NovelToon NovelToon
Kala Rembulan Menyentuh Bhumi

Kala Rembulan Menyentuh Bhumi

Status: sedang berlangsung
Genre:Crazy Rich/Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / Keluarga / CEO
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: Lacataya_

Rembulan Adreyna—seorang wanita muda yang tumbuh dari kehilangan dan kerja keras, hidupnya berputar di antara deadline, tanggung jawab,dan ambisi yang terus menekan. Hingga satu hari, langkahnya membawanya ke Surabaya—kota yang menjadi saksi awal pertemuannya dengan seorang pria bernama Bhumi Jayendra, CEO dingin pemilik jaringan hotel dan kebun teh di kaki gunung Arjuno.
Bhumi, dengan segala kesempurnaannya, terbiasa memegang kendali dalam segala hal—kecuali ketika pandangannya bertemu Rembulan untuk pertama kali. Di balik sorot matanya yang dingin, tersimpan sunyi yang sama: kehilangan, tanggung jawab, dan kelelahan yang tak pernah diucapkan.
Pertemuan mereka bukan kebetulan. Ia adalah benturan dua dunia—teknologi dan tradisi, dingin dan hangat, ambisi dan rasa takut. Namun perlahan, dalam riuh kota dan aroma teh yang lembut, mereka belajar satu hal sederhana: bahwa cinta bukan datang dari siapa yang lebih kuat, melainkan siapa yang lebih berani membuka luka lama.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lacataya_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 8 Di Bawah Langit Hotel Arjuno

Tiga hari berlalu sejak rapat itu. Dan siang ini, Arjuno Grand Hotel berdiri dengan kemegahan yang seolah bernafas — bangunan tinggi berlapis kaca itu memantulkan cahaya matahari Surabaya yang hangat, sementara bendera-bendera kecil di depan lobi berkibar pelan tertiup angin.

Di lantai dua, ballroom utama hotel telah disulap menjadi panggung bagi acara penting penandatanganan kerja sama antara Arjuno Group dan PT Global Teknologi. Segalanya disiapkan nyaris tanpa cela, seperti cermin dari reputasi kedua perusahaan yang akan bersatu dalam proyek besar.

Langit-langit ballroom menjulang tinggi, berhias lampu kristal raksasa yang menggantung di tengah ruangan, memantulkan cahaya ke permukaan lantai marmer seputih mutiara. Dindingnya dilapisi panel kayu walnut dengan sentuhan marmer krem, menciptakan nuansa elegan yang tidak berlebihan — seimbang antara kemewahan dan ketenangan.

Aroma lembut white tea & cedarwood dari diffuser ruangan bercampur dengan wangi kopi baru dari bar hotel di luar, menyatu menjadi atmosfer yang tenang tapi berkelas.

Di tengah ruangan, dua meja panjang berlapis linen putih berdiri sejajar. Di atasnya, dokumen perjanjian kerja sama tertata sempurna, lengkap dengan pena bermerek yang disusun rapi di sisi kanan dan papan nama bertuliskan “Arjuno Group” dan “PT Global Teknologi” di masing-masing ujung. Setiap detail terlihat diperhitungkan — mulai dari lipatan kertas hingga posisi kursi di depan meja, semuanya tampak sempurna.

Di sisi kanan ruangan, tim media dan dokumentasi sudah bersiap dengan kamera, tripod, dan lampu tambahan. Beberapa staf hotel berdiri di dekat pintu, memastikan semua tamu yang datang disambut dengan senyum profesional dan minuman dingin di tangan. Dari pengeras suara tersembunyi, terdengar musik instrumental pelan — piano jazz modern yang mengalun lembut, menjaga suasana tetap formal tapi tidak kaku.

Segalanya tampak teratur, terkendali, dan nyaris sempurna. Namun, di antara segala kesempurnaan itu, ada sesuatu yang berbeda di udara hari ini.

Bukan karena pentingnya acara, bukan karena para tamu berpakaian formal atau kamera yang berderet di belakang ruangan — tapi karena ada dua nama yang akan duduk berhadapan di meja itu, dua nama yang entah kenapa membawa makna lebih dari sekadar urusan bisnis.

Udara di ballroom itu terasa lebih hangat, lebih lambat, seolah semesta menahan napasnya, menunggu sesuatu yang belum terjadi. Dan siapa pun yang cukup peka… bisa merasakannya.

*

Pintu besar ballroom perlahan terbuka. Beberapa kepala menoleh, dan suara langkah sepatu berhak terdengar berirama di lantai marmer. Rembulan Adreyna berjalan masuk, diikuti Liora Larasmita dan beberapa anggota tim legal Global Teknologi.

Bulan mengenakan blazer putih gading dengan celana panjang hitam dan blouse satin lembut di dalamnya. Rambut hitam bergelombang halusnya dibiarkan terurai, bergerak lembut setiap kali ia melangkah. Wajahnya tenang, tapi di balik tatapan matanya, tersimpan fokus yang tajam — keanggunan yang datang dari kebiasaan menghadapi ruang besar dengan kepala tegak.

Sementara itu, Liora tampil kontras. Dengan setelan biru tua dan heels tinggi, ia berjalan percaya diri, menebar senyum pada beberapa tamu yang melirik ke arah mereka. Kalau Bulan adalah ketenangan air dan cahaya, maka Liora adalah angin yang membuat ruangan hidup.

Beberapa tamu berbisik kecil, kamera sempat menangkap kedatangan mereka. Namun langkah Bulan tak terganggu — sampai pandangannya berhenti pada seseorang di ujung ruangan.

Bhumi Jayendra.

Bhumi berdiri di depan meja utama bersama Marvin Nalendra, keduanya mewakili pihak Arjuno Group.

Bhumi mengenakan setelan hitam pekat dengan kemeja putih dan dasi abu muda. Gaya Rambutnya disisir rapi ke belakang, membiarkan garis rahangnya yang tegas terlihat sempurna di bawah cahaya kristal.

Dan ketika matanya bertemu dengan sosok Bulan yang baru saja masuk — semuanya seperti berhenti sejenak.

Cahaya lampu di atas memantul di rambut Bulan, menyorot wajahnya yang lembut tapi tenang.

Langkah-langkahnya pelan, namun setiap langkah terasa seperti gema di dada Bhumi.

Untuk sesaat, Bhumi lupa pada kamera, tamu, dan formalitas acara. Yang tertinggal hanyalah satu kesadaran sederhana — bahwa tiga hari tidak cukup untuk menghapus bayangan perempuan itu dari pikirannya.

“Rembulan Adreyna,” gumamnya dalam hati. “Gue bahkan masih inget cara dia menatap, seolah dunia gak bisa ganggu fokusnya.”

Disisi lain Liora mencondongkan tubuh ke arah Bulan sambil berbisik cepat, “Itu cowok yang waktu di acara pertama, kan? Yang CEO Arjuno itu?”

Bulan menoleh singkat. “Iya.”

“Hmm…” Liora tersenyum kecil, nada suaranya menggoda. “Tampangnya dingin, tapi auranya kayak… badai sebelum hujan.”

“Liora.”

“Yaudah, yaudah. Gue diem.”

Acarapun dimulai. Pembawa acara naik ke podium, suaranya bergema melalui pengeras suara, memperkenalkan kerja sama strategis yang akan membawa teknologi baru ke dunia perhotelan.

Sorot kamera menyapu ruangan, menangkap senyum dan jabatan tangan formal dari para eksekutif.

Liora duduk di kursi sisi kiri meja, Bhumi di sisi kanan. Marvin berdiri disisi kanan Bhumi sedangkan bulan berdiri disisi kiri Liora. Suasana berubah tenang — hening yang hanya diisi oleh suara napas, pena, dan kilatan kamera.

Bhumi membuka map dokumen di depannya, membaca sekilas, lalu menandatangani halaman pertama.

Liora melakukan hal yang sama di sisinya. Dua pena bergerak bersamaan — dan suara halus tinta menyentuh kertas terasa lebih nyaring dari seharusnya.

Saat ia menandatangani halaman terakhir, Bulan sempat menoleh singkat — hanya sekilas. Namun cukup untuk membuat mata mereka kembali bertemu sebentar.

Tak ada kata. Tak ada senyum. Hanya tatapan sekilas— hening, dalam, dan berisi sesuatu yang bahkan mereka sendiri belum mengerti.

‘Dia masih sama’,pikir Bhumi. ‘Tenang, tapi ada sesuatu di balik ketenangan itu yang bikin lo gak bisa berpaling.’

Ketika pembawa acara mengumumkan penandatanganan selesai, tepuk tangan memenuhi ruangan. Beberapa kamera berkedip cepat, menangkap momen itu dari berbagai sudut.

“Terima kasih kepada kedua belah pihak, kerja sama resmi telah ditandatangani,” suara pembawa acara memecah keheningan. Tepuk tangan bergema, dan sesi foto pun dimulai.

Setelah Bhumi dan liora berfoto, secara tiba tiba Liora menyeret Bulan untuk berdiri didepan Bhumi untuk berfoto juga. Bulan sempat melotot kearah Liora. Setengah berbisik Liora menjawab “Gantian fotonya”

Jadi saat ini Bulan berdiri di samping Bhumi, sedikit menunduk saat kamera berkilat. Aroma cologne-nya samar tapi khas — wangi kayu, bersih, dan dalam bercampur dengan wangi vanilla lembut dari parfum Bulan. Cukup untuk membuat jantungnya berdetak sedikit lebih cepat tanpa alasan logis.

Ketika semua selesai, Bhumi menoleh sedikit ke arahnya dan berkata pelan, “Kerja samanya resmi dimulai hari ini. Saya harap proyek ini berjalan lancar.”

Bulan menatap balik, senyum sopan di bibirnya. “Saya juga berharap begitu, Pak Bhumi. Terima kasih atas kerja samanya.”

Bhumi mengangguk kecil. Namun, sebelum mereka benar-benar berpisah, ia menambahkan dengan nada rendah yang hanya bisa didengar Bulan, “Dan… terima kasih karena sudah datang.”

Bulan sempat terdiam. Entah kenapa, kalimat sederhana itu terdengar seperti sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar basa-basi formal. Tatapan mereka bertemu lagi, hanya sekejap, tapi cukup untuk menciptakan gema kecil di hati masing-masing.

*

Dari sisi lain ruangan, Liora berdiri dengan lengan bersilang, menatap adegan itu dengan pandangan menyipit. Di sampingnya, Marvin menatap lurus ke depan tanpa ekspresi seperti biasa.

“Bu Liora,” katanya datar, “kamu ngeliat sesuatu, ya?”

“Hmm… belum pasti,” jawab Liora sambil nyengir kecil. “Tapi feeling saya, bakal ada kisah cerita cinta.”

Marvin mengangkat alis, lalu kembali menatap lurus. “Kamu kebanyakan nonton drama cina.”

“Dan Bapak keliatannya kebanyakan nahan perasaan,” balas Liora cepat.

Marvin menatapnya, tapi Liora cuma tertawa kecil, lalu berjalan pergi meninggalkan Marvin yang sedang mematung ditempatnya.

Sementara itu, di dekat pintu keluar ballroom, Bhumi berdiri memandangi punggung Bulan yang mulai menjauh bersama timnya. Langkahnya ringan, tapi meninggalkan sesuatu yang berat di dada pria itu.

Dan saat Bulan menoleh sekilas sebelum keluar — hanya sekejap — tatapan mereka kembali bertemu, seperti dua orbit yang enggan berpindah arah.

Bhumi menghela napas, membenarkan jasnya perlahan, dan dalam hati berbisik, “Selamat datang di hidup saya, Rembulan.”

**

Malam turun dengan lembut di kota Surabaya. Udara setelah hujan sore terasa sejuk, jendela-jendela gedung tinggi memantulkan pantulan lampu jalan yang berkilauan seperti bintang buatan manusia.

Di sebuah apartemen di pusat kota, Rembulan Adreyna duduk di tepi ranjangnya — rambutnya tergerai longgar, masih mengenakan piyama satin abu muda. Di meja rias, cangkir teh chamomile sudah hampir dingin, uapnya tersisa samar.

Ia menatap pantulan dirinya di cermin: wajah yang tenang, tapi matanya... tidak sepenuhnya sama. Ada sesuatu yang berubah. Sesuatu yang lembut tapi jelas. Senyum kecil yang muncul tanpa alasan, lalu hilang seperti bayangan di permukaan air.

Ia menunduk, menarik napas panjang. “Aneh banget,” gumamnya pelan sambil mengusap usap pelan dadanya. “Habis acara siang tadi, kenapa hati gue kayak begini…kenapa ya?”

Rasanya… tenang. Tapi bukan tenang yang biasa. Tenang yang justru membuat dada berdebar halus, seperti jantungnya menemukan ritme baru yang lebih lembut tapi sulit dikendalikan. Setiap kali ia menutup mata, wajah Bhumi Jayendra muncul. Tatapan mata tenangnya, suara rendahnya yang terucap pelan waktu bilang “terima kasih karena sudah datang.” Kalimat itu sederhana — tapi entah kenapa, nadanya masih terngiang sampai sekarang.

Ia memegang cangkir teh itu pelan, menatap cairan di dalamnya yang bergetar sedikit.

“Kenapa malah jadi kayak gini, sih…” bisiknya, lalu tersenyum kecil untuk diri sendiri dan menggeleng pelan.

Dari ruang tengah terdengar suara pintu kamar terbuka.

“Bul!” suara ceria Liora memecah kesunyian. “Lo udah tidur belum?”

Bulan menoleh. “Belum. Kenapa?”

Liora masuk dengan gaya khasnya — rambut dikuncir asal, membawa mangkuk es krim di tangan, masih pakai piyama satin biru tua yang kontras sama ekspresinya yang kelewat hidup untuk ukuran jam sepuluh malam.

“Gue bosan. Biasanya lo udah ngetik laporan malam-malam gini, tapi sekarang malah ngelamun. Lo kenapa?”

Bulan diam sejenak. “Gak apa-apa.”

“Boong. Gue liat lo dari tadi di balkon apartemen sore tadi. Tatapan lo kayak orang yang lagi nonton slow motion tapi gak ngerti kenapa senyum sendiri.”

Bulan tertawa pelan. “Lo tuh ya, selalu lebay.”

“Lebay karena bener.” Liora duduk di tepi ranjang, menyerahkan sendok es krim ke Bulan. “Ayo, makan. Lo kelihatan kayak butuh gula biar gak terlalu mikir.”

Bulan mengambil sendok itu, mencicipi satu suap kecil. “Hmm, enak.”

“Ya iyalah. Ini es krim mahal, bukan yang dijual di pinggir jalan.”

Mereka tertawa kecil. Tapi kemudian Liora memiringkan kepala, menatap sahabatnya dengan mata menyipit curiga.

“Bul… boleh jujur gak?”

“Boleh.”

“Lo tuh kayak orang yang lagi jatuh cinta, tapi gak sadar.”

Bulan terdiam. Senyum di wajahnya meredup sedikit, tapi bukan karena tidak nyaman — lebih ke… karena hatinya tahu, ada kebenaran di balik kata itu.

“Cinta?” ia mengulang pelan, menatap lantai.

“Entah. Gue cuma bilang, lo beda. Cara lo diem, cara lo senyum, bahkan cara lo ngeliat sesuatu — lebih lembut.”

Bulan tertawa kecil, meski nadanya terdengar gugup. “Mungkin gue cuma senang karena proyeknya lancar.”

“Ya, mungkin.” Liora berdiri sambil membawa mangkuknya lagi. “Tapi kalau ternyata bukan cuma itu…”

Ia menatap Bulan dan tersenyum hangat. “Gak apa-apa kok, Bul. Kadang hal-hal yang paling tenang justru datang dari orang yang gak kita rencanain.”

Bulan hanya menatap punggung sahabatnya yang mulai berjalan keluar kamar, lalu berbisik pada dirinya sendiri, “Tenang… tapi kenapa deg-degan begini, ya?”

**

Di sisi lain kota, Bhumi Jayendra duduk di balkon penthousenya yang luas. Langit malam di atas sana tampak bersih, dengan bulan sabit menggantung tenang di antara awan tipis. Udara malam mengalir lembut, membawa aroma teh melati hangat yang mengepul dari cangkir di tangannya.

Ia bersandar di kursi kayu, mengenakan kaus hitam dan celana santai, menatap langit tanpa benar-benar melihat. Lampu kota berkilauan di bawah sana, tapi pikirannya ada di tempat lain — di sebuah ballroom sore tadi, di balik tatapan tenang seorang perempuan yang masih belum bisa ia definisikan.

“Rembulan Adreyna…” katanya pelan, entah mengapa setiap kali memanggil nama itu bisa membuatnya tenang. Tapi justru semakin diucapkan, dada terasa semakin penuh dan siap akan meledak. Ada sesuatu yang berubah di dalam dirinya — sesuatu yang lembut tapi kuat. Bukan hanya kekaguman, bukan hanya rasa penasaran. Lebih seperti… ketenangan yang berdenyut.

Ketenangan yang hidup.

Ia menatap bulan sabit di atas langit Surabaya, senyum samar muncul tanpa sadar.

“Mungkin ini awal dari sesuatu,” gumamnya. “Tapi apa pun itu… rasanya gak terlalu buruk.”

Tiba-tiba ponselnya bergetar di meja kecil sebelah kursi.

Nama Mama muncul di layar.

Bhumi langsung menjawab dengan nada lembut. “Halo, Ma.”

“Bhumi?” suara perempuan paruh baya itu terdengar hangat di seberang sana. “Kamu udah makan belum, Nak?”

“Udah, Ma. Tadi setelah rapat, sekarang santai.”

“Syukurlah. Mama lihat di berita, acara kerja sama kamu di hotel itu sukses besar, ya?”

Bhumi tersenyum kecil. “Iya, Ma. Sudah ditandatangani siang tadi.”

“Wah, hebat. Papa bilang tadi dia juga bangga.”

Suara tawa lembut ibunya di ujung sana terdengar seperti meluruhkan semua lelah di bahunya.

Beberapa detik kemudian, Mama Sinta melanjutkan dengan nada yang lebih lembut.

“Kapan kamu pulang ke Lawang, Nak? Udah lama gak lihat kamu. Adik kamu nanyain terus, katanya kangen kakaknya yang sibuk terus di Surabaya.”

Bhumi menatap teh di tangannya, uapnya naik perlahan ke udara malam.

“Nanti, Ma… kalau semua proyek udah stabil, Bhumi pulang. Janji.”

“Mama tunggu, ya. Rumah sepi kalau kamu gak pulang. Kebun teh juga kangen belum kamu tengokin”

Bhumi tertawa kecil. “Kalau kebun bisa kangen, berarti Mama yang ngomongin terus, ya?”

Mama Sinta ikut tertawa. “Ya mungkin. Tapi bener, Bhumi… kamu jangan terlalu keras sama diri sendiri. Takutnya kamu sakit nak.”

Bhumi terdiam sejenak, menatap bulan sabit di langit. Suara ibunya terasa seperti sesuatu yang ia butuhkan malam ini.

“Baik, Ma. Bhumi usahain minggu ini pulang sebentar.”

“Janji ya?”

“Janji.”

Mereka bicara sebentar lagi sebelum menutup telepon. Dan ketika layar ponsel mati, Bhumi hanya duduk diam — menatap teh melati yang mulai mendingin, lalu ke langit malam yang masih sama tenangnya.

“Mungkin Mama bener…” katanya pelan.

“sepertinya aku terlalu keras sama diri sendiri. Tapi entah kenapa… akhir-akhir ini perasaan keras itu udah gak seperti biasanya.”

Ia menatap bulan sabit sekali lagi, dan untuk alasan yang tak ia pahami, nama Rembulan kembali muncul dalam pikirannya — menyatu dengan aroma melati dan cahaya malam, menjadi bagian dari ketenangan yang… perlahan berubah jadi sesuatu yang lebih dalam.

**

tbc

*picture by pinterenst

1
Bia_
kasian si Arsen 🤣
Bia_
ow udah masuk konflik nih 🤭
KaosKaki
wk wk wk
Bia_
/Facepalm/🤣
Bia_
alurnya emang agak slow tapi Lumayan bagus, alur pdkt nya kaya di Real Life lambat tapi kena.
Bia_
suka banget pas adegan serangan hacker
Lacataya_: makasih yaaa, di bab bab selanjutnya juga ada serangan serangan manis kok 🤭
total 1 replies
Edna
Mantap!
Lacataya_: mohon ditunggu bab selanjutnya ya, makasih
total 1 replies
Khabib Firman Syah Roni
Jlebbbbb!
Lacataya_: mohon ditunggu bab selanjutnya ya, makasih
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!