Di Shannonbridge, satu-satunya hal yang tidak bisa direncanakan adalah jatuh cinta.
Elara O'Connell membangun hidupnya dengan ketelitian seorang perencana kota. Baginya, perasaan hanyalah sebuah variabel yang harus selalu berada di bawah kendali. Namun, Shannonbridge bukan sekadar desa yang indah; desa ini adalah ujian bagi tembok pertahanan yang ia bangun.
Di balik uap kopi dan aroma kayu bakar, ada Fionn Gallagher. Pria itu adalah lawan dari semua logika Elara. Fionn menawarkan kehangatan yang tidak bisa dibeli dengan kesuksesan di London. Kini, di tengah putihnya salju Irlandia, Elara terperangkap di antara dua pilihan.
Apakah ia akan mengejar masa depan gemilang yang sudah direncanakan, atau berani berhenti berlari demi pria yang mengajarkannya bahwa kekacauan terkadang adalah tempat ia menemukan rumah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chrisytells, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 8 : Kencan Perdesaan yang Tidak Terukur
Pukul 11.00 pagi. Udara di luar kedai kopi ‘The Crooked Spoon’ terasa dingin yang menusuk, tetapi di dalam, ketegangan antara Elara dan Fionn terasa hangat—sisa dari insiden memalukan pagi sebelumnya dan janji kerja sama mereka.
“Elara, kita tidak bisa merencanakan efisiensi tanpa memahami lingkungan kerja,” kata Fionn, berdiri di depan Elara yang sudah siap dengan tablet dan pena favoritnya.
“Fionn, lingkungan kerja kita adalah kedai kopi. Aku sudah melihatnya. Kita bisa mulai dengan data penjualan,” balas Elara, nadanya datar. Ia masih sedikit canggung setelah insiden handuk pagi sebelumnya.
Elara sudah siap dengan tablet dan pena favoritnya, siap memulai sesi pertama ‘Rencana Tiga Bulan Kontrol Kerusakan’—membuat Gantt Chart untuk penataan ulang menu. Fionn, bagaimanapun, memiliki agenda yang berbeda.
“Tidak, Elara. Kita tidak bisa mulai dengan data. Itu melanggar prinsip planning yang sehat,” kata Fionn, menyandarkan diri di konter, matanya yang biru jernih menatap Elara. Ia mengenakan mantel tebal, siap untuk keluar.
Elara mengerutkan kening. “Melanggar prinsip? Fionn, perencanaan dimulai dengan data! Apa yang melanggar prinsip adalah mengabaikan data.”
“Tidak. Perencanaan yang baik dimulai dengan pemahaman konteks. Kau adalah co-plannerku. Kau baru saja pulih dari panik attack dan trauma visual. Sebelum kita mengatur menu dan Segitiga Kerja, kita harus mengatur keseimbangan emosionalmu. Ini adalah Studi Lapangan Kesehatan Emosional.”
“Studi Lapangan Kesehatan Emosional?” Elara mendengus. “Aku menduga kau baru saja mengarangnya. Kau ingin mengajakku kencan, Fionn. Akui saja.”
Fionn tersenyum, senyumnya yang khas dan mempesona. “Baik. Aku mengajakmu kencan perdesaan. Kau anggap itu sebagai kompensasi atas semua kekacauan yang kutimbulkan. Kita harus melihat pemandangan terbaik di tepi Sungai Shannon, karena itu adalah satu-satunya tempat yang akan memaksamu untuk melepaskan spreadsheet dari kepalamu.”
“Pemandangan terbaik? Di tengah salju dan es? Itu adalah risiko yang tidak terukur,” balas Elara, tetapi ada nada penasaran dalam suaranya.
“Risiko yang terukur, Nona. Aku akan menanganimu. Aku akan menjadi asuransi perjalanmu. Satu syarat: Jika kau mencoba memikirkan tentang alur pesanan, aku akan memaksamu makan tiga scone sekaligus.”
Elara akhirnya menghela napas, kalah. Ide untuk tidak memikirkan planning selama satu jam terasa sangat aneh, tetapi setelah ketegangan pagi itu, ia mungkin memang membutuhkannya.
“Baiklah, Tuan Gallagher. Kencan pedesaan. Tapi jika kau mencoba melakukan sesuatu padaku, kau akan mendapatkan Gantt Chart yang menunjukkan semua kelemahanmu dalam pengelolaan inventaris. Jelas?”
“Sangat jelas. Tapi jika kau tersenyum sungguhan, aku akan menganggapnya sebagai Indikator Kinerja positif yang memenuhi tujuan misi kita. Ayo, kita perlu scarf tebal dari Bibi O’Malley. Dia juga baru memanggang,” ajak Fionn.
Perjalanan dimulai, Fionn membawa Elara ke pondok utama yang disewakan Fionn. Di sana, Bibi O’Malley—kakak dari Moira dan pembuat scone legendaris—sedang sibuk di dapur. Aroma tepung, mentega, dan buttermilk langsung menyelimuti Elara.
Bibi O’Malley, seorang wanita dengan mata yang penuh humor dan lengan yang kuat, menatap Elara dari atas ke bawah.
“Ah, Fionn! Anak nakal ini! Kau ingin membawa Nona O’Connell keluar di udara sedingin ini? Dia akan membeku!” seru Bibi O’Malley.
“Dia butuh lapisan ekstra, Bibi. Dan scone sebagai bekal. Kami sedang dalam ‘Studi Lapangan Pemasaran Suasana’,” Fionn menjelaskan.
Bibi O’Malley tertawa terbahak-bahak, lalu menyodorkan nampan berisi scone madu yang masih hangat pada Elara.
“Ambil, Sayang. Jangan menolak scone. Scone adalah bukti bahwa terkadang, ketidaksempurnaan adalah yang terbaik,” katanya, mendesak Elara untuk mengambil dua buah.
Elara mengambil scone itu. Kehangatan scone itu menembus sarung tangannya.
“Saya dengar Anda adalah Master of Scone,” ujar Elara. “Scone Anda adalah benchmark kualitas yang sulit diukur.”
“Sulit diukur, memang! Karena aku membuatnya tanpa batas waktu, Sayang. Fionn bilang kau hidup dengan jadwal. Tapi tahukah kau apa yang membuat scone ini naik sempurna, selain bahan terbaik?”
Elara berpikir sejenak. “Baking powder yang tepat?”
“Sentuhan pribadi, dan kebetulan. Adonan scone tidak suka diatur. Semakin kau mencoba mengontrolnya, semakin padat dan keras jadinya. Kau harus membiarkannya kacau, membiarkannya bernapas, membiarkannya naik karena alasan alami. Begitu juga hati, Elara. Kau terlalu mengontrolnya, membuatnya keras dan padat. Kau harus membiarkannya kacau,” Bibi O’Malley tersenyum penuh makna, sambil melilitkan scarf rajutan tebal di leher Elara.
Fionn, yang sudah tahu filosofi ini, terkekeh. “Dengar itu, Elara. Scone tidak suka Gantt Chart.”
“Tapi scone Anda rasanya selalu sama enaknya, Bibi O’Malley. Itu menunjukkan konsistensi,” Elara mencoba membela planning.
“Konsistensi dalam kebaikan hati, bukan konsistensi dalam timer. Pergi sana! Biarkan anak ini menunjukkan padamu bahwa ada keindahan di luar garis lurus,” Bibi O’Malley mendesak.
Fionn dan Elara berjalan menuju tepi Sungai Shannon. Jalan setapak itu berliku, berlumpur yang membeku, dan tidak efisien sama sekali.
“Kau lihat, Elara? Ini adalah hidupku. Tidak ada yang lurus di sini,” kata Fionn.
“Itu tidak efisien. Tapi scarf ini hangat sekali. Terima kasih,” ujar Elara, mencoba fokus pada hal-hal positif yang terukur.
Fionn menghentikan langkahnya. “Mari kita coba sesuatu. Jangan bicara tentang planning. Bicara tentang perasaan. Apa yang kau rasakan sekarang?”
Elara berpikir keras. “Aku merasa… gugup. Karena kita semakin dekat ke sungai yang licin. Dan aku tidak membawa asuransi.”
“Aku adalah asuransimu. Lanjut. Apa lagi?”
“Aku merasa senang karena scarf ini, dan scone Bibi O’Malley terlalu enak untuk dilewatkan. Dan aku merasa… canggung, karena kau melihat aku, tanpa sehelai… yah, kau tahu,” Elara berbisik, wajahnya memerah.
Fionn tertawa lembut. “Itu kejujuran. Aku menghargainya. Aku juga merasa canggung. Tapi aku juga merasa senang karena kau mau bersamaku di sini. Aku tahu ini adalah langkah besar untuk Elara si Planner.”
Mereka mencapai tepi sungai. Permukaan sungai Shannon membeku, tetapi esnya tidak merata, menciptakan tekstur yang rumit.
“Lihat, Elara. Es itu indah, bukan? Itu adalah perjuangan air melawan dingin. Jika airnya menyerah, ia akan beku sempurna. Tapi ia berjuang, menciptakan pola yang tidak terulang,” Fionn menjelaskan.
“Itu berisiko, Fionn. Itu bisa retak sewaktu-waktu,” Elara memperingatkan.
“Justru itu intinya. Kau takut hidupmu retak. Aku takut hidupku beku,” balas Fionn, tatapannya menusuk.
Tiba-tiba, langkah Elara terpeleset di atas lumpur beku. Ia oleng.
Fionn bereaksi cepat, meraih pinggang Elara dan menariknya ke tubuhnya. Keduanya bergerak sangat dekat, wajah Elara mendarat di bahu Fionn. Elara bisa mencium aroma pinus dan kopi yang selalu ada pada Fionn.
“Astaga!” Elara terkesiap.
“Strategi penyelamatan cepat: merangkul sang perencana,” bisik Fionn, masih menahan Elara erat-erat. “Kau baik-baik saja?”
“Ya… tapi ini tidak ada di jadwal kita,” Elara bergumam, tetapi ia tidak buru-buru melepaskan diri. Kehangatan Fionn di tengah dinginnya udara terasa sangat nyaman.
“Semua hal terbaik tidak ada di jadwal,” Fionn melepaskan Elara perlahan, tetapi ia tetap memegang tangan Elara erat-erat. “Jalan di sini sangat licin. Kita harus melakukan ini. Strategi Kerja Sama Perdesaan: aku akan menjadi jangkar stabilmu. Kau berjanji tidak akan merencanakan langkahmu, kau hanya percaya pada jangkar-mu.”
Elara setuju. Mereka berjalan menyusuri tepi sungai, tangan mereka saling berpegangan di dalam sarung tangan tebal. Fionn menuntun, dan Elara membiarkan dirinya dituntun. Itu adalah hal pertama yang ia lakukan tanpa perencanaan dalam waktu yang sangat lama.
Mereka tiba di sebuah batu besar yang memberikan pemandangan terbaik di tepi sungai Shannon. Dari sana, desa Shannonbridge terlihat tenang, seolah tertidur di bawah selimut salju. Cahaya matahari musim dingin memantul di atap-atap pondok.
“Ini dia, Elara. Pemandangan terbaik,” kata Fionn.
Elara terkesima. Pemandangan itu luar biasa. Bukan karena garis lurusnya, tetapi karena harmoni dari semua elemen yang tidak teratur itu.
“Fionn… ini, ini adalah sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Tidak ada data yang bisa memuat keindahan ini,” aku Elara.
Fionn berdiri di sampingnya, membiarkan keheningan menguasai.
“Kau ingin tahu kenapa aku hidup di sini, Elara? Karena di sini, aku tidak perlu merencanakan untuk merasa terkejut dan senang. Lihat, keindahan itu datang secara organik,” Fionn menoleh padanya.
“Aku tahu, Fionn. Tapi aku takut pada organik,” Elara berbisik, menatap sungai yang beku. “Aku takut kalau aku membiarkan hatiku jatuh cinta pada keindahan ini—pada kekacauan ini, pada dirimu—aku akan kembali terluka parah. Sama seperti aku terluka saat proyekku hancur.”
Fionn meraih kedua bahu Elara, memaksanya menatapnya. “Cinta dan hidup itu adalah risiko, Elara. Aku tidak bisa menjanjikanmu bahwa aku tidak akan ceroboh, atau bahwa aku tidak akan menyakitimu. Aku ceroboh. Aku pria yang kacau. Tapi aku bisa berjanji satu hal: Aku tidak akan pernah meninggalkanmu di tengah badai salju.”
Jantung Elara berdebar kencang. Itu adalah janji paling mendalam yang pernah ia dengar.
“Aku ingin kau menambahkan aku ke Gantt Chart hidupmu, Elara,” Fionn mencondongkan tubuh sedikit. “Bukan sebagai ‘Proyek Hubungan Jangka Panjang’, tapi sebagai ‘Fase Improvisasi Wajib’. Bisakah kau menerima variabel yang tidak terukur dalam perencanaanmu?”
Elara merasakan air mata menggenang. Perasaan takut dan keinginan bercampur aduk.
“Aku tidak tahu bagaimana… tapi aku ingin,” Elara mengakui. “Aku ingin mencoba. Aku ingin belajar bagaimana membiarkan sesuatu yang baik datang tanpa harus merencanakannya.”
Fionn tersenyum, senyum penuh kelegaan dan kehangatan. Ia melepaskan bahu Elara, tetapi menggenggam tangannya lagi.
“Bagus. Mari kita mulai. Tujuan kencan ini tercapai. Sekarang, mari kita kembali. Aku janji aku tidak akan menciummu di sini, karena aku tidak mau mencampur adukkan strategi bisnis dengan emosi. Tapi aku akan menciummu di tempat yang tepat, di waktu yang tepat—waktu yang tidak ada di jadwalmu.”
Elara merasa pipinya panas lagi, tetapi kali ini karena antisipasi, bukan karena rasa malu.
“Baiklah, Fionn. Kita kembali. Aku ingin membuat Gantt Chart itu. Aku ingin mengatur kekacauan ini,” Elara mengangguk, membalas genggaman tangan Fionn.
Saat mereka berbalik dan berjalan kembali, Elara mencuri pandang pada scarf tebal yang dililitkan Bibi O’Malley di lehernya, mencium samar-samar aroma scone dan cinnamon. Ia menyadari bahwa scone itu memang benar: keindahan dan kehangatan sejati seringkali datang dari kekacauan yang organik.