Satu janji, satu rahim, dan sebuah pengorbanan yang tak pernah ia bayangkan.
Nayara menjadi ibu pengganti demi menyelamatkan nyawa adiknya—tapi hati dan perasaan tak bisa diatur.
Semakin bayi itu tumbuh, semakin rumit rahasia, cinta terlarang, dan utang budi yang harus dibayar.
Siapa yang benar-benar menang, ketika janji itu menuntut segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Sea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 8 – Rendra yang Semakin Dekat
Pagi itu, udara di halaman rumah kontrakan Nayara terasa lebih lembap dari biasanya. Gerimis yang turun sejak subuh membuat tanah berbau basah. Nayara berdiri di depan pintu, memeluk jaket tipis sambil menunggu mobil Rendra datang. Jadwal konsultasinya hari ini lebih pagi—dokter Ardi meminta pemeriksaan tambahan karena kondisi awal kehamilan ganda harus lebih diperhatikan.
Nadim masih tertidur ketika Nayara pergi. Bocah itu sempat bangun sebentar, menggosok mata sambil merengek, “Kakak jangan lama, ya.”
Nayara mengusap kepala adiknya, berjanji akan pulang sebelum siang.
Ketika mobil hitam Rendra berhenti di depan rumah, Nayara sempat ragu melangkah. Semakin hari, ia merasa semakin sulit menjaga jarak. Rendra… terlalu baik untuk seseorang yang seharusnya menjaga batas. Lelaki itu bukan hanya hadir, tapi hadir dengan cara yang membuat Nayara ingin percaya—ingin mengandalkan, meski itu tidak seharusnya terjadi.
Rendra turun dari mobil, wajahnya tampak kelelahan namun tetap menampilkan senyum tipis. “Maaf kalau agak pagi. Jalanan menuju klinik biasanya padat kalau lewat jam sembilan.”
“Tidak apa-apa, Pak. Saya sudah siap,” jawab Nayara pelan.
Ketika ia masuk, aroma parfum Rendra yang halus memenuhi ruang kabin mobil. Mereka jarang berbicara di awal perjalanan, tapi kali ini Rendra memecah keheningan dengan suara lembut:
“Kamu kelihatan kurang tidur.”
Nayara menunduk. “Iya, tadi malam agak susah tidur, Pak.”
Rendra sekilas meliriknya. “Kalau mual atau capek, bilang. Jangan dipaksakan.”
Nada perhatian itu membuat dada Nayara menghangat, sekaligus membuatnya ingin menjauh sejauh mungkin. Perasaan itu bukan perasaan yang boleh tumbuh.
Mereka tiba di klinik tanpa banyak percakapan. Seperti biasa, dokter Ardi sudah menunggu.
“Nayara, bagaimana kondisimu selama dua hari ini?” tanya dokter Ardi ramah.
“Alhamdulillah… mualnya masih, tapi tidak terlalu parah,” jawab Nayara.
Pemeriksaan berlangsung lancar. Kali ini, Rendra menunggu di koridor luar. Setiap kali pintu ruang pemeriksaan terbuka, ia berdiri, seolah takut melewatkan satu detik pun kabar mengenai Nayara.
Setelah selesai, Nayara keluar dengan wajah sedikit pucat karena kelelahan. Rendra segera menghampirinya.
“Kamu baik?” tanya Rendra penuh perhatian.
Nayara mengangguk. “Cuma agak pusing.”
Tanpa berpikir panjang, Rendra memegang lengan Nayara dan membantunya berjalan ke ruang tunggu. Sentuhan itu sederhana, tapi bagi Nayara, semua terasa berbeda.
“Pak… saya bisa jalan sendiri,” bisiknya, gugup.
“Aku tahu,” jawab Rendra pelan, “tapi kamu terlihat mau jatuh.”
Nayara tidak bisa membalas apa pun.
Sesampainya di kursi tunggu, Rendra mengambilkan air mineral. “Minum dulu
Nayara menerima botol itu dengan tangan bergetar. Dalam hati ia bertanya-tanya, sejak kapan ia merindukan perhatian seperti ini?
Sejak kapan kata-kata lembut dari seorang pria bisa membuat napasnya kacau?
Ia berusaha menepis pikiran itu.
Namun Rendra… justru semakin mencoba memahami dirinya.
“Aku ingin tahu sesuatu,” kata Rendra setelah beberapa menit hening.
Nayara menoleh. “Tentang apa, Pak?”
“Tentang kamu.”
Pertanyaan yang terasa sederhana, tapi mampu membuat jantung Nayara serasa berhenti berdetak.
“Ada banyak hal tentang kamu yang ingin aku mengerti. Kamu bukan hanya… perempuan yang menjalani kesepakatan ini.”
Nada suaranya lembut namun serius.
Nayara menegakkan tubuh. “Pak Rendra, saya cuma… saya hanya berusaha menepati janji saya. Hanya itu.”
Rendra tersenyum samar. “Kamu selalu menjawab seperti itu.”
“Saya tidak ingin—” Nayara berhenti.
Ia tidak ingin apa?
Tidak ingin salah langkah?
Tidak ingin menumbuhkan perasaan terlarang?
Tidak ingin Karina curiga?
Tidak ingin hatinya hancur ketika semua selesai?
“Tidak ingin apa, Nayara?”
Nada suara Rendra begitu tenang, tapi mendesak.
Nayara menunduk. “Tidak ingin melewati batas.”
Kata itu membuat pandangan Rendra melembut, sekaligus mengeras. Bukan marah—lebih seperti seseorang yang sedang menahan sesuatu.
“Nayara…” Rendra menatapnya lama. “Aku tidak ingin membuatmu takut.”
Ia mengusap wajahnya sejenak, mengambil napas panjang.
“Aku hanya… ingin memastikan kamu baik. Itu saja.”
Tapi Nayara tahu itu bukan “itu saja”. Cara Rendra memperhatikannya, cara pria itu mengingat detail-detail kecil tentang dirinya—itu bukan perhatian netral.
Nayara bangkit. “Pak, saya ingin pulang.”
Rendra tidak memaksa. “Baik. Ayo.”
Di perjalanan pulang, suasana kembali sunyi, tapi berbeda. Sunyi itu penuh hal-hal yang tidak dikatakan.
Sesampainya di depan rumah, Nayara membuka pintu mobil. Namun sebelum turun, Rendra memanggilnya lagi.
“Nayara.”
Ia menoleh.
“Aku tahu kamu menjaga jarak. Tapi… aku harap kamu tahu satu hal.”
Rendra berhenti sejenak sebelum melanjutkan, suaranya menurun, hampir seperti bisikan.
“Aku benar-benar peduli.”
Nayara tidak tahu harus menjawab apa.
Setelah beberapa detik, ia menunduk dalam-dalam.
“Terima kasih… Pak.”
Lalu ia turun, menutup pintu perlahan seolah takut suara kecil saja akan meruntuhkan pertahanan dirinya.
Rendra tidak langsung pergi. Ia memandang punggung Nayara sampai perempuan itu masuk ke rumah. Baru setelah pintu tertutup, ia mengusap wajahnya, frustasi.
“Kenapa aku seperti ini…?” gumamnya pada diri sendiri.
Namun sebelum ia sempat merenung lebih jauh, ponselnya bergetar.
Karina.
Rendra terdiam sejenak sebelum menjawab.
“Halo?”
“Rendra,” suara Karina terdengar datar, namun ada nada curiga yang sangat jelas.
“Kamu di mana? Kenapa setiap jadwal Nayara, kamu selalu ikut?”
Pandangan Rendra menajam.
Ia belum siap untuk pertanyaan itu.
Belum siap untuk membuat Karina lebih waspada.
Belum siap untuk mengakui bahwa ia sedang melintasi batas yang tidak boleh ia sentuh.
“Aku cuma memastikan semuanya berjalan baik,” jawabnya.
Karina terdiam beberapa detik. “Rendra… jangan buat aku curiga.”
Rendra memejamkan mata.
Terlambat. Karina sudah curiga—meski ia belum tahu alasannya.
Dan Rendra tahu betul, ketika Karina mulai curiga… badai pasti datang.
***
Rendra tiba di rumah dengan langkah berat. Telepon singkat dari Karina tadi masih menggantung seperti awan gelap di atas kepalanya. Ia tahu, istrinya bukan tipe yang diam ketika curiga. Karina akan menyelidiki, mempertanyakan, menajamkan setiap detail kecil. Dan itu berarti, kedekatan yang tumbuh tanpa sengaja antara dirinya dan Nayara kini berada di ujung jurang.
Karina sedang duduk di ruang tamu ketika Rendra masuk. Wajahnya tersenyum—senyum yang terlalu manis untuk seseorang yang sedang mencurigai.
“Kamu habis antar Nayara lagi?” tanyanya santai, tapi matanya tidak ikut tersenyum.
Rendra mengangguk. “Dia perlu pemeriksaan tambahan.”
“Setiap hari kamu ada di sana,” balas Karina pelan. “Aku bertanya-tanya… apa yang sebenarnya kamu jaga?”
Pertanyaan itu menusuk.
“Karina, ini semua demi anak kita.”
“Anak kita, iya. Tapi kenapa kamu terlihat lebih… memperhatikan perempuan itu?”
Nada suaranya tetap lembut, yang justru terasa paling mengancam.
Rendra menarik napas panjang. “Aku hanya memastikan kondisinya baik. Itu saja.”
Karina mendekat. “Rendra… aku bukan bodoh. Aku tahu bagaimana caramu melihat sesuatu yang kamu anggap penting.”
Rendra memalingkan wajah. Ia tidak boleh terpancing. Tidak boleh menunjukkan apa pun. Karena jika Karina melihat sedikit saja celah, ia akan mengoreknya sampai habis.
Sementara itu, di rumah kecilnya, Nayara duduk memandangi hujan sore. Ia memijat dada yang terasa sesak, tanpa tahu bahwa namanya sedang dibicarakan di rumah besar itu.
> “Ya Allah… jangan biarkan aku menjadi penyebab retaknya rumah tangga siapa pun…”
Doa itu mengalir dalam gumaman lirih.
Namun takdir kadang bergerak lebih cepat dari doa.
Dan malam itu, tanpa sadar, ketiganya sedang mengarah ke konflik yang tidak lagi bisa dihentikan.