SINOPSIS
Nara dan Ingfah bukan sekadar putri pewaris takhta Cankimha Corp, salah satu konglomerat terbesar di Asia. Di balik kehidupan mewah dan rutinitas korporasi mereka yang sempurna, tersimpan masa lalu berdarah yang dimulai di puncak Gunung Meru.
Tujuh belas tahun lalu, mereka adalah balita yang melarikan diri dari pembantaian seorang gubernur haus kuasa, Luang Wicint. Dengan perlindungan alam dan kekuatan mustika kuno keluarga Khon Khaw, mereka bertahan hidup di hutan belantara hingga diadopsi oleh Arun Cankimha, sang raja bisnis yang memiliki rahasianya sendiri.
Kini, Nara telah tumbuh menjadi wanita tangguh dengan wibawa mematikan. Di siang hari, ia adalah eksekutif jenius yang membungkam dewan direksi korup dengan kecerdasannya. Di malam hari, ia adalah ksatria tak terkalahkan yang bersenjatakan Busur Sakti Prema-Vana dan teknologi gravitasi mutakhir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Princss Halu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kejadian tidak terduga di tengah jalan
Patan memacu kerbaunya dengan perlahan agar kedua balita di belakang tetap nyaman. Suasana sore itu awalnya sangat tenang, hanya suara gemerincing lonceng kerbau dan tawa kecil Ingfah dan Nara yang saling memuji keindahan batu kristal baru mereka.
"Pii Nara, kalung ini cantik... punya Pii juga cantik, Narak (lucu/imut)," kata Ingfah dengan mata berbinar, membolak-balik kristal biru yang kini menggantung di lehernya.
"Benar Nong Fah, Narak. Kata Kakek Biksu, kita harus jaga kalung ini," ucap Nara dengan bijak sembari menggenggam tangan adiknya, memastikan Ingfah tetap duduk tenang di atas jerami.
Namun, ketenangan itu pecah saat mereka memasuki area pemukiman warga di pinggiran desa. Tiba-tiba terdengar suara jeritan melengking yang membelah udara, disusul suara geraman rendah yang tidak terdengar seperti suara manusia.
Patan segera menghentikan kerbaunya. Di halaman sebuah rumah panggung, terlihat kerumunan orang yang panik. Ada beberapa pria dewasa yang kewalahan memegang tangan seorang wanita muda yang mengamuk hebat.
Wanita itu terus menggeram, matanya mendelik putih, dan tenaganya tampak tidak wajar hingga empat pria hampir tak mampu menahannya.
"Lepaskan! Ini bukan rumahku!" teriak wanita itu dengan suara yang berat dan serak.
Keluarga wanita itu menangis ketakutan, beberapa orang mencoba memercikkan air suci namun keadaan justru semakin kacau.
Ingfah dan Nara mendadak diam. Wajah ceria mereka hilang seketika. Ingfah menatap tajam ke arah wanita itu, matanya yang biru mulai merespons energi gelap yang menyelimuti area tersebut. Di mata Ingfah, wanita itu tidak sendirian—ada sosok hitam legam dengan kuku panjang yang sedang memeluk punggung wanita tersebut dari belakang, mencengkeram kepalanya.
"Ayah... kasihan Tante itu," bisik Ingfah, suaranya bergetar bukan karena takut, tapi karena sedih melihat sosok gelap itu menyakiti si wanita.
Patan segera berbalik ke belakang, ia waspada. "Anak-anak, jangan melihat ke sana! Pegangan yang kuat pada gerobak!"
Tetapi, Ingfah justru melakukan sesuatu yang di luar dugaan. Ia teringat pelajaran Khun Khru tentang "menyalakan lampu di dalam diri".
Secara insting, tangan mungilnya menggenggam batu kristal biru di lehernya.
"Pii Nara, batu Fah hangat," bisik Ingfah.
Nara yang mengerti langsung ikut menggenggam batunya sendiri.
"Nong Fah, ayo kita bantu... kata Kakek Biksu kita jangan takut."
Tanpa diperintah, kedua balita itu menutup mata di atas gerobak. Mereka tidak turun, tapi mereka mulai membisikkan doa perlindungan yang baru saja mereka latih di kuil.
Patan terpaku saat melihat dari leher kedua anak itu mulai memancar cahaya lembut—biru dari Ingfah dan emas dari Nara—yang perlahan merambat keluar dari gerobak menuju ke arah kerumunan yang kacau itu.
Pertarungan itu terjadi dalam keheningan yang mencekam bagi orang awam, namun riuh rendah di alam yang hanya bisa dirasakan oleh Ingfah dan Nara. Saat kedua bocah itu menggenggam kristal mereka dan merapalkan doa tulus, gelombang energi murni menyapu halaman rumah tersebut.
Sosok hitam legam yang mencengkeram wanita itu tampak menggeliat kesakitan, seolah-olah tersulut api yang tidak terlihat. Suara geramannya berubah menjadi teriakan melengking yang memekakkan telinga—suara yang hanya didengar oleh Ingfah, Nara, dan orang-orang dengan kepekaan tinggi.
BRUK!
Wanita yang tadi mengamuk tiba-tiba terkulai lemas dan jatuh pingsan setelah jeritan terakhir itu. Para pria yang menahannya terhuyung ke belakang, terkejut karena beban berat yang tadi mereka rasakan mendadak hilang. Suasana menjadi sunyi senyap seketika.
Patan melihat warga mulai saling pandang, mereka kebingungan dan mulai mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Beberapa orang mulai menoleh ke arah gerobak Patan yang berhenti tidak jauh dari sana. Mereka merasakan ada sesuatu yang "berbeda" dari arah kedua anak kecil berpakaian putih itu.
Patan, dengan naluri seorang ayah yang ingin melindungi identitas putrinya, segera bertindak. Ia tidak ingin orang-orang mulai menuduh atau mengerumuni Ingfah dan Nara sebagai anak ajaib yang bisa mengusir setan. Hal itu terlalu berbahaya bagi keselamatan mereka.
"Ayo, cepat jalan!" bisik Patan pada kerbaunya sembari mengayunkan tali kendali.
Ia memacu kerbaunya lebih cepat, meninggalkan tempat itu tepat saat beberapa warga mulai melangkah mendekat untuk bertanya. Patan tidak menoleh ke belakang. Ia ingin menjauhkan Ingfah dan Nara dari tatapan mata penuh selidik dan ketakutan warga.
Di atas gerobak, Ingfah dan Nara melepaskan genggaman pada batu kristal mereka. Wajah mereka tampak sedikit pucat karena baru saja menghabiskan banyak energi batin untuk pertama kalinya.
"Ayah... Tante itu sudah tidur," bisik Ingfah pelan, suaranya terdengar lelah.
"Iya, Nong. Guk-guk hitamnya sudah lari," tambah Nara sambil menyandarkan kepalanya ke bahu Ingfah.
Patan menarik napas panjang, mencoba menenangkan jantungnya yang berdegup kencang.
"Kalian anak-anak hebat. Tapi sekarang, diam ya. Jangan bicara soal ini lagi sampai kita tiba di rumah."
Mereka terus melaju menembus senja yang mulai jingga. Patan menyadari bahwa dunia Ingfah dan Nara tidak akan pernah sama lagi. Pelatihan di kuil baru dimulai satu hari, namun mereka sudah dipaksa oleh keadaan untuk menggunakan kekuatannya.
Sesampainya di rumah panggung, Nenek Bua, Bibi Prang, dan Bibi Prik sudah menunggu di bawah pohon. Melihat gerobak Patan datang, mereka segera menyongsong dengan perasaan lega sekaligus penuh tanya tentang apa yang dialami anak-anak itu di hari pertama mereka.
Suasana di rumah panggung itu mendadak serius. Patan meminta semua orang masuk dan menutup pintu rapat-rapat. Mereka duduk melingkar di atas lantai papan kayu yang bersih, sementara Ingfah dan Nara, meski terlihat lelah, masih asyik saling memperlihatkan batu kristal mereka di sudut ruangan.
Patan menarik napas dalam, lalu menatap Nenek Bua, Bibi Prang, dan Bibi Prik secara bergantian.
"Hari ini bukan sekadar belajar duduk diam," buka Patan dengan nada rendah.
"Khun Khru memberikan mereka batu ini—Kaeo Khon Lek. Beliau mengajari mereka mengisi batu itu dengan doa dan fokus."
Bibi Prik mengangguk pelan, ia tahu nilai batu itu. "Lalu, apa yang terjadi saat perjalanan pulang? Wajahmu terlihat tegang sejak turun dari gerobak, Patan."
Patan menceritakan kejadian di desa tadi. Ia menggambarkan bagaimana seorang wanita mengamuk dengan kekuatan yang tidak wajar, dan bagaimana Ingfah serta Nara secara insting menggenggam batu mereka dan merapal doa bersama.
"Wanita itu menjerit melengking, lalu jatuh pingsan tepat saat cahaya dari kalung anak-anak ini terpancar. Aku langsung memacu kerbau menjauh. Aku tidak ingin warga melihat atau mulai bertanya-tanya tentang anak-anak kita," lanjut Patan.
Mendengar itu, Bibi Prang menutup mulutnya dengan tangan, terkejut. Sedangkan Nenek Bua hanya bisa mengelus dada sembari beristighfar dan menyebut nama leluhur.
Bibi Prik, yang memiliki pemahaman lebih dalam, menatap kedua bocah itu dengan haru.
"Patan, itu bukan sekadar kebetulan. Jika mereka berdua sudah bisa melakukan itu di hari pertama, artinya ikatan batin mereka sangat kuat. Mereka saling melengkapi—Ingfah dengan kemurnian energinya, dan Nara dengan keteguhan jiwanya."
Namun, Bibi Prik juga memberikan peringatan keras. "Tapi kau benar, Patan. Kita harus waspada. Ayutthaya ini kecil, kabar tentang 'wanita sembuh karena gerobak lewat' bisa menyebar cepat. Kita harus menjaga mereka lebih ketat lagi. Jangan biarkan mereka menggunakan kekuatan itu di depan umum jika tidak benar-benar terdesak."
Nenek Bua kemudian mendekat ke arah Ingfah dan Nara.
"Cucu-cucuku... kalian sudah menolong orang hari ini. Itu baik. Tapi janji pada Nenek, jangan pamerkan kalung ini pada orang lain, ya? Sembunyikan di balik baju kalian."
Ingfah mendongak, matanya yang biru tampak sedikit meredup karena kantuk.
"Iya, Nenek. Kakek Biksu juga bilang ini lampu untuk di kegelapan saja."
Malam itu, mereka semua menyadari bahwa hidup dalam ketenangan hanyalah impian. Ingfah dan Nara kini bukan lagi sekadar anak-anak; mereka adalah penjaga yang belum sepenuhnya mengerti seberapa besar api yang mereka nyalakan di dalam kristal di leher mereka.
Malam itu, setelah seluruh rumah terlelap dalam kesunyian, Ingfah kembali ditarik masuk ke dalam dimensi mimpinya yang sangat jernih. Kali ini, penglihatan itu tidak lagi samar atau terasa seperti dongeng.
Dalam mimpinya, Ingfah berdiri sendirian di tengah pasar Ayutthaya. Namun, pasar itu sunyi. Langit berwarna kelabu gelap yang menekan, dan udara terasa sangat lembap hingga menyesakkan dada. Tiba-tiba, ia mendengar suara gemuruh yang datang dari arah sungai—suara air yang menghantam daratan dengan kekuatan raksasa.
****
Air bah itu datang.
Ingfah melihat gelombang air keruh setinggi atap rumah menerjang segalanya. Ia melihat kedai rempah Bibi Prik hanyut, ia melihat pohon besar di depan rumah Nenek Bua tumbang. Namun yang paling menakutkan bagi si kecil Ingfah adalah wajah-wajah yang ia kenal. Ia melihat Patan yang sedang berjuang di tengah arus, memanggil namanya, dan Nara yang menangis sambil berpegangan pada sebuah dahan rapuh.
Ingfah terbangun dengan napas tersengal-sengal dan keringat dingin membasahi baju putihnya. Ia tidak berteriak, tapi air matanya mengalir deras.
Nara, yang tidurnya selalu terjaga karena ikatan batin mereka, segera terbangun dan memeluk adiknya.
"Nong Fah... ada apa? Kamu mimpi buruk lagi?"
"Pii Nara... airnya tinggi sekali. Semua basah... Ayah panggil Fah," isak Ingfah pelan agar tidak membangunkan Patan yang tidur di dekat mereka.
Patan, yang memiliki firasat tajam sebagai seorang ayah dari anak indigo, akhirnya terbangun juga. Ia segera mendekat dan merengkuh kedua gadis kecil itu ke dalam pelukannya.
"Ayah di sini, Sayang. Fah mimpi air lagi?" tanya Patan lembut, meskipun hatinya mencelos.
"Iya, Ayah. Kali ini Fah lihat Pii Nara dan Ayah juga. Airnya jahat, dia ambil semuanya," bisik Ingfah sambil menyembunyikan wajahnya di dada Patan.
Patan menatap ke arah jendela yang tertutup. Ia tahu, mimpi Ingfah bukanlah sekadar bunga tidur.
Ini adalah Pertanda (Nimit). Di Ayutthaya, banjir tahunan adalah hal biasa, namun jika Ingfah sampai melihatnya sebagai sebuah bencana yang menyakitkan, artinya banjir kali ini akan jauh lebih besar dari biasanya.
Keesokan paginya, suasana di meja makan terasa berat. Patan menceritakan mimpi Ingfah kepada Nenek Bua dan Bibi Prik.
"Kita harus mulai bersiap," kata Bibi Prik dengan wajah serius.
"Ingfah tidak pernah melihat sesuatu tanpa alasan. Alam sedang memberi kita waktu untuk bersiap."
Bibi Prik kemudian menoleh pada Patan. "Patan, kau harus segera memperkuat fondasi rumah panggung ini, dan pastikan gerobak serta kerbaumu selalu dalam kondisi prima. Jika air itu datang secara tiba-tiba, kita harus punya jalur evakuasi."
Namun, di tengah persiapan itu, sebuah ketukan keras terdengar dari bawah rumah panggung mereka.
"Permisi! Apakah ini rumah pemilik gerobak kerbau yang lewat di desa sebelah kemarin sore?" suara seorang pria asing terdengar mencari.
Patan tertegun. Mimpi tentang bencana belum selesai dibahas, kini konsekuensi dari aksi heroik Ingfah dan Nara kemarin sudah sampai di depan pintu mereka.
Patan memberikan isyarat agar kedua bocah itu tetap di atas rumah bersama Bibi Prang. Dengan hati yang berdegup kencang dan tangan yang siap waspada, Patan turun menemui tamu tersebut.
Di bawah rumah, berdiri seorang pria paruh baya yang tampak kelelahan, ditemani oleh dua orang pemuda. Wajah mereka tidak tampak marah, melainkan penuh harap dan cemas.
"Ya, saya pemilik gerobak itu. Ada apa mencari saya?" tanya Patan dengan suara tegas namun tetap sopan.
Pria itu segera menjatuhkan diri, bersimpuh di depan Patan.
"Tuan, maafkan kelancangan kami. Saya adalah suami dari wanita yang kemarin pingsan saat gerobak Tuan lewat. Kami mencari Tuan ke setiap sudut jalan sejak tadi malam."
Patan mengerutkan kening. "Saya tidak melakukan apa-apa, saya hanya lewat."
"Tuan mungkin merasa begitu, tapi setelah gerobak Tuan lewat, istri saya bangun dalam keadaan sadar sepenuhnya. Dia seperti orang yang baru bangun dari tidur panjang. Dia ingat namanya, dia ingat anak-anaknya... sesuatu yang sudah hilang darinya selama berbulan-bulan!" pria itu memohon.
"Orang-orang di pasar bilang Tuan membawa dua anak kecil berbaju putih yang terlihat sangat... suci."
Patan terdiam. Ia tahu ia tidak bisa lagi mengelak sepenuhnya, tapi ia harus tetap melindungi Ingfah.
"Istrimu sembuh karena kehendak Yang Kuasa dan doamu sendiri, bukan karena saya."
"Kami tahu ada sesuatu yang istimewa di gerobak itu, Tuan. Tapi kedatangan saya ke sini bukan hanya untuk berterima kasih," suara pria itu merendah, ia tampak ketakutan.
"Istri saya, setelah sadar, dia terus meracau tentang sesuatu. Dia bilang, saat dia 'di sana' (alam roh), dia mendengar suara air yang sangat besar. Dia bilang akan ada air yang menelan Ayutthaya."
Patan tersentak. Kabar ini mengonfirmasi mimpi Ingfah tadi malam. Ternyata, penglihatan itu tidak hanya datang pada Ingfah, tapi juga menjadi peringatan yang disebarkan lewat roh-roh yang gelisah.
"Dia bilang... dia melihat seorang 'Anak Cahaya' yang akan menuntun orang-orang ke tempat tinggi," tambah pria itu sambil menatap Patan dengan penuh selidik.
"Apa anak itu adalah putri Tuan?"
Belum sempat Patan menjawab, terdengar suara langkah kecil dari atas rumah. Ingfah dan Nara rupanya mengintip dari celah lantai kayu.
"Ayah... dia benar," suara Ingfah terdengar pelan namun jernih dari atas.
"Airnya akan datang dari arah utara, Ayah. Warnanya merah lumpur."
Tamu di bawah rumah itu mendongak, wajahnya pucat pasi melihat sosok anak kecil dengan mata biru yang menatapnya dengan pandangan yang terlalu dewasa untuk usianya.
Patan menghela napas panjang. Rahasia yang ia simpan rapat-rapat kini mulai retak. Takdir Ingfah sebagai pembawa pesan mulai menyeret mereka ke tengah-tengah perhatian banyak orang.