Kirana Larasati, gadis yang baru saja lulus SMA, harus menghadapi kenyataan pahit. Adiknya menderita sakit kanker, namun masalah ekonomi membuat adiknya terpaksa dirawat di rumah sendiri. Kirana ingin bekerja dan membantu orang tuanya. Suatu hari, tetangganya bernama Lilis menawarkannya pekerjaan sebagai pengasuh anak.
Kirana bertemu dengan Bastian Rajendra, seorang duda yang memiliki satu anak perempuan bernama Freya Launa.
Awalnya, Kirana hanya berniat bekerja untuk mendapatkan uang demi pengobatan adiknya. Namun, kedekatan Kirana dengan Freya, serta tanggung jawabnya yang besar, membuat Bastian mengambil keputusan tak terduga. Bastian menawarkan sebuah pernikahan kontrak dengan janji akan menanggung seluruh biaya pengobatan adiknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nur Sabrina Rasmah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gigit Saja Kalau Ayah Galak!
Kirana yang sedang asyik melamun sambil mengelap meja, tiba-tiba dikagetkan oleh suara kecil Freya. Bocah itu rupanya belum beranjak dan sedang memperhatikannya dengan tatapan polos.
"Kak Kirana..." panggil Freya sambil menarik ujung baju Kirana.
Kirana menunduk, tersenyum kecil. "Iya, Sayang? Ada apa?"
Freya mendekat, lalu berbisik seolah-olah sedang membagikan rahasia besar yang sangat penting. "Kakak jangan takut sama Ayah. Ayah nggak gigit kok," ucapnya dengan wajah meyakinkan.
Kirana hampir saja menyemburkan tawa. Ternyata ketakutan dan kecanggungannya sejak tadi terbaca oleh anak kecil ini. "Eh? Siapa yang takut? Kakak nggak takut kok," dusta Kirana sambil membenarkan letak kuncir rambut Freya.
Namun, kalimat Freya selanjutnya benar-benar membuat Kirana membeku di tempat.
"Tapi kalau nanti Ayah gigit, Kakak gigit Ayah lagi aja!" lanjut Freya dengan nada santai, seolah-olah itu adalah solusi paling logis di dunia.
Kirana membelalakkan matanya, "H-hah? Digigit balik?"
"Iya! Biar Ayah tahu kalau digigit itu sakit," tambah Freya sambil mengepalkan tangan kecilnya dengan penuh semangat, lalu ia berlari kecil menuju kamarnya untuk mengambil tas.
Kirana hanya bisa melongo, mematung dengan serbet di tangan. Bayangan dirinya harus menggigit balik seorang Bastian Rajendra—pria dewasa yang badannya dua kali lipat lebih besar darinya—langsung melintas di otak.
“Aduh Freya, ide kamu liar banget! Yakali gue gigit bos sendiri? Yang ada gue langsung ditendang keluar dari rumah ini sebelum sempat gigit balik,” batin Kirana sambil menggelengkan kepalanya kuat-kuat.
Tak lama kemudian, mobil mewah berwarna putih masuk ke halaman. Itu adalah Mama dari Bastian, nenek Freya. Freya pun berpamitan dengan riang. Kirana mengantar sampai ke depan pintu, melambaikan tangan hingga mobil itu menghilang dari pandangan.
Seketika, rumah besar itu terasa sangat sunyi. Tidak ada lagi suara cempreng Freya atau tawa kecilnya. Kirana menghela napas panjang, berbalik masuk ke dalam rumah yang kini terasa sangat luas dan... mengancam.
"Oke Kirana, fokus. Tiga hari ke depan tugasmu cuma bantu Mbak Lilis. Hindari 'Kelinci Gede' itu sebisa mungkin, dan yang paling penting... jangan sampai ada adegan gigit-gigitan!" gumamnya pada diri sendiri sembari berjalan menuju dapur.
Siang itu, Bastian memutuskan untuk pergi ke mall sejenak guna menenangkan pikiran di sela jadwal rapatnya. Namun, takdir justru mempertemukannya dengan luka lama. Di antara kerumunan orang, matanya menangkap sosok yang sangat ia kenali: Laura, mantan istrinya.
Hati Bastian berdenyut nyeri melihat Laura tampak begitu bahagia, tertawa lepas sambil menggandeng mesra suami barunya dan menggendong seorang anak kecil. Seketika, memori pahit itu berputar kembali di otak Bastian. Ia teringat bagaimana dulu ia memergoki wanita yang sangat ia cintai itu berselingkuh di belakangnya, sebuah pengkhianatan yang menghancurkan kepercayaan Bastian pada cinta dan mengubahnya menjadi pria sedingin es.
Dengan rahang yang mengeras dan kepalan tangan kuat, Bastian berbalik. Ia tidak sanggup melihat kebahagiaan itu lebih lama lagi. Ia segera memacu mobilnya pulang dengan emosi yang bergejolak hebat di dalam dada.
Sesampainya di rumah, Bastian membanting pintu mobil dengan keras. Ia melangkah masuk ke dalam rumah dengan aura yang jauh lebih gelap dan mencekam dari biasanya.
Di ruang tamu, Kirana sedang sibuk menyapu lantai. Ia tidak tahu apa yang baru saja dialami majikannya. Melihat Bastian pulang lebih awal, Kirana berusaha bersikap ramah seperti instruksi Mbak Lilis.
"Selamat siang, Pak Bastian," sapa Kirana dengan senyum sopan.
Namun, Bastian terus melangkah melewatinya begitu saja. Jangankan menjawab, menoleh pun tidak. Tatapannya lurus ke depan, kosong dan penuh kemarahan yang tertahan.
Kirana mematung dengan sapu di tangannya. Senyumnya perlahan luntur, digantikan oleh kerutan di dahi. Ia merasa kehadirannya benar-benar dianggap seperti angin lalu.
"Babi! Nggak dijawab! Sombong banget jadi orang," batin Kirana kesal setengah mati.
Ia menatap punggung tegap Bastian yang menaiki tangga dengan langkah kasar. "Apa mulutnya lagi sariawan akut atau emang beneran harus pakai toa masjid biar dia denger? Perasaan tadi pagi masih bisa ngomong irit-irit, sekarang malah bisu total!"
Kirana menghentakkan sapunya ke lantai dengan gemas. Ia tidak tahu bahwa saat ini, sang "Kelinci Gede" sedang berperang dengan hantu masa lalunya di lantai atas. Bagi Kirana, Bastian hanyalah majikan yang sangat tidak punya sopan santun.
"Awas aja kalau nanti butuh bantuan, bakal gue gigit beneran kayak kata Freya!" gerutu Kirana pelan sambil melanjutkan pekerjaannya dengan perasaan dongkol yang meluap-luap.
di bab sblm nya jg gitu aku masih diem..eeh ini ketemu lg..kesel sm majikan boleh² aja tp g mesti ngebatin dengan kata² kotor.