dalam satu ruangan.”

Aku berdiri terpaku dari luar pintu yang terbuka setengah. Tak ada yang sadar aku masih di situ.

Dan aku… bahkan bukan bagian dari masa lalunya.

Aku bukan siapa-siapa.

Aku cuma sekretaris yang terlalu sering berharap.

Sementara di dalam ruangan…

Suasana mendadak dingin. Tegang. Dan penuh sejarah yang belum selesai.

Wanita itu menatap Adeline tajam.

“Kalau kau pikir bisa dengan mudah kembali dan duduk di sampingnya seperti dulu, kamu salah.”

Adeline tak kehilangan senyum. “Kalau kamu pikir dia akan memilih orang yang pergi tanpa pamit juga, kamu lebih salah lagi.”

Nagendra akhirnya bersuara, tegas.

“Sudah cukup.”

Keduanya menoleh.

“Aku bukan hadiah yang bisa kalian rebut. Aku bukan pria yang sama seperti dulu. Dan aku… tidak suka dimainkan.”

Wanita itu menggigit bibirnya. Matanya mulai berkaca-kaca.

Adeline masih tenang. Tapi tatapannya menusuk. Dia tahu satu hal:

persaingan sudah dimulai.

Dan dia… tidak akan kalah lagi.

Di luar ruangan, aku kembali ke mejaku. Diam.

Tapi dalam hati, sebuah suara kecil mulai bertanya:

“Kalau dua wanita dari masa lalunya bisa kembali dan mencoba merebut hatinya…

lalu aku, yang ada di masa kini—apa aku punya hak untuk berharap?”

1
Rian Moontero
lanjuutt🤩🤸
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!