Dia mendengar kalimat yang menghancurkan hatinya dari balik pintu:
"Dia cuma teman tidur, jangan dibawa serius."
Selama tiga tahun, Karmel Agata percaya cintanya pada Renzi Jayawardhana – bosnya yang jenius dan playboy – adalah kisah nyata. Sampai suatu hari, kebenaran pahit terungkap. Bukan sekadar dikhianati, dia ternyata hanya salah satu dari koleksi wanita Renzi.
Dengan kecerdasan dan dendam membara, Karmel merancang kepergian sempurna.
Tapi Renzi bukan pria yang rela kehilangan.
Ketika Karmel kembali sebagai wanita karir sukses di perusahaan rival, Renzi bersumpah merebutnya kembali. Dengan uang, kekuasaan, dan rahasia-rahasia kelam yang ia simpan, Renzi siap menghancurkan semua yang Karmel bangun.
Sebuah pertarungan mematikan dimulai.
Di papan catur bisnis dan hati, siapa yang akan menang? Mantan sekretaris yang cerdas dan penuh dendam, atau bos jenius yang tak kenal kata "tidak"?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NonaLebah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 8
Ruangan ber-AC itu dipenuhi oleh para eksekutif dari berbagai perusahaan tambang ternama. Suara rendah para peserta saling bersapa, sementara di layar besar tertulis "LELANG TENDER PROYEK NIKEL HIJAU - GREEN ENERGY CORP". Di barisan depan, Karmel duduk dengan percaya diri di sebelah Tomi Atmaja, mempersiapkan presentasi terakhirnya.
Tiba-tiba, napasnya tersangkut. Dari seberang ruangan, Renzi Jayawardhana dengan santai duduk di meja bertanda "TITANIUM RESOURCES GROUP (TRG)" perusahaan milik Herry, seolah-olah itu adalah tempatnya yang semestinya. Mata mereka bertemu, dan Renzi membalas tatapan terkejut Karmel dengan senyum tipis yang penuh arti, membuat jantung Karmel berdebar kencang.
Sesi presentasi dimulai. Karmel maju dengan elegan, mempresentasikan perusahaan Tomi dengan data yang solid dan analisis mendalam. Suaranya jelas dan meyakinkan saat menjelaskan keunggulan cadangan nikel mereka, teknologi pemrosesan terkini, serta komitmen terhadap keberlanjutan lingkungan. Para audiens, termasuk perwakilan Green Energy Corp, terlihat terkesan. Namun, Renzi di seberang ruangan hanya duduk tenang, senyum kecil tak pernah lepas dari bibirnya.
Ketika giliran TRG tiba, Renzi berdiri dengan percaya diri. Langkahnya mantap menuju podium. Begitu dia mulai berbicara, seluruh ruangan terpukau. Suaranya yang dalam dan penuh wibawa memaparkan data yang begitu detail, bahkan melampaui apa yang telah disampaikan Karmel. Dia tidak hanya menjual nikel, tetapi sebuah visi kemitraan jangka panjang yang revolusioner, didukung oleh teknologi mutakhir dan strategi logistik yang efisien.
Kemudian, dengan licik, Renzi menyoroti "kelemahan" dalam proposal perusahaan Tomi. "Saya perhatikan, dalam analisis biaya logistik, ada beberapa rute pengiriman yang tidak efisien dan berpotensi menambah biaya produksi hingga 15%," ujarnya, menatap langsung ke arah Karmel. "Dalam bisnis yang kompetitif seperti ini, efisiensi adalah kunci utama."
Karmel terdiam, dadanya sesak. Renzi benar. Ada satu titik lemah dalam perhitungannya yang dia lewatkan, dan Renzi, dengan otak jeniusnya, berhasil menemukan dan menggunakannya untuk menjatuhkannya.
Pengumuman pemenang akhirnya dibacakan. "Green Energy Corp memutuskan... mitra yang terpilih adalah TITANIUM RESOURCES GROUP!"
Kekecewaan terpancar jelas di wajah Karmel. Dia memandang Renzi, yang kini tersenyum lebar, bukan karena kemenangan, tetapi karena dia berhasil mengalahkannya di arena yang dia kuasai. Pertempuran ini mungkin dimenangkan Renzi, tapi perang di antara mereka jelas belum berakhir.
Suara langkah kaki para eksekutif yang bergegas keluar masih bergema di lobi hotel yang megah. Cahaya lampu kristal menerangi wajah-wajah yang baru saja menyaksikan pertarungan sengit dalam ruang lelang. Di tengah kerumunan, Karmel terlihat sedang berjalan cepat, tas kerjanya tergenggam erat, wajahnya masih memerah oleh kekalahan dan amarah.
"Hay, Mel..." sapa Herry tiba-tiba muncul di hadapannya, disusul Renzi yang berjalan dengan langkah santai bak pemenang yang sudah tahu hasilnya.
Karmel berhenti, matanya yang tajam menyapu kedua pria itu dengan pandangan penuh sinis. Bibirnya mengerut.
"Kenapa, sayang? Capek?" ujar Renzi dengan senyum mengejek. Tangannya terkantong-kantong, menunjukkan sikap superiornya. Matanya yang dingin memandangi Karmel dari ujung kepala sampai kaki, seolah menikmati setiap detil kekecewaannya.
Karmel tak menghiraukan Renzi. Dia menatap langsung ke arah Herry, suaranya rendah tapi tajam. "Kenapa harus bawa-bawa dia, Her?" tatapannya penuh tuduhan. "Modal kepercayaan diri sendiri aja nggak cukup?"
Herry terkekeh, tak terganggu oleh sikap dingin Karmel. "Apa salahnya bantu sahabat sendiri?" balasnya sambil tersenyum lebar, merasa puas dengan kemenangan mereka.
"Cocok! Duo brengsek." Karmel membalas dengan suara getir sebelum berbalik dan meninggalkan mereka dengan langkah cepat. Gaun bisnisnya yang elegan berkibar sedikit oleh gerakannya yang tajam.
Herry memandangi sosok Karmel yang menjauh, lalu bersiul pelan. "Jadi cantik ya kalau Karmel lagi marah."
Renzi segera melirik Herry dengan tatapan tak suka, matanya menyipit memberikan peringatan.
"Santai, bos," Herry segera menenangkan, mengangkat kedua tangannya. "Gue cuma bercanda. By the way, thank you for your support." Ucapan terima kasihnya tulus, namun Renzi sudah tak mendengarkan.
Pandangan Renzi kembali tertuju pada Karmel yang sudah hampir mencapai pintu keluar. Dan benar kata Herry – bahkan dalam kemarahannya, Karmel terlihat memesona. Pipinya yang merona, mata yang berapi-api, bahkan cara dia berjalan dengan penuh amarah – semuanya justru membuatnya semakin menarik. Ada kekuatan baru dalam dirinya yang membuat Renzi semakin terpikat. Bukan lagi sekadar ingin memiliki, tapi sebuah obsesi untuk menaklukkan kembali wanita yang kini begitu berapi-api dan independen