Naren kehilangan pekerjaannya dan terpaksa kerja serabutan demi menghidupi istri serta tiga anaknya.
Namun pengorbanannya tidak cukup untuk menahan hati Nadira, sang istri, yang lelah hidup dalam kekurangan dan akhirnya mencari kenyamanan di pelukan pria lain.
Di tengah getirnya hidup, Naren berjuang menahan amarah dan mempertahankan keluarganya yang perlahan hancur.
Mampukah Naren tetap mempertahankan keluarga kecilnya di tengah peliknya kehidupan? Menurunkan Ego dan memaafkan istrinya demi sang buah hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susanti 31, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Semua salahmu Mas!
"Mas hobi banget ya bikin aku malu!" gerutu Nadira padahal baru tiba di rumah.
Naren yang sedang bermain bersama anak-anaknya langsung beranjak. Ia menghampiri sang istri dan mengajaknya ke kamar. Ia benar-benar tidak ingin anak-anaknya tahu keretakan rumah tangga mereka.
"Selama ini mas jadi sopir online? Mas sering pulang tengah malam, dapat uang harian semuanya hasil jadi sopir kan? Kenapa sih mas egois nggak memikirkan perasaan aku?"
"Iya maaf karena mas bohong sama kamu. Mas selama ini memang jadi sopir online sambil menunggu panggilan kerja. Mas nggak mau kalian kekurangan apapun."
"Kenapa harus sopir Mas!" Mata Nadira memerah. "Sekarang aku benar-benar muak sama mas Naren."
"Apa salahnya dengan sopir Nadira? Yang pentingkan uang mas dapatkan halal. Kenapa hal seperti ini kamu perdebatkan hm?" Naren melangkah semakin dekat, menangkup rahang Nadira dan menatapnya sangat dalam.
"Nggak semuanya harus berjalan sesuai keinginan kita. Sekarang Allah menguji rumah tangga kita dengan ekonomi. Kuncinya hanya sabar, kita pasti bisa melalui badai ini jika saling menguatkan," lirih Naren.
Ia semakin mendekatkan wajahnya sampai hidung mereka bersentuhan. Sejujurnya dia merindukan Nadiranya yang dulu. Ia rindu suasana damai rumah ini. Pelukan hangat istrinya saat ia lelah dan kata-kata manis Nadira sebelum tidur.
Naren memejamkan matanya, mengatur napas setenang mungkin. "Sekali saja coba tutup matamu dan hiraukan penilaian orang di luar sana. Kita hidup bukan untuk menyenangkan mereka," ucapnya.
Naren tersentak kala tubuhnya mundur beberapa langkah karena dorongan Nadira. Ia menatap penuh tanya pada istrinya.
"Nggak udah nasehati aku mas, ingat saja janjimu saat menikahiku. Mas berjanji untuk membahagiakan aku dan nggak akan membuatku menderita!" ujar Nadira yang tidak luluh sama sekali dengan bujukan Naren.
"Nadira, tolong sekali saja hargai aku sebagai suamimu. Aku sudah mengusahakan yang terbaik ...."
"Omong kosong!" Nadira berlalu ke kamar mandi.
Dan lagi-lagi wanita itu berhasil melukai hati Naren yang selalu berusaha sabar menghadapi istrinya. Ia menatap cincin di jari manisnya, seolah mempertanyakan dimana letak kehangatan rumah tangga mereka yang dulu selalu membuat orang iri.
Hanya karena nafkah yang ia berikan tidak lagi cukup, istri yang selalu berada di sampingnya mulai menjauh dan tidak mengharapkan ia lagi.
"Ayah ayo main lagi, kenapa ayah berdiri di kamar saja?"
Naresa menarik tangan ayahnya sehingga membuat Naren tersadar dari rasa sakit yang membelenggunya.
"Iya sayang ayo." Naren meninggalkan kamar, berusaha terlihat baik-baik saja dan tertawa seolah hatinya tidak terluka.
Malam semakin larut, Naren pun sudah menidurkan anak-anaknya. Ia kembali ke kamar dan menemukan istrinya bermain ponsel di atas ranjang.
Hatinya menghangat melihat senyuman Nadira, hanya saja senyuman itu bukan untuknya melainkan pada benda pipih yang entah apa isinya.
Naren mendekat, naik ke tempat tidur. Dan berbaring di samping Nadira.
"Mas senang melihat senyummu," ujar Naren. Ia mengayunkan tangannya hendak meletakkan tangan di pinggang sang istri, tetapi Nadira langsung mengambil guling dan meletakkannya di tengah.
"Aku mengantuk," gumam Nadira.
"Iya."
Naren pun merubah posisinya membelakangi Nadira. Sulit di pungkiri kini ia meneteskan air mata. Pedih dan lelahnya tidak tertahankan lagi tetapi ia tidak punya tempat untuk mencurahkan semuanya.
"Semua akan indah pada waktunya Naren, anak-anakmu butuh kamu," batin Naren kemudian memejamkan matanya.
....
Hari Naren tetap berlanjut bersama anak-anaknya. Kali ini ia tidak mendengarkan omongan Nadira yang menyuruhnya berhenti menjadi sopir online. Jika ia melakukannya maka mereka benar-benar akan kesulitan.
Sejak pertengkaran mereka malam itu Nadira seolah menghindarinya. Tidurpun hampir tidak pernah sekamar lagi. Naren lebih banyak menghabiskan waktunya di kamar anak-anak. Kadang kala Naren menangis memandangi damainya tidur buah hatinya.
"Kita bertemu lagi Mas," celetuk penumpang Naren yang baru saja masuk ke mobil.
"Iya Dek." Naren tersenyum.
"Dan lagi-lagi tengah malam." Leona tersenyum. "Sebenarnya saya juga nggak mau naik kendaraan online tengah malam begini, tapi saya ada sedikit trauma."
Naren lantas melirik Leona dari spion, seolah menunggu wanita itu melanjutkan ucapannya. "Saya nggak bisa menyetir setelah matahari tenggelam karena kecelakaan satu tahun yang lalu bersama kekasih saya. Sayangnya pekerjaan saya selalu selesai di malam hari."
"Pantas saja," gumam Naren.
"Dan kebetulan kita bertemu lagi Mas. Sebenarnya sudah lama saya ingin menghubungi tapi tidak tahu lewat apa." Leona merogoh tas nya dan mengeluarkan kartu nama.
"Kalau mas belum mendapatkan pekerjaan, coba saja datang ke perusahaan ini. Mereka sedang mencari pengawal dan sopir untuk saya." Menyerahkan kartu nama direktur perusahaan Alexander bagian keamanan.
"Terimakasih."
"Niatnya sih saya ingin memilih mas secara langsung, tapi itu bisa membahayakan mas."
Naren mengangguk dan terus memandangi kartu nama itu. Memang sekarang jaringan Alexander sudah tersebar di mana-mana. Bahkan sudah terbagi menjadi beberapa bagian salah satunya membangun kantor keamanan.
"Tapi saya ex karyawan ...."
"Ini kesempatan mas membersihkan nama kalau memang nggak pernah korupsi. Sebab saat mas mendaftar, seluruh latar belakang mas akan diperiksa." Leona membocorkan sesuatu yang bersifat rahasia.
"Terimakasih untuk informasi Dek. Saya akan mencobanya."
Usai mengantar penumpangnya pulang, Naren langsung putar arah menuju rumah. Sedangkan penumpang itu sendiri memasuki rumahnya dengan senyuman.
Namun, langkahnya kecilnya berhenti mendengar suara berat papanya. Pria paruh baya itu tidak menatapnya tetapi auranya terasa menyeramkan. Posisi ayahnya menghadap jendela yang mengakses ke gerbang.
"Tiga kali dengan plat mobil yang sama," ujar pria itu.
"Ya namanya juga kebetulan Pa."
"Bukan karena ada sesuatu sehingga kamu menolak sopir pribadi yang papa tawarkan?"
"Nggak Papa, lagian kalau benar ada sesuatu Leona nggak mungkin setuju usulan om Eril."
...
Naren menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan ketika tidak menemukan makanan di dapur. Ini sudah biasa terjadi tapi entah kenapa Naren mengharapkannya karena sangat lapar.
Dia menuju kamar dan mendapati istrinya bermain ponsel dan senyum-senyum sendiri.
"Sayang, mas bisa minta tolong buatkan mie instan? Mas rasanya nggak punya tenaga untuk ...."
"Aku lelah," jawab Nadira tanpa sempat Naren menyelesaikan ucapannya.
"Kalau begitu mas pinjam ponselmu untuk memesan makanan."
"Nggak bisa, aku lagi ngerjain sesuatu," sahut Nadira masih fokus pada benda pipihnya.
Naren keluar dari kamar untuk mencari keberadaan ponselnya, ia tadi meletakkannya di sofa. Usai memesan makanan ia kembali ke kamar dan tidak mendapati sang istri.
Hati Naren tergerak untuk memeriksa ponsel Nadira. Entah kenapa firasatnya buruk setiap kali melihat istrinya tersenyum ketika memegang ponselnya.
Sudah aku Tf ya Sayang
Besok jangan lupa datang ka Agensi
Pap dulu dong Yang, nggak bisa tidur nih sebelum liat wajah cantik kamu.
Kan udah pas di kamar mandi, lagiakan kita ketemu tadi pagi.
Pengen cium.
Besok Sayang
Darah Naren mendidih melihat chat istrinya bersama pria bernama Rafka. Hatinya berdenyut, perih seolah seseorang baru saja menyentil daging kecil itu.
Tangan Naren mengepal, hatinya hancur berkeping-keping. Di saat dia berjuang untuk anak dan istrinya. Nadira malah bermain di belakangnya.
"Mas Naren kok pegang-pegang hp aku sih." Nadira merebut ponsel di tangan Naren.
"Sejak kapan kalian menjalin hubungan Nadira? Sejauh apa?" tanya Naren dengan suara tercekatnya.
"Apa sih mas."
"Jawab aku Nadira!" Tatapan Naren memerah, ia kecewa pada istrinya. Bukannya salin menguatkan wanita itu malah mencari pelarian.
"Ini semua salah mas Naren, kalau mas nggak buat aku malu. Nggak bikin aku kesepian aku nggak mungkin cari kesenangan di luar sana!"
"Berikan ponselmu." Naren menegadahkan tangannya.
"Nggak!"
"Mulai malam ini, mas melarangmu keluar rumah!"
.
.
.
.
.
.
Ih kesal sama Nadira😏
udah kmu sm shanaya aja aku dukung pake bgtttt😄
tapi jangan Leona deh orang tuanya konglomerat takut Nanti Naren nya juga minder
dan takutnya orang tua Leona ga mau menerima anak2 Naren
jadi sama shanaya aja
semoga Naya juga sayang anak2 Naren