1. Terjebak dalam Siklus Kematian & Kebangkitan – Tokoh utama, Ning Xuan, berulang kali mati secara tragis dimangsa makhluk gaib (berwujud beruang iblis), lalu selalu kembali ke titik awal. Ini menghadirkan rasa putus asa, tanpa jalan keluar.
2. Horor Psikologis & Eksistensial – Rasa sakit saat dimakan hidup-hidup, ketidakmampuan kabur dari tempat yang sama, dan kesadaran bahwa ia mungkin terjebak dalam “neraka tanpa akhir” menimbulkan teror batin yang mendalam.
3. Fantasi Gelap (Dark Fantasy) – Kehadiran makhluk supranatural (beruang iblis yang bisa berbicara, sinar matahari yang tidak normal, bulan hitam) menjadikan cerita tidak sekadar horor biasa, tapi bercampur dengan dunia fantasi mistis.
4. Keterasingan & Keputusasaan – Hilangnya manusia lain, suasana sunyi di kediaman, dan hanya ada sang tokoh melawan makhluk gaib, mempertegas tema kesendirian melawan kengerian tak terjelaskan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ijal Fadlillah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6 - Menyembunyikan
Ayah Ning Xuan adalah Tuan Ning.
Namun tentu saja, sang tuan juga memiliki nama.
Tuan Ning tidak terkecuali.
Namanya adalah Ning Taiyi.
Hanya saja, nama aslinya bukanlah Taiyi. Ia mengganti namanya sendiri menjadi “Taiyi” karena gemar mendalami ilmu Xuanxue (ilmu metafisika/taoisme). Dengan alasan yang sama pula, ia menamai anaknya Xuan.
Ning Taiyi sering bepergian ke luar rumah. Jika singkat, ia akan pergi selama tiga sampai empat hari, tetapi kalau lama, ia bisa meninggalkan rumah hingga tiga sampai empat bulan.
Pernah Ning Xuan bertanya kepada ibunya.
Ibunya menjawab, “Ayahmu punya nama baik di luar sana, banyak orang yang memintanya membantu urusan seperti mendamaikan perselisihan.”
Ning Xuan kembali bertanya, “Pergi ke mana? Mendamaikan apa? Apa hanya mengandalkan nama baik sudah cukup untuk menyelesaikan perselisihan?”
Ibunya hanya berkata, ia juga tidak tahu.
Ning Xuan tidak lagi banyak bertanya mengenai masa lalu orangtuanya. Namun meski ia tidak menanyakannya, ia kurang lebih bisa menebak bagaimana ayah dan ibunya dahulu saling mengenal.
Proses itu sedikit lebih baik dibandingkan dengan pertemuannya dengan Xiao Jie.
Bedanya, Xiao Jie dulunya hanyalah seorang gadis sederhana yang membuka lapak menulis di luar gerbang Kuil Zen kota sebelah, sedangkan ibunya adalah seorang putri keluarga kaya yang saat itu tengah menemani neneknya berdoa dan membakar dupa di dalam kuil. Sang kepala biara bahkan sendiri yang memukul faqing (lonceng kayu dharma) di sisi altar.
Xiao Jie berasal dari kalangan rendah, sedangkan ibunya lahir dari keluarga terpandang.
Ibunya hidup dengan tenang di sana, sampai akhirnya ia bertemu dengan Ning Taiyi yang kala itu sudah berusia lebih dari tiga puluh tahun.
Pria berusia tiga puluhan itu, rupanya mampu memikat baik yang tua maupun muda.
Dan ibunya… jatuh cinta kepadanya.
Karena itu, ibunya tidak pernah ikut campur dalam kehidupan Ning Taiyi sebelum mereka bertemu. Ia tidak tahu, dan tidak menanyakannya.
Namun bagi Ning Xuan, sebagai anak dari ayahnya, ia merasa seharusnya selain menunggu arahan dari sang ayah, ia juga mesti mewarisi apa yang dimilikinya. Tetapi kenyataannya tidak. Ia bahkan tidak tahu apa sebenarnya yang dimaksud dengan “nama baik” ayahnya.
Kadang-kadang, ia bahkan terlintas pikiran ingin menanyakan apakah dirinya benar-benar anak kandung Tuan Ning. Sebab, ia lahir dalam keadaan “membawa jiwa lain” dan hanya menyaksikan momen kelahirannya sendiri.
Tetapi, pertanyaan itu sejatinya tak perlu ditanyakan. Karena siapapun yang melihat penampilan mereka, pasti tahu bahwa ia adalah putra kandung Tuan Ning.
Tuan Ning berwibawa dan tampak bijaksana.
Sedangkan Ning Xuan adalah seorang pemuda rupawan.
Bagaikan tercetak dari cetakan yang sama.
Rasa sayang Tuan Ning padanya pun selalu tampak jelas di wajahnya.
Selama ada permintaan, tak ada yang tak dipenuhi!
Bukan hanya itu, orang-orang yang dipekerjakan Tuan Ning juga sangat patuh kepadanya.
Mereka bahkan rela menuruti perintah Ning Xuan meski belum pernah bertemu dengannya sebelumnya. Hanya karena ia adalah putra Tuan Ning, mereka mau bangun tengah malam, ikut berlari bersamanya hingga setengah hari penuh tanpa mengeluh sedikit pun.
Semalam, ketika ia kembali bersama sekelompok orang, kebetulan Tuan Ning justru sedang berangkat keluar lagi.
Saat ini, Ning Xuan menyimpan kembali Tian Mo Lu Beruang Gunung itu, lalu tubuhnya kembali ke wujud semula. Ia kemudian keluar mencari kepala penjaga villa. Seorang lelaki tua yang tampak penuh belas kasih, tetapi di pinggangnya tergantung tabung logam hitam berisi “Jarum Hujan Deras”.
“Apakah ada yang bisa saya bantu, Tuan Muda?” tanya lelaki tua itu dengan senyum ramah.
Ning Xuan menundukkan tubuhnya dengan hormat, lalu berkata:
“Boleh saya tahu siapa nama panjang dan asal-usul Anda, Tuan?”
Lelaki tua itu segera membalas dengan sopan:
“Nama saya Han Ba. Orang-orang di dunia persilatan memanggil saya dengan julukan Delapan Lengan Tua.”
Ning Xuan sedikit terkejut, lalu berkata:
“Namun, Anda tidak memiliki delapan lengan.”
Han Ba tertawa, lalu menjawab:
“Itu hanya sebutan karena gerakan saya cepat. Saat saya bertarung, gerakan tangan saya seakan-akan berubah menjadi delapan. Sebenarnya hanya berlebihan belaka.”
Ning Xuan kemudian bertanya:
“Di antara guru bela diri di vila ini, ada seseorang bernama Zhang Erquan, berjuluk Pisau Kejar Angin Walet. Jika dibandingkan dengan Anda, kira-kira bagaimana hasilnya?”
Han Ba menjawab dengan tenang:
“Andai benar-benar duel hidup mati… bila jarak sepuluh langkah ke atas, ia yang mati. Bila jarak sepuluh langkah ke bawah, saya yang mati.”
Ning Xuan kembali memberi hormat.
“Sepertinya, Anda dan guru saya berada pada generasi yang sama dalam dunia persilatan.”
Awalnya, ia sempat berniat untuk menjadikan Han Ba sebagai gurunya.
Namun sekarang, niat itu berubah. Ia lebih memilih untuk mencari tahu lebih dalam.
Han Ba tersenyum sambil berkata:
“Putra Tuan benar-benar sopan, penuh tata krama, dan rendah hati. Hanya saja… saya masih tidak mengerti, mengapa semalam tiba-tiba Anda ingin meninggalkan vila ini?”
Ning Xuan menjawab sambil merendahkan suara:
“Gunung itu dipenuhi aura yin. Saya terkena serangan hawa dingin, jadi saya ingin segera pergi. Tetapi karena gelap gulita dan banyak binatang buas di hutan, terpaksa saya merepotkan kalian semua untuk mengantarkan saya turun.”
Han Ba hanya mengangguk, meski dalam hatinya merasa ada sesuatu yang janggal.
Namun, jika dipikirkan lagi mengingat identitas pemuda di hadapannya, sepertinya hal itu juga bukan tanpa alasan.
Ning Xuan berkata dengan wajah serius:
“Aku ingin belajar ilmu bela diri.”
Han Ba menjawab:
“Semakin banyak yang dipelajari, semakin banyak pula bahaya yang mengiringinya. Tanpa perintah Tuan, aku tidak berani sembarangan mengajarkan ilmu bela diri pada Tuan Muda. Lagi pula, ‘Pisau Kejar Angin Walet’ saja sebenarnya sudah tidak buruk.”
Ning Xuan lalu menambahkan:
“Tapi, aku sering mendengar kabar bahwa di dunia ini ada kekuatan yang berada di atas ilmu bela diri. Entah, apakah Tuan pernah mendengar?”
Han Ba terdiam sejenak sambil mengelus janggutnya, lalu berkata:
“Apakah Tuan Muda mendengar itu dari tukang cerita jalanan?”
Begitu kata-kata itu keluar, ia tiba-tiba tertegun. Karena ia sadar pemuda di depannya tengah menatapnya dengan pandangan penuh arti, seolah sedang berpikir mendalam.
Han Ba buru-buru berkata:
“Apakah aku salah bicara?”
Ning Xuan menghela napas kecewa:
“Jadi benar-benar tidak ada, ya?”
Han Ba menjawab tegas:
“Benar-benar tidak ada.”
Suasana mendadak hening.
Ning Xuan mengangguk, lalu berkata:
“Baiklah, kalau begitu aku pergi berlatih pisau saja.”
Han Ba menunduk hormat:
“Kalau begitu, saya akan membawa para pengawal kembali ke villa di gunung.”
Ning Xuan menimpali:
“Sekali-sekali sudah sampai ke rumah, tinggal saja beberapa hari.”
Han Ba menggeleng:
“Tidak perlu. Tuan Muda sudah selamat sampai, tugasku pun selesai. Saatnya aku kembali.”
Ning Xuan menambahkan:
“Tuan Han, silakan sesukanya. Hanya saja, bila sudah kembali ke villa, tolong kirimkan kabar keselamatan.”
Han Ba tersenyum:
“Tuan Muda begitu menghargai orang lain, benar-benar memiliki sikap seorang tuan. Silakan lakukan urusan Anda, saya akan mengirim kabar begitu tiba di villa.”
Beberapa saat kemudian, setelah melihat sosok Ning Xuan menghilang di tikungan jalan, wajah ramah Han Ba pun berubah menjadi muram penuh penyesalan. Kedua tangannya terkepal erat, alisnya berkerut, bahkan sempat mengangkat tangannya seolah ingin menampar dirinya sendiri.
Namun akhirnya, ia hanya menurunkan tangannya perlahan, melepaskan ekspresi penuh derita itu, lalu bergumam lirih.
“Seumur hidupku bermain di dunia persilatan, sering menaklukkan orang, tidak pernah sekali pun terperdaya. Siapa sangka, hari ini justru mataku dipatuk seekor ‘anak angsa kecil’. Aku… aku terlalu lengah.”
Ia sadar dirinya telah terpancing bicara.
Pemuda itu terlalu licik, seperti seekor rubah muda yang cerdas.
Sedangkan dirinya terlalu ceroboh.
Ia tidak berjaga-jaga pada Tuan Muda Ning, karena percakapan mereka tampak seperti obrolan ringan sehari-hari. Namun tiba-tiba saja pemuda itu melontarkan sebuah kalimat:
“Aku sering mendengar kabar bahwa di dunia ini ada kekuatan yang berada di atas ilmu bela diri. Entah, apakah Tuan pernah mendengar?”
Saat kalimat itu keluar, ia lengah, terdiam sebentar, lalu malah melakukan kesalahan fatal yang hanya dilakukan orang yang sedang menyembunyikan sesuatu. Ia buru-buru bertanya, “Apakah aku salah bicara?”
Kemudian, Ning Xuan dengan ramah justru memberikan jalan keluar untuknya. Ia pun langsung menuruni “tangga” yang diberikan itu dan menegaskan: “Benar-benar tidak ada.”
Han Ba merasa sangat menyesal hingga memukul-mukul mulutnya sendiri sambil mendesis, “Aduh, aduh! Mulut sialan ini!”
Di dalam hatinya penuh penyesalan, karena Tuan telah dengan jelas berpesan: jangan sekali pun mengungkapkan rahasia itu kepada Tuan Muda.
Namun sejurus kemudian, Han Ba mencoba menenangkan diri.
Mungkin semua ini hanyalah pikirannya sendiri yang terlalu berlebihan.
Mungkin sang Tuan Muda sebenarnya tidak berpikir sejauh itu.
Karena kalau didengar sekilas, ucapan itu memang terdengar seperti obrolan biasa saja.
Ia merasa ada yang aneh, hanya karena ia sudah terlalu lama menjadi orang persilatan, terbiasa mencurigai segalanya.
---
Di sisi lain, Ning Xuan berpikir dalam hati:
“Jadi, ternyata dunia ini benar-benar memiliki kekuatan yang berada di atas ilmu bela diri.”
“Ayah pasti mengetahuinya.”
“Namun, mengapa beliau tidak memberitahuku?”
“Apakah demi melindungiku, agar aku tidak terjerumus ke dalam bahaya, sehingga ia sengaja menyembunyikan semua rahasia ini? Tidak… ayah bukanlah orang yang kolot dan bodoh seperti itu.”
Sesaat, Ning Xuan merasakan adanya sebuah dinding tipis yang tiba-tiba terbentuk di antara dirinya dengan sang ayah. Sebuah jarak yang sebelumnya tidak pernah ada.
Meski ia adalah seorang traveler dari dunia lain, namun ia lahir ke dunia ini sejak dalam kandunga (terlahir kembali dalam rahim).
Dan ayahnya… adalah orang yang membesarkannya dengan penuh kasih sayang. Hubungan mereka tentu saja memiliki perasaan yang nyata.
Namun kini, ia sadar ada hal besar yang selama ini disembunyikan darinya.