Berada di titik jenuh nya dalam pekerjaan Kania memutuskan resign dari pekerjaan dan menetap ke sebuah desa. Di mana di desa tersebut ada rumah peninggalan sang Kakek yang sudah lama Kania tinggalkan. Di desa tersebutlah Kania merasakan kedamaian dan ketenangan hati. Dan di desa itu jugalah, Kania bertemu dengan seorang, Bara.
8
Kania terbangun di rumahnya dengan rasa damai yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia tersenyum pada dirinya sendiri, dan pertama kalinya dalam waktu lama, ia tidak merasakan kecemasan atau dorongan untuk segera memeriksa ponsel. Malam dibawah bintang itu, terasa sangat nyata dan meyakinkan.
Kania perlahan bangkit dari tempat tidurnya, bersiap untuk lari pagi—kebiasaan yang akan dimulai nya lagi hari ini. Membuka lemari pakaian nya, memilih T-Shirts lengan panjang, berwarna abu abu muda, bawahan nya celana jogger katun, berwarna navy yang memiliki karet di bagian kaki. Rambut yang diikat rapi menjadi kuncir kuda tinggi.
Kania keluar rumah dengan senyum yang tidak pudar dari bibirnya. Memutar jalan, sampai tiba di kedai kopi Ranu Senja. Dengan keringat yang sudah menetes, tapi masih penuh dengan semangat, Kania melangkah masuk kedalam.
‘’Selamat pagi.’’ Sapa Kania.
Ketika Bara melihat Kania masuk. Wajahnya yang biasa tenang kini terlihat sedikit merona dibalik kulit sawo matangnya. Ia berinteraksi dengan Kania sedikit lebih kaku dari biasanya, karena mereka berdua sadar ada sesuatu yang berubah.
‘’Pagi Kani, hari ini lebih cepat datang nya’’
Dengan sedikit canggung Kania menjawab, ‘’Ingin menikmati kopi pagi hari ini lebih cepat.’’
Kali ini Bara menyiapkan kopi untuk Kania agak berbeda. Ia menyajikan kopi arabica terbaiknya, yang diseduh dengan sangat hati hati,. Ia menyajikan kopi itu dengan kedua tangannya, seperti biasa, tetapi kali ini, pandangannya bertahan lebih lama di mata Kania.
Saat Kania akan menambahkan gula, Bara dengan lembut menahan tangannya di atas meja.
‘’Jangan. Yang ini jangan ditambah apa apa. Ini kopi jujur. Hari ini kamu harus merasakan rasa yang apa adanya.’’
Kania mengerti. Ia meneguk kopinya, dan rasanya benar benar lebih nikmat. Ia kemudian meletakkan cangkir itu dan melakukan sebuah gerakan yang lebih berani. Kania meraih tangan Bara yang masih ada di atas meja dan menggenggamnya erat selama beberapa detik.
Ini adalah konfirmasi tanpa kata bahwa ia menerima ‘’kejujuran’’ Bara dan malam sebelumnya. Bara membalas genggaman itu dengan mantap, dan tatapannya kembali pada Kania, kini tanpa rasa malu, melainkan kepastian. Ia tersenyum, senyum yang sampai ke matanya dan menular ke Kania.
Bara dan Kania masih duduk di meja kayu di sudut kedai. Kania baru saja melepaskan genggamannya, tetapi ada kehangatan yang tertinggal di udara. Wajah Bara masih sedikit kaku menahan perasaan.
‘’Pagi, Bar’’ tiba tiba, Radit masuk dari pintu samping dengan langkah riang dan suara keras, membawa sepotong kayu besar di bahunya. Ia baru selesai mengirim kayu pesanan ke rumah tetangga.
Radit berhenti mendadak. Kayu di bahunya tergelincir sedikit karena terkejut. Matanya yang biasanya jenaka kini melebar, beralih dari tangan Bara ke wajah Kania, lalu kembali ke Bara.
‘’Woaahh..tunggu, aku salah liat, atau.. kalian habis pegangan tangan di atas meja?’’ Nadanya berbisik dramatis.
Bara tersentak. Wajahnya yang sudah memerah kini menjadi lebih gelap. Kania merasakan panas di pipinya. Ia buru buru meraih ponselnya. Bara berusaha keras untuk tidak terpengaruh, kembali ke mode kaku dan datar.
‘’Tidak, kamu salah lihat.’’ Kata Bara dengan suara kakunya.
Riko tertawa terbahak.’’Jangan bohong, kamu tadi menatap mata Kania, dan wajahmu seperti baru mencicipi kopi paling enak sedunia, Bar!’’
Riko mendekat, menyeringai lebar. ‘’Kania, selamat datang di klub. Kalau Bara sudah pakai mode ‘kopi jujur’ begini, tidak ada harapan lagi. Kalian tidak usah malu malu. Aku sudah tahu, lama tahu. Bara sudah lama mengamati mu dari jauh.’’
Kania tertawa kecil karena sifat Radit yang blakblakan. Tawa itu meredakan ketegangan Bara.
Kania tersenyum. ‘’Mas Radit memang tidak bisa menyimpan rahasia, ya?’’
‘’Kalau soal cinta tidak ada rahasia. Yang ada cuma ketenangan dan kepastian. Tapi, ingat Bar, kau berutang cerita padaku!’’ Dan Radit melesat cepat sambil bersiul keras.
Momen tadi menegaskan status baru mereka, bukan melalui pengakuan serius pada semua orang, melainkan melalui tertawaan dan penerimaan yang hangat dari sahabat terdekat mereka. Bara dan Kania saling pandang, lega, dan tersenyum. Sekarang, bukan hanya mereka yang tahu, tetapi juga sahabat terbaik Bara, dan ini adalah langkah maju yang besar dalam dunia kecil Ranu Asri.
Malam itu, setelah kedai tutup, Bara sedang membersihkan alat alat penggiling kopi, dan Ibu Wati datang membawakannya teh hangat. Bara fokus membersihkan alat penggiling nya, sementara Ibu Wati duduk di meja terdekat, menikmati keheningan, tetapi.matanya mengamati putranya.
‘’Kopimu hari ini terasa lebih enak, Bar. Ada yang berbeda? Kau pakai biji yang baru dari petak timur?’’ Tanya Ibu Wati dengan nada lembut.
‘’Tidak, Bu. Biji yang sama. Hanya…mungkin saya menggilingnya sedikit lebih halus dari biasanya. Dan saya mencucinya lebih bersih.’’ Bara tampak membersihkan lebih giat dari yang seharusnya.
Ibu Wati tersenyum tipis. ‘’Hmm..kamu memang selalu rajin, Nak. Tapi Ibu tahu, kalau kau sedang menyukai sesuatu, kau akan membersihkannya sampai berkilau. Kalau kau menyukai seseorang, kau akan memperhatikannya sampai ke detail yang terkecil.’’
Bara menghentikan gerakannya. Ia tahu kemana arah pembicaraan ini. Ia meletakkan lapnya dan akhirnya menatap Ibunya.
‘’Ibu sudah lihat, Bara. Kau menyalakan lampu minyak di teras rumah Kania saat malam. Kau tahu dia takut gelap, ya?’’
Bara menghela napas. Malu untuk mengakui tapi tak bisa berbohong. ‘’Saya hanya melihat dari sini, Bu. Lagipula, lampu di teras rumahnya sering mati.’’
‘’Anak Ibu, kau bisa saja memberikan obor ke semua orang di desa ini. Tapi kau hanya menyalakan lampu disana. Kau melihat kebahagiaan saat Kania tertawa. Kau tidak pernah memperhatikan seorang perempuan seperti itu sejak dia datang. Ada apa, Nak? Kau menyukai Kania?”
Bara mengambil napas dalam dalam. Ini adalah momen pengakuan paling jujur dalam hidupnya, di luar urusan kopi dan kebun.
Bara menatap Ibunya. ‘’Ya, Bu. Saya menyukainya. Dia..Dia berbeda. Dia datang dari tempat yang berisik, tapi dia bisa diam disini tanpa merasa terburu buru. Saya merasa..lengkap. Saat dia ada di dekat kedai.’’
Ibu Wati mengangguk perlahan. Ia puas. Ia mengambil tehnya dan menyerahkannya kepada Bara. Mengusap punggung tangan Bara dengan lembut. ‘’Kalau begitu, jangan takut, Nak. Kania adalah wanita yang baik. Dia tidak membawa kekacauan ke sini, dia membawa keheningan yang dibutuhkan. Kau sudah tahu jalanmu, Bara. Sekarang, yang tinggal temukan cara untuk menuntun Kania berjalan bersamamu di jalan itu. Tapi ingat, kalau kau serius, kau harus bicara jelas. Di desa kita, laki laki harus jelas. Jangan hanya memberikan kopi jujur. Berikan juga pernyataan jujur.’’
Ini adalah momen Bara mendapatkan restu dan dukungan penuh dari orang yang paling ia hargai, memberinya keberanian untuk melangkah lebih jauh.