Kabur dari perjodohan toksik, Nokiami terdampar di apartemen dengan kaki terkilir. Satu-satunya harapannya adalah kurir makanan, Reygan yang ternyata lebih menyebalkan dari tunangannya.
Sebuah ulasan bintang satu memicu perang di ambang pintu, tapi saat masa lalu Nokiami mulai mengejarnya, kurir yang ia benci menjadi satu-satunya orang yang bisa ia percaya.
Mampukah mereka mengantar hati satu sama lain melewati badai, ataukah hubungan mereka akan batal di tengah jalan?
Yuk simak kisahnya dalam novel berjudul "Paket Cinta" ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Imamah Nur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8. Belanja Kebutuhan Darurat
Darah Nokiami berdesir hebat kemudian serasa surut dari wajahnya. Ponsel di tangan nyaris terlepas dari genggamannya yang mendadak lemas. Ia menelan ludah kasar. Matanya terpaku pada detail foto yang dikirim oleh Leo. Dia tidak dapat menampik, gambar di layar ponselnya adalah tempatnya berada sekarang.
Pada akhirnya ponsel di tangan akhirnya jatuh juga di lantai. Selama beberapa detik, Nokiami tidak bergerak. Ia hanya menatap dinding di seberangnya dimana yang ia lihat adalah wajah Leo yang tersenyum. Senyum yang membuat jantungnya berdebar begitu kencang hingga dadanya terasa sakit.
Apartemen yang tadinya terasa seperti benteng perlindungan kini berubah menjadi sangkar kaca. Setiap jendela terasa seperti mata yang mengawasinya. Suara pendingin ruangan yang mendengung pelan kini terdengar seperti bisikan ancaman.
"Dimanakah posisi Leo sekarang? Jangan-jangan ...."
Pikiran itu membuatnya bergerak. Dengan panik, ia melompat dengan satu kaki menuju jendela, mengabaikan rasa sakit yang menyengat di pergelangan kakinya. Ia mengintip dari balik tirai tipis, jantungnya serasa akan meledak. Jalanan di bawah tampak normal. Mobil-mobil berlalu lalang, beberapa pejalan kaki menyusuri trotoar. Tidak ada yang mencurigakan. Tidak ada mobil hitam mewah yang terparkir dengan ganjil. Tidak ada sosok familier yang berdiri mengamati.
Akan tetapi, ketiadaan bukti itu justru lebih menakutkan. Itu artinya Leo cerdas. Ia tidak akan mengekspos dirinya sendiri. Ia akan menunggu, menikmati rasa takut Nokiami yang memuncak, seperti kucing yang bermain-main dengan mangsanya sebelum menerkam.
Stelah membaca chat dari Leo, Nokiami hidup dalam ketakutan. Dia pun tidak berani memesan makanan online seperti sebelumnya sebab takut Leo menyuruh orang memasukkan sesuatu ke dalam makanannya. Ketika lapar, ia makan sisa makanan yang ada di kulkas Rina. Sepotong roti tawar yang sudah kadaluarsa terpaksa dia makan.
"Ya Tuhan, semoga ini tidak bermasalah terhadap kesehatan," doanya sebelum menelan roti tawar pelan-pelan. Tidak terasa setitik air matanya jatuh di pipi.
Setelah persediaan roti tawar habis Nokiami beralih merebus serta menggoreng telur lalu memakannya bersama saus sambal. Untuk minumnya ia pun terpaksa meneguk air keran karena galon di dispenser sudah kosong.
Dua hari dia hidup dalam ketakutan hingga setiap bel pintu sebelah berbunyi, ia akan menahan napas dan bersembunyi di balik sofa, memeluk lututnya erat-erat hingga buku-buku jarinya memutih.
Pada hari ketiga, persediaan makanan benar-benar habis. Perutnya melilit bukan hanya karena lapar, tetapi juga karena cemas. Pergelangan kakinya masih bengkak dan berdenyut nyeri. Obat pereda nyeri yang ia temukan di kotak P3K Rina sudah tandas. Ia tidak punya pilihan. Kelaparan akan membuatnya lemah, dan ia harus tetap kuat jika sewaktu-waktu harus kembali melarikan diri.
Dengan tangan gemetar, ia membuka aplikasi hijau laknat itu. Namun, kali ini ia tidak membuka layanan pesan-antar makanan. Ia memilih fitur mart. Layanan belanja kebutuhan sehari-hari. bahan makanan mentah dalam kemasan tertutup jauh lebih aman. Tidak ada yang bisa meracuni sebungkus mi instan atau sekantong beras tanpa merusak segelnya, begitu pikiran Nokiami.
Jarinya menari di atas layar, memasukkan barang-barang ke keranjang virtual. Beras kemasan satu kilogram, beberapa bungkus mi instan, telur, beberapa kaleng sarden, bawang merah, bawang putih. Kemudian, ia beralih ke bagian obat-obatan. Perban elastis baru, salep pereda nyeri, dan sebotol parasetamol.
Ia memeriksa ulang daftar belanjaannya. Siapa pun yang melihat pesanan ini pasti akan bertanya-tanya. Tapi ia tidak peduli.
“Tolong, siapa saja,” bisiknya pada layar ponsel saat menekan tombol ‘Pesan’. “Siapa saja, asal bukan dia.”
Harapannya sia-sia. Lima menit kemudian, notifikasi yang paling ia benci muncul di layar. Pengemudi Reygan sedang dalam perjalanan ke toko.
Nokia memejamkan matanya, merasakan keputusasaan mulai kembali. Dari sekian banyak pengemudi di kota ini, kenapa harus selalu dia? Apa ini takdir? Atau semesta memang senang melihatnya menderita?
Kali ini, perasaannya berbeda. Amarahnya pada Reygan telah menyusut, tergantikan oleh ketakutan yang jauh lebih besar pada Leo. Pria balok es itu, dengan segala kekurangajaran dan penghinaannya, setidaknya adalah ancaman yang bisa ia lihat dan hadapi. Leo adalah monster tak terlihat yang bersembunyi di bayang-bayang.
Setengah jam kemudian, bel berbunyi.
Nokiami menyeret dirinya ke pintu, jantungnya berdebar karena perasaan yang campur aduk. Ia membuka pintu perlahan.
Reygan berdiri di ambang pintu, memegang dua kantong belanjaan besar. Ekspresinya lebih jengkel dari biasanya. Jelas sekali, pesanan yang rumit dan harus mencari barang di rak-rak toko bukanlah tugas favoritnya.
“Pesanan Nokiami,” katanya, nadanya lebih datar dari aspal jalan.
“Iya,” jawab Nokiami singkat, mengulurkan tangan untuk mengambil kantong itu.
Namun, Reygan tidak langsung memberikannya. Matanya menyipit, memindai isi kantong belanjaan yang sedikit tembus pandang. Lalu, tatapannya beralih ke wajah Nokiami.
“Tumben,” ujarnya, lebih seperti pernyataan daripada pertanyaan. “Biasanya pesan makanan mahal yang tinggal telan. Sekarang mendadak jadi rajin? Mau masak sendiri?”
Sarkasme dalam suaranya begitu kental. Nokia menarik napas, mencoba menahan diri. “Memangnya kenapa? Nggak boleh?”
“Boleh saja,” sahut Reygan, sedikit memiringkan kepala. “Cuma aneh. Kemarin pesan soto sama bubur, hari ini beli beras, sarden, sama mie instan. Turun kasta, ya?”
“Bukan urusanmu!” balas Nokiami tajam, rasa jengkelnya mulai kembali. “Kasih belanjaannya sini!"
“Sabar.” Reygan mengangkat salah satu kantong, menunjuk isinya dengan dagunya. “Beras, mie, sarden. Ini makanan buat orang yang lagi hemat, atau orang yang nggak berani keluar rumah buat waktu yang lama.”
Jantung Nokiami mencelos karena tebakan Reygan tepat sasaran. Pria ini, dengan segala ketidakpeduliannya, ternyata adalah pengamat yang tajam.
“Aku cuma lagi mau belajar masak,” dalih Nokia, suaranya terdengar lemah bahkan di telinganya sendiri.
Reygan tertawa kecil.
“Belajar masak? Dengan sarden kalengan? Cerita yang bagus.”
Tatapannya menajam. “Jadi, yang mana? Lagi bokek karena kebanyakan foya-foya, atau lagi sembunyi dari seseorang?”
Setiap kata terasa seperti tusukan jarum, masing-masing mengenai saraf yang paling sensitif. Bokek. Sembunyi. Tuduhan itu terlalu dekat dengan kebenaran, meskipun untuk alasan yang salah.
“Kamu ini kurir atau detektif, sih?” bentak Nokiami, amarahnya kini menjadi satu-satunya perisai untuk menutupi kepanikannya. “Kerjaanmu itu cuma mengantar barang, bukan menganalisis isi belanjaan orang! Apa itu ada di prosedur perusahaanmu yang kaku itu, hah?”
“Prosedurku bilang aku harus waspada sama hal-hal aneh,” balas Reygan tenang, sama sekali tidak terpengaruh oleh ledakan emosi Nokiami.
“Dan pelanggan yang pesanannya berubah drastis dari ‘ratu manja’ jadi ‘pengungsi perang’ dalam dua hari itu termasuk aneh.”
“Aku tidak punya waktu untuk ini!” seru Nokia, mencoba merebut kantong belanjaan dari tangan Reygan. “Berikan itu padaku!”
Reygan menarik kantong itu sedikit, membuatnya tetap di luar jangkauan Nokia. Gerakannya tenang dan penuh perhitungan, membuat Nokiami semakin frustrasi.
“Kasih aku satu alasan yang masuk akal, dan aku akan pergi,” tantang Reygan, matanya menatap lurus ke mata Nokiami.
“Kenapa tiba-tiba belanja bahan mentah? Kenapa pesan obat-obatan lagi? Kakimu itu sebenarnya kenapa?”
“Sudah kubilang, bukan urusanmu!” pekik Nokia.
Ia benci merasa seperti ini. Terpojok, diinterogasi, dan tak berdaya. Pria di hadapannya ini telah meruntuhkan pertahanannya dua kali. Pertama dengan penghinaan fisik, dan sekarang dengan analisisnya yang menusuk.
Reygan mendesah, tatapannya beralih ke kantong belanjaan di tangannya yang lain. Ia merogoh ke dalamnya dan mengeluarkan sebuah kotak perban elastis dan sebotol parasetamol, mengangkatnya seolah itu adalah barang bukti di pengadilan.
“Lihat, kan? Masih beli beginian,” katanya dengan nada sinis yang menyakitkan.
“Sudah berhari-hari. Kalau memang separah itu, kenapa tidak ke rumah sakit? Kenapa malah mengurung diri di sini dan merepotkan orang lain?”
Reygan melangkah maju satu langkah, tatapannya dingin dan menghakimi. Ia menyodorkan kantong berisi obat-obatan itu ke arah Nokiami dengan kasar.
“Ini.” Suaranya rendah dan penuh dengan cemoohan. “Berhenti berpura-pura lumpuh. Aku benci orang yang dramatis.”