Lanjutan Beginning And End Season 2.
Setelah mengalahkan Tenka Mutan, Catalina Rombert berdiri sendirian di reruntuhan Tokyo—saksi terakhir dunia yang hancur, penuh kesedihan dan kelelahan. Saat dia terbenam dalam keputusasaan, bayangan anak kecil yang mirip dirinya muncul dan memberinya kesempatan: kembali ke masa lalu.
Tanpa sadar, Catalina terlempar ke masa dia berusia lima tahun—semua memori masa depan hilang, tapi dia tahu dia ada untuk menyelamatkan keluarga dan umat manusia. Setiap malam, mimpi membawakan potongan-potongan memori dan petunjuk misinya. Tanpa gambaran penuh, dia harus menyusun potongan-potongan itu untuk mencegah tragedi dan membangun dunia yang diimpikan.
Apakah potongan-potongan memori dari mimpi cukup untuk membuat Catalina mengubah takdir yang sudah ditentukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon raffa zahran dio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 : Catalina si jenius.
Cahaya pagi menembus kaca jendela kelas TK A1 yang bergaris-garis halus, memantulkan kilau lembut yang membentuk pola-pola segitiga di lantai kayu yang mengilap. Udara di ruangan terasa sejuk karena AC yang menyala lembut—“syuuush…—dan bau lilin wangi masih terasa jelas. Anak-anak sudah duduk di kursi masing-masing: beberapa masih gelisah, jari-jari memainkan tali tas; beberapa terlalu semangat, mengedip-edipkan mata ke teman sebelah; dan sebagian lagi—seperti Shinn—tetap duduk tegak dengan wajah sejuk, seolah patung es hidup yang tidak terganggu oleh apa-apa.
Miss Ayu berdiri di depan kelas, tangan memegang papan flip chart kecil berwarna pastel hijau muda yang dihiasi gambar bunga. Rambut kecoklatan bergelombangnya tergerai sedikit karena angin AC, dan senyum ramah selalu ada di wajahnya yang cerah. “Baik, anak-anak~ Hari ini kita mulai pelajaran pertama yang seru… membaca!” panggilnya dengan suara yang meriah, mengangkat papan flip chart ke atas meja.
“YAAAAAA!!” teriak Haken dan Rintaro dengan penuh semangat—“dekel…—suaranya bergema di ruangan. “Hah?!” ucap Matsu dengan ekspresi kaget, seolah tidak menyangka pelajaran pertama adalah membaca. “Uhh…” bisik Asuna dengan suara pelan, tubuhnya sedikit membungkuk karena gugup. Teriakan campuran itu membuat ruangan semakin meriah, meskipun sebagian anak terlihat kurang antusias.
Miss Ayu mulai dengan mengambil spidol putih dan menulis huruf besar “A” di papan tulis mini yang berdiri di depan kelas. “krek… krek…—suara spidol menyentuh kertas terdengar jelas. “Baik! Ini huruf A. A untuk Ayam—ayam yang berkokok pagi hari seperti hari ini!” katanya, menunjuk ke gambar ayam yang ada di papan flip chart. “Sekarang, siapa yang bisa baca huruf ini?”
Semua anak tampak berpikir—Yoru garuk pipi dengan jari kecilnya, Matsu miringkan kepala, Kasemi menatap papan dengan mata penuh fokus. Hanya Shinn yang tetap diam, tatapan mata merah tajamnya masih lurus ke depan, seolah tidak peduli apa yang sedang diajarkan. Kurumi menunduk malu, tangan memegang ujung roknya.
Kecuali Catalina.
Catalina mengangkat tangan dengan percaya diri, jari-jari terbuka lebar. Senyum cerahnya memancarkan kepercayaan diri, dan rambut putih-pink gradasinya berkilau terkena cahaya matahari. “Miss, aku bisa!” katanya dengan suara yang ceria.
Miss Ayu tersenyum lebar. “Bagus banget, Catalina! Silakan baca ya!”
“A.” jawab Catalina dengan lancar, tanpa ragu sedikit pun.
“Wow, hebat! Sekarang kita coba huruf-huruf yang lain ya!” Miss Ayu menulis lagi di papan: A • KA • RA • KU • TA—setiap huruf ditulis dengan rapi dan jelas. “Siapa yang bisa baca semua huruf ini secara berurutan?”
Shinn masih diam. Yoru berpikir keras sambil mengerutkan alis. Matsu mencoba menebak-nebak, bibirnya bergerak tanpa mengeluarkan suara. Mayuri memalingkan wajah dengan ekspresi sombong, tapi matanya menyipit melihat papan. “Hmph… gampang itu sebenernya… tp aku males ngangkat tangan!” bisiknya dengan suara pelan, pipinya sedikit memerah.
Catalina mengangkat tangan lagi, lebih cepat dari sebelumnya. “Aku baca ya, Miss?”
“Silakan, sayang!”
Catalina duduk tegak, tangannya tertaut rapi di atas meja, dan membaca lancar seperti orang dewasa: “A – Ka – Ra – Ku – Ta.” Suaranya jelas dan teratur, seolah dia sudah menghafal huruf-huruf itu sejak lama.
Semua anak terkejut—mulut mereka terbuka lebar, mata membelalak. “HAAAAH?!” seru mereka secara bersamaan, suara kaget memenuhi ruangan.
Haken bahkan berdiri dari kursinya dengan cepat—“thump…—badan nya melompat sedikit karena kaget. “GILA!! Catalina jenius banget!! Bagaimana kamu bisa baca semua?!” teriaknya dengan suara yang kencang, membuat meja sedikit bergoyang.
Remi bersinar seperti lampu LED, mata hijau muda nya menyala dengan kagum. “Ca… Catalina hebat… luar biasa… aku belum bisa baca semua loh…!” bisiknya dengan suara penuh kekaguman, tubuhnya sedikit mendekat ke Yoru yang berdampingan.
Shinn hanya melirik Catalina sebentar—sangat sebentar—dan berdehem pelan. “…Hm.” Suaranya tenang, tapi terdengar seolah dia juga terkejut sedikit.
Catalina menahan jeritan fangirl yang hampir keluar dari mulutnya. “Dia liat aku… dia liat aku baca!! KYAAAAAAAAAAAAAAA!!!” pikirnya, pipinya memerah semakin parah sampai mirip buah stroberi. Dia menyenyum lebih lebar, merasa bangga tapi juga malu.
Miss Ayu yang mulai curiga melihat Catalina dengan senyum tipis. Dia tahu bahwa anak-anak TK biasanya baru mempelajari huruf-huruf dasar, tapi Catalina bisa membaca dengan sangat lancar. “Oke… kali ini kita coba yang lain ya… berhitung!” katanya dengan suara yang ceria, menulis tiga soal di papan:
2 + 3 \= ?
5 – 1 \= ?
4 + 4 \= ?
“Yang sederhana dulu ya, anak-anak! Coba hitung dengan jari-jari kalian!” panggilnya, mengangkat jari-jari sebagai contoh.
Anak-anak mulai mengangkat jari, menghitung satu per satu. Kasemi fokus, jari-jari nya bergerak perlahan. Yoru gigit ujung pensilnya dengan lembut, seolah itu bisa membantu dia berpikir. Matsu miringkan kepala, mata menatap papan dengan ragu-ragu. Kurumi hitung perlahan sambil menunduk malu, jari-jari nya tersembunyi di bawah meja. Dheon tersenyum kalem, seolah sudah tahu jawabannya. Asuna ingin kabur, tubuhnya sedikit bergeser ke kursi Dheon yang berdampingan.
Catalina? Dia duduk tenang, mata melihat papan sebentar lalu langsung menjawab: “Lima. Empat. Delapan.” Suaranya jelas dan cepat, tanpa melihat jari-jari atau berpikir lama.
Miss Ayu berkedip dua kali, seolah tidak percaya pendengarannya. “…Bagus sekali, Catalina! Cepat banget ya! Kamu sudah belajar berhitung dari mana?” tanyanya dengan suara penasaran.
Catalina tersenyum polos, memainkan ujung rambutnya. “Hehe~ dari rumah aja, Miss. Mami dan Papi sering ajarkan aku!”
Namun… gurunya anak para pahlawan dan tokoh kuat siapa yang bisa dikibuli begitu saja? Miss Ayu mengerling kecil, ekspresi nakal muncul di wajahnya. Dia ingin tahu seberapa jauh kemampuan Catalina. “Baiklah~ sekarang kita coba soal yang… sedikit lebih sulit ya, anak-anak! Jangan khawatir, cuma cobaan aja!” katanya dengan suara yang menyenangkan, tapi mata nya terlihat penuh keinginan untuk menguji.
Anak-anak langsung tegang—tubuh mereka sedikit membungkuk, mata menatap Miss Ayu dengan khawatir. “Jangan deh, Miss… aku masih bingung sama tambah kurang!” bisik Matsu dengan suara pelan.
Miss Ayu mengambil spidol hitam dan menulis di papan tulis dengan cepat:
3x + 2 \= 11
Hitung nilai x.
Seluruh kelas terdengar terkejut—“HAH!?” seru mereka secara bersamaan. “APAAA ITUUU!! Apa itu ‘x’ yang aneh itu, Miss?!” teriak Haken dengan panik, tangan memegang kepala nya. “Misss!! Itu bukan tambah kurang!! Kita anak TK, bukan SMA!!” seru Mayuri dengan suara yang kencang, tepuk meja dengan kuat—“dum!!”
Haken langsung panik, tubuhnya bergoyang-goyang. “INI MISTERI GELAP APAAN MISS!!! Aku nggak ngerti sama sekali!!” teriaknya lagi, membuat semua anak semakin khawatir. Matsu mukanya hancur, pipinya membentuk garis lurus. “AKU… AKU MENYERAH… aku mau pulang ke rumah!!” bisiknya dengan suara yang sedih. Mayuri berdiri dari kursinya, menunjuk Miss Ayu dengan marah tapi juga bingung. “H-HEY! Kita cuma mau belajar baca dan hitung sederhana! Apa ini?! Ujian rahasia?!”
Sementara itu…
Catalina menyipitkan mata, memandang papan tulis dengan ekspresi yang tenang. “Oh ini gampang kok.” bisiknya dengan suara pelan, seolah soal itu benar-benar mudah.
Tanpa menunggu izin dari Miss Ayu, dia berdiri dengan langkah mantap—“tap… tap… tap…—berjalan ke papan tulis seperti profesor kecil yang penuh kepercayaan diri. Semua mata mengikuti gerakan rambut putih-pinknya yang melambai lembut karena angin AC, seolah dia adalah bintang di tengah ruangan.
Catalina mengambil spidol hitam dari tangan Miss Ayu dengan lembut, lalu menulis di papan tulis dengan rapi dan cepat:
3x + 2 \= 11
3x \= 11 – 2
3x \= 9
x \= 9 ÷ 3
x \= 3
Setelah selesai menulis, dia menoleh ke arah kelas dengan senyum manis yang imut. “Selesai, Miss. Nilai x nya adalah 3.” katanya dengan suara yang jelas dan percaya diri.
Kelas terdiam sejenak—“hening…—bahkan suara AC yang menyala terasa lebih jelas. Lalu, tiba-tiba:
“EEEEEEEEEEEEHHHHHHHHH?!?!?!”
Teriakan kaget dan kagum memenuhi ruangan, membuat dinding seolah akan bergoyang. Haken teriak sampai meja bergetar—“gerek… gerek…—tubuhnya melompat-lompat di tempatnya. Remi bahkan jatuh dari kursi kecilnya—“thump…—tapi dia tidak peduli, hanya berdiri lagi dan menatap Catalina dengan mata yang bersinar. Dheon sampai memegang dagu nya dengan tangan, ekspresi wajahnya terlihat sangat terkejut. Kurumi menutupi mulut dengan kedua tangan, mata membelalak tidak percaya. Rintaro melotot seperti mata kucing besar, jari-jari nya mengangkat jempol. Yoru dan Matsu bengong berdampingan, mulut mereka terbuka lebar. Asuna freeze sepenuhnya, tubuhnya kaku seperti patung. Mayuri berdiri dengan tangan menunjuk Catalina, mulutnya terbuka tapi tidak bisa mengeluarkan suara. Setelah beberapa detik, dia baru bisa berkata: “K-kamu apa?! Alien?! Monster yang pinter?!”
Catalina merasa dicubit realita—tubuhnya sedikit membungkuk, pipinya memerah. “Heh?? B-bukan!! Aku cuma… belajar dari… dari dunia… yang lain…?” katanya dengan suara yang bergetar, hampir mengucapkan rahasia masa depannya. Dia menunduk malu, takut teman-teman akan benci dia karena berbeda.
Shinn memperhatikan Catalina lama—sangat lama—tatapannya tajam tapi tidak mengejek. Lebih seperti: “Aku tahu kamu ada yang beda dari yang lain.” Dia tidak berkata apa-apa, tapi tatapannya membuat Catalina merasa tenang.
Catalina langsung meleleh dalam hati—“AHHH DIA NGELIAT AKU LAMA!! MATANYA TAJAM TAPI BAGUS!! KYAAAAAA!!!” pikirnya, tubuhnya merasa hangat seperti terkena cahaya matahari. Dia menyenyum sedikit, merasa lebih percaya diri.
Miss Ayu mengambil napas panjang, matanya menatap papan tulis dengan ekspresi yang tidak percaya. Dia sudah menguji banyak anak, tapi tidak pernah ada yang bisa menyelesaikan soal aljabar di usia TK. “…Anak-anak… Miss Ayu… belum puas.” katanya dengan suara yang tenang, tapi ada nuansa nakal di dalamnya.
Semua anak terkejut lagi—“EH JANGAN MISS—” seru mereka secara bersamaan, tapi Miss Ayu sudah mulai menulis di papan tulis lagi.
Tulisan berikutnya muncul:
Volume kubus dengan panjang rusuk 4 cm adalah…?
Hening—bahkan suara nafas anak-anak terasa jelas. Bahkan AC seolah berhenti menyala sebentar. Anak-anak menatap papan tulis dengan mata yang membelalak, tidak mengerti apa artinya “volume” dan “kubus”. “Apa itu ‘volume kubus’ ya, Miss? Itu nama hewan baru?” tanya Rintaro dengan bingung, menunjuk papan tulis.
Catalina langsung maju lagi tanpa menunggu—“tap… tap… tap…—langkahnya tetap mantap. Dia mengambil spidol biru dan menulis cepat di papan tulis:
V \= r³ (Volume kubus \= rusuk × rusuk × rusuk)
4 × 4 × 4 \= 64
Volume \= 64 cm³
Setelah selesai, dia menoleh ke arah kelas dengan gaya imut tapi percaya diri, mengangkat bahu sedikit. “Begitu, Miss. Sudah selesai.” katanya dengan senyum yang manis.
Kelas meledak dengan teriakan kagum:
“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!”
Remi tepuk tangan dengan cepat—“thap-thap-thap…—suaranya ceria dan penuh kekaguman. “Catalina hebat banget!! Aku sangat kagum!!” serunya dengan suara yang meriah. Kasemi mengangguk bangga, mata ungu gelap nya menyala dengan kebahagiaan. “Kamu luar biasa, Catalina. Kita bangga punya temen sepertimu!” bisiknya dengan suara tulus. Mayuri kehabisan kata, tubuhnya membungkuk, mata menatap Catalina dengan kagum yang tidak bisa disembunyikan. “AKU… TIDAK TAU LAGI… kamu beneran anak TK? Atau guru tersembunyi?” bisiknya dengan suara pelan.
Shinn menutup mulut dengan tangan, seakan menahan senyum kecil yang ingin muncul. “Menarik.” bisiknya dengan suara yang sangat pelan, tapi Catalina yang berdampingan bisa mendengarnya.
Catalina langsung menjadi magma hidup—tubuhnya merasa panas, pipinya memerah sampai menyala, dan jantungnya berdebar-debar cepat. “DIA… DIA SENYUM DI DEPANKUUUUU!!!! DIA KATA ‘MENARIK’!! KYAAAAAA!!! Aku mau pingsan!!” pikirnya, menahan teriakan yang hampir keluar dari mulutnya. Dia menyenyum dengan wajah yang merah, merasa bahagia seperti tidak pernah sebelum nya.
Miss Ayu menghela napas panjang dan akhirnya mengangkat kedua tangan tanda menyerah. “Saya kalah… anak ini terlalu cerdas untuk TK!” pikirnya dengan tersenyum. “Catalina… nak… kamu ini… genius tersembunyi ya? Bagaimana bisa kamu mengerjakan soal-soal itu?” tanyanya dengan suara penuh bangga.
Catalina tersenyum polos, memainkan ujung rambutnya. “Aku cuma… belajar sendiri kok, Miss! Baca buku dan tanya Mami Papi kalau ada yang tidak ngerti!”
Dalam hati: "…dan dari masa depan juga… tapi itu rahasia yang hanya aku tahu…"
Miss Ayu menepuk pundaknya dengan bangga, tangan nya lembut sehingga tidak menyakitkan. “Kalau begitu… bantu Miss Ayu nanti ya, Catalina! Kita punya anak-anak ribut di sini yang butuh bantuannya belajar!” katanya dengan senyum lebar.
Haken langsung mengangkat tangan dengan cepat. “MISS!! Aku juga butuh bantuannya!! Jangan cuma dia yang dibantu!!” teriaknya dengan semangat, membuat semua anak tertawa—“hahaha…—suara tawa mereka memenuhi ruangan, membuat suasana semakin hangat dan meriah.
Catalina menoleh ke arah Shinn, yang masih tersenyum sedikit. Dia menyenyum kembali, merasa bahagia dan lega—meskipun dia berbeda, teman-teman nya masih menerima dia. Dan yang paling penting… Shinn menyukainya sedikit.