"Aku mati. Dibunuh oleh suamiku sendiri setelah semua penderitaan KDRT dan pengkhianatan. Kini, aku kembali. Dan kali ini, aku punya sistem."
Risa Permata adalah pewaris yang jatuh miskin. Setelah kematian tragis ayahnya, ia dipaksa menikah dengan Doni, anak kepala desa baru yang kejam dan manipulatif. Seluruh hidup Risa dari warisan, kehormatan, hingga harga dirinya diinjak-injak oleh suami yang berselingkuh, berjudi, dan gemar melakukan KDRT. Puncaknya, ia dibunuh setelah mengetahui kebenaran : kematian orang tuanya adalah konspirasi berdarah yang melibatkan Doni dan seluruh keluarga besarnya.
Tepat saat jiwanya lepas, Sistem Kehidupan Kedua aktif!
Risa kembali ke masa lalu, ke tubuhnya yang sama, tetapi kini dengan kekuatan sistem di tangannya. Setiap misi yang berhasil ia selesaikan akan memberinya Reward berupa Skill baru yang berguna untuk bertahan hidup dan membalikkan takdir.
Dapatkah Risa menyelesaikan semua misi, mendapatkan Skill tertinggi, dan mengubah nasibnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kde_Noirsz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18 : Iblis Berwajah Malaikat
Bau antiseptik yang menyengat menyambut kesadaran Risa. Ia terbangun di sebuah kamar medis pribadi di dalam mansion Adhyaksa, bukan di rumah sakit umum. Tubuhnya terasa kaku, dibalut perban dari perut hingga bahu. Secara ajaib, luka tikaman Doni tidak membunuhnya, namun rasa sakit yang tersisa terasa seperti peringatan bahwa ia masih terjebak dalam neraka yang sama, hanya dengan sipir yang berbeda.
Di samping tempat tidurnya, Revano Adhyaksa duduk dengan tenang, membaca laporan keuangan di tabletnya. Pria itu tampak sangat rapi, seolah-olah baku tembak berdarah kemarin hanyalah gangguan kecil dalam jadwal harian yang sibuk.
"Kau sudah bangun," ujar Revano tanpa menoleh. Suaranya dingin, namun ada nada kepuasan di sana. "Dokter bilang kau memiliki kemauan hidup yang luar biasa. Baguslah. Akan sangat merepotkan jika kau mati sebelum kita menyelesaikan urusan kita."
Risa mencoba bicara, namun tenggorokannya terasa seperti terbakar. "Doni..."
"Mati," potong Revano singkat. "Aku sudah membereskan mayatnya. Desa Makmur sekarang menganggapnya sebagai buronan yang tewas dalam baku tembak antar mafia. Nama baik keluarga Permata sedikit 'dibersihkan' berkat pengaruhku, tapi itu tentu saja ada harganya."
Risa menatap langit-langit kamar yang dihiasi ukiran mewah. Pikirannya melayang kembali ke kata-kata terakhir Doni sebelum ia tewas. “Kau menggunakan ayahku untuk menjatuhkan Baskoro!”
"Benarkah apa yang dikatakan Doni?" suara Risa terdengar parau, nyaris berbisik.
Revano meletakkan tabletnya. Ia berdiri dan berjalan menuju jendela besar yang memperlihatkan pemandangan kota dari ketinggian bukit. "Doni adalah pion yang bodoh, tapi terkadang orang bodoh bisa melihat garis besar permainan."
Revano berbalik, menatap Risa dengan senyum tipis yang sangat mengerikan. "Ya, Risa. Ayahmu, Baskoro, terlalu idealis. Dia menemukan sumber daya yang bisa mengubah peta ekonomi negara ini, tapi dia menolak untuk bekerja sama dengan Adhyaksa Group. Dia ingin mengelolanya sendiri untuk 'kesejahteraan desa'. Itu adalah pemikiran yang sangat naif."
Jantung Risa berdegup kencang. Kebenaran mulai terungkap, lebih pahit dari racun apa pun.
"Jadi... kau yang menyuruh Pak Surya?"
Revano tertawa kecil, suara tawa yang elegan namun hampa. "Aku tidak menyuruh mereka membunuh. Aku hanya memberikan 'insentif'. Aku memberikan informasi pada Pak Surya tentang betapa kayanya ladang utara itu. Aku membiarkan mereka merasa serakah. Aku hanya menyediakan panggung, Risa. Keluarga Wijaya yang memilih untuk menjadi pembunuhnya."
Risa memejamkan mata, air mata mengalir melewati pelipisnya. Selama ini ia mengira keluarga Wijaya adalah musuh tunggalnya. Ternyata, mereka hanyalah alat yang digunakan Revano untuk menghancurkan ayahnya tanpa harus mengotori tangannya sendiri. Revano menunggu di bayang-bayang, membiarkan Risa disiksa, membiarkan ayahnya mati, hanya agar ia bisa muncul sebagai "pahlawan" saat Risa sudah tidak punya pilihan lain selain menyerahkan segalanya.
"Kau... kau lebih buruk dari Doni," rintih Risa.
"Mungkin," jawab Revano acuh tak acuh. "Tapi aku adalah pemenangnya. Sekarang, karena Doni sudah tidak ada, kau tidak punya alasan untuk menunda pernikahan kita. Aku butuh tanda tanganmu di wasiat asli Baskoro yang sudah aku modifikasi. Setelah itu, kau bisa hidup tenang di sini sebagai Nyonya Adhyaksa. Kau akan punya segalanya—perhiasan, pelayan, kemewahan kecuali kebebasanmu."
Selama beberapa hari berikutnya, Risa diperlakukan seperti ratu di dalam penjara emas. Setiap luka-lukanya dirawat oleh dokter terbaik, makanannya disiapkan oleh koki ternama, namun ia selalu berada di bawah pengawasan kamera dan penjaga bersenjata.
Revano tidak lagi berpura-pura baik. Ia sering masuk ke kamar Risa hanya untuk mengingatkannya betapa tidak berdayanya ia.
"Jangan mencoba mencari bantuan, Risa," ujar Revano suatu malam saat ia memaksa Risa makan. "Polisi, pejabat daerah, bahkan wartawan yang meliput kasusmu... semuanya ada di bawah payung Adhyaksa. Jika aku bilang kau gila, maka seluruh dunia akan menganggapmu gila."
Risa hanya diam. Di dalam batinnya, sistem yang ia lihat saat mati suri kembali muncul secara samar.
[TING! LEVEL KEBENCIAN MENINGKAT: 150%]
[SUBJEK MULAI MEMAHAMI POLA PERMAINAN ANTAGONIS UTAMA.]
[MISI HIDUP PERTAMA: BERTAHAN HINGGA TITIK KEMATIAN SEMPURNA UNTUK MEMBUKA KEKUATAN REINKARNASI.]
Risa mulai menyadari bahwa kehidupan pertamanya ini memang dirancang untuk hancur. Ia tidak bisa menang melawan Revano sekarang. Kekuatannya terlalu kecil. Namun, ia bisa mengumpulkan informasi. Ia bisa mempelajari bagaimana Revano bekerja, siapa sekutunya, dan di mana kelemahannya.
Suatu sore, Leo, asisten Revano, masuk ke kamar saat Revano sedang pergi ke luar kota. Leo tampak ragu-ragu. Ia adalah pria yang sama yang memberikan air saat Risa diikat di tiang desa.
"Nona Risa... saya punya pesan dari Bi Nah," bisik Leo sambil berpura-pura memeriksa infus.
Risa menoleh cepat. "Bi Nah? Dia selamat?"
"Tuan Revano menyekapnya di gudang bawah tanah mansion ini. Dia ingin menggunakan Bi Nah sebagai jaminan agar Nona tetap penurut," Leo menyerahkan secarik kertas lusuh. "Bi Nah bilang, jangan berikan koordinat yang asli. Baskoro menyimpan rahasia kedua di dalam makam ibumu."
Risa tertegun. Makam ibunya. Lokasi yang tidak pernah disentuh oleh keluarga Wijaya karena mereka takut akan kutukan desa.
"Kenapa kau membantuku, Leo? Bukankah kau orang kepercayaan Revano?" tanya Risa curiga.
Leo menunduk. "Adhyaksa menghancurkan keluarga saya sepuluh tahun lalu. Saya bekerja di sini hanya untuk menunggu saat yang tepat untuk melihat dia jatuh. Tapi saya tidak punya kekuatan. Nona... Nona adalah satu-satunya yang memiliki 'kunci' untuk menghancurkannya."
Risa menggenggam kertas itu erat. Harapan kecil mulai tumbuh kembali, bukan harapan untuk selamat di kehidupan ini, tapi harapan untuk memberikan perlawanan terakhir.
Malam sebelum hari pernikahan kontrak diresmikan, Revano mengadakan perjamuan kecil di mansion. Ia ingin memamerkan "kemenangannya" kepada beberapa relasi bisnis elitnya. Risa dipaksa memakai gaun merah darah yang sangat mewah, namun beratnya gaun itu terasa seperti beban dosa yang dipikulkan ke bahunya.
Di tengah pesta, Revano membawa Risa ke hadapan para tamu.
"Perkenalkan, calon istriku, Risa Permata. Putri dari almarhum rekan bisnisku, Baskoro," ujar Revano dengan suara yang penuh karisma. "Kami akan menyatukan Permata Group dan Adhyaksa Group untuk menciptakan masa depan baru bagi industri perkayuan dan pertambangan."
Para tamu bertepuk tangan, namun mata mereka menatap Risa dengan tatapan kasihan. Mereka tahu Risa hanyalah barang rampasan perang.
Di sudut ruangan, Risa melihat Melati. Wanita itu entah bagaimana berhasil lolos atau mungkin sengaja dilepaskan oleh Revano untuk menjadi pelayan rendahan di pesta itu sebagai bentuk penghinaan tambahan. Melati menatap Risa dengan mata yang merah karena tangis dan amarah.
Saat Revano sedang berbicara dengan seorang menteri, Melati mendekati Risa sambil membawa nampan minuman.
"Kau pikir kau menang, Risa?" bisik Melati, tangannya gemetar. "Kau hanya akan menjadi mainannya. Setelah dia mendapatkan apa yang dia mau, dia akan membunuhmu seperti dia membunuh Paman Hari."
Risa menatap Melati. "Aku tahu, Melati. Tapi setidaknya aku akan mati sebagai Nyonya Adhyaksa, sementara kau mati sebagai sampah di kakinya."
Kata-kata Risa memicu kegilaan Melati. Tanpa mempedulikan penjaga, Melati mencoba menyiramkan cairan asam yang ia sembunyikan di balik nampan ke wajah Risa.
"TIDAK AKAN BIARKAN KAU CANTIK DI DEPANNYA!" teriak Melati.
Namun, Revano dengan gerakan secepat kilat menangkap tangan Melati dan memutarnya hingga terdengar suara tulang patah. KRAK!
Melati menjerit memilukan. Revano tidak menunjukkan emosi apa pun. Ia hanya memberi isyarat pada penjaga. "Bawa dia ke belakang. Pastikan dia tidak pernah bisa berteriak lagi."
Risa melihat Melati diseret keluar, dan ia tahu itu adalah akhir dari wanita yang dulu merampas suaminya. Tapi anehnya, Risa tidak merasa senang. Ia hanya merasa dingin. Ia melihat dirinya sendiri pada Melati—sama-sama dipermainkan oleh nasib dan keserakahan pria di depannya.
Setelah tamu pulang, Revano membawa Risa kembali ke kamar. Ia tampak sangat puas dengan dirinya sendiri.
"Besok pagi, kita tanda tangan. Dan lusa, kita akan ke ladang utara untuk membuka tambang itu," ujar Revano sambil melepas jasnya.
"Revano," panggil Risa. "Kenapa kau tidak membunuhku saja sekarang? Kau sudah punya segalanya."
Revano berjalan mendekati Risa, membelai pipinya dengan punggung tangannya yang dingin. "Karena kau adalah piala terbaikku, Risa. Baskoro sangat mencintaimu. Dengan memilikimu, aku merasa benar-benar telah mengalahkan pria itu sepenuhnya. Aku ingin melihatmu menua di dalam rumah ini, menyadari setiap hari bahwa pria yang paling kau benci adalah pemilik hidupmu."
Risa menatap mata Revano. Di sana tidak ada cinta, hanya kegelapan yang absolut.
"Satu hal lagi," Revano berbisik. "Jangan mencoba bekerja sama dengan Leo. Aku sudah tahu dia memberikan pesan padamu. Aku membiarkannya karena aku ingin tahu apa rahasia di makam ibumu itu. Besok, anak buahku akan membongkar makam itu."
Risa membelalak. "Jangan! Revano, jangan sentuh makam Ibuku!"
"Segalanya ada harganya, Risa," Revano keluar dan mengunci pintu dari luar.
Risa terjatuh di lantai, menangis histeris. Penghinaan terakhir telah tiba. Makam ibunya akan dinodai karena keserakahan Revano. Ia merasa benar-benar hancur. Tidak ada lagi yang tersisa.
Namun, di tengah isak tangisnya, suara sistem kembali bergema, kali ini lebih keras dan tegas.
[TING! TAHAP PENDERITAAN 18: SELESAI.]
[SUBJEK TELAH MENCAPAI PUNAK KEPUTUSASAAN SPIRITUAL.]
[MENYIAPKAN GERBANG REINKARNASI: 20%...]
[PERINGATAN: JANGAN MENYERAH PADA KEMATIAN SEBELUM WAKTUNYA. BALAS DENDAM YANG SEBENARNYA MEMBUTUHKAN RASA SAKIT YANG SEMPURNA.]
Risa menghapus air matanya. Matanya yang merah kini memancarkan sinar yang berbeda. Bukan sinar harapan, tapi sinar kebencian yang murni dan dingin.
"Baiklah, Revano... kau ingin melihat pialamu? Aku akan menunjukkan padamu bagaimana sebuah piala bisa menghancurkan pemiliknya."
Keesokan paginya, saat Revano bersiap membawa Risa menuju makam ibunya, sebuah surat kaleng tiba di meja Revano. Surat itu berisi foto Revano yang sedang menyabotase mobil Baskoro—bukti fisik yang selama ini dianggap tidak ada.
Revano murka. Ia menuduh Risa yang menyimpannya. Namun, saat ia hendak menampar Risa, pintu rumahnya didobrak oleh kepolisian pusat yang membawa surat perintah penggeledahan atas kasus pembunuhan berencana.
Siapa yang mengirimkan bukti itu? Apakah Leo, atau justru seseorang dari masa lalu yang belum terungkap? Dan apakah ini akan mempercepat kematian Risa atau justru memberinya jalan keluar yang lebih tragis?