zaira Kalya , gadis bercadar yang bernasib malang, seolah cobaan terus mendatanginya. Setelah Tantenya-tika Sofia-meninggal, ia terpaksa menerima perjodohan dengan albian Kalvin Rahardian-badboy kampus-yang begitu membencinya.
Kedua orang tua ziara telah meninggal dunia saat ia masih duduk dibangku sekolah menengah pertama, hingga ia pun harus hidup bersama tika selama ini. Tapi, tika, satu-satunya keluarga yang dimilikinya juga pergi meninggalkannya. tika tertabrak oleh salah satu motor yang tengah kebut-kebutan di jalan raya, dan yang menjadi terduga tersangkanya adalah albian.
Sebelum tika meninggal, ia sempat menitipkan ziara pada keluarga albian sehingga mereka berdua pun terpaksa dinikahkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chayra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 8
Agra menyenggol lengan rifki pelan sambil menunjuk albian dengan dagunya.
“Kita mau jengukin lo dong. Masa temen sakit gak dijengukin sih? Iya gak, Gra?” jawab rifki cengengesan seraya mengulurkan parcel buah pada albian. “Ini buat lo biar cepet sehat.”
“Yoi, bro. Biar lo cepet ngampus lagi. Kesepian kita kalo lo gak ada,” sahut Arfa heboh. “Tapi, ngomong-ngomong lo inget gak sama kita berdua?”
“Lo kira semua ingatan gue hilang sampe lupa sama kalian? Gue gak sepayah itu kali,” sungut albian yang berjalan menuju nakas, meletakkan parcel buah. “Gue Cuma lupa sama beberapa hal doang.”
“Masalahnya lo sempet lupa sama nama lo sendiri, bro. Makanya kita was-was aja. Iya rif?” Arfa menaik turunkan kedua alisnya, lalu menghempaskan tubuhnya di atas sofa.
Mata albian teralihkan pada buku paket milik ziara yang terjatuh ke bawa setelah arfa duduk di sofa tadi. Seketika ia panik kalau saja Agra-si cowok paling ember itu melihat nama ziara tertera di buku itu.
Buru-buru albian bangkit berdiri dan berjalan menghampiri dua sahabatnya yang duduk di sofa. Dengan gerakan cepat, diambilnya buku paket yang jatuh tadi dan menyembunyikannya di tubuhnya.
Arfa yang sempat melihat jadi penasaran. “Apaan tuh? Lo habis belajar tadi?” tanyanya.
“I-iya. Gue belajar bentar,” jawab albian terbata, lalu memasukkan buku tadi ke dalam laci meja belajarnya.
Rifki tiba-tiba terkekeh. “Ada angin apaan kok tumben lo belajar? Pegang buku aja kadang lo males.”
“Bukan Cuma males, tapi alergi, rif,” sahut Agra menimpali. Tawanya lebih kencang dari rifki malahan.
Albian bangkit berdiri, dengan satu gerakan cepat ia menempeleng arfa hingga sahabatnya itu meringis. “Berisik lo!” ketusnya.
Arfa mengusap kepalanya sambil melotot pada rifki yang menertawakannya hingga sakit perut.
“Lo gak adil, bian. Masa Cuma gue aja sih yang dipukul? Kenapa si rifki enggak? Pilih kasih banget lo,” protes Arfa masih dengan satu tangan yang memegangi kepala. “Untung aja gue gak gegar otak.”
“Gue yang amnesia,” sahut albian dengan tatapan dingin.
Rifki mengatupkan bibirnya dengan kedua pipi yang mengembung menahan tawa. Pemuda itu takut jadi sasaran amukan albian berikutnya kalau terus saja tertawa.
“Btw, vino jengukin lo gak, bian?” tanya rifki memilih mengalihkan topik pembicaraan.
Albian menggeleng samar. “Enggak. Lagian gue gak ngarep dijenguk sama dia,” jawabnya.
“Ya kali aja kan dia mau mastiin lo masih hidup apa udah mokad. Kan dia pengen banget menang dari lo,” sahut Arfa seolah tak ada kapoknya setelah ditempeleng beberapa waktu lalu.
Albian menatap arfa tajam seolah ingin menguliti pemuda itu detik ini juga. “Asem lo ya! Pengen banget gue mokad beneran kayaknya.”
“Santai, bro. Bukan gue, tapi vino yang gue maksud tadi. Lo tau sendiri kan kalo dia yang nentuin jalur balapan mala itu. Udah tau jalanan umum, masih aja nekad dipake buat balapan,” ucap arfa meluruskan. Pemuda itu sudah berjaga-jaga dengan melindungi kepalanya.
Mata dua pemuda itu berbinar setelah Bi Asih membawakan minuman dingin dan camilan ke kemar albian.
“Silahkan, Den, minuman sama camilannya. Kalau kurang minta aja sama Bibi,” ucap wanita paruh baya yang sudah bekerja sepuluh tahun di rumah itu.
“Siap, Bi,” balas Arfa dan rifki kompak.
Mereka berdua makin betah berada di kamar albian membahas banyak hal, terutama keadaan kampus saat albia tak ada.
Tanpa terasa waktu berlalu begitu cepat. Dua sahabat albian itu masih saja bercerita tanpa henti. Sedangkan albian hanya sebagai pendengar yang baik, dan sesekali netranya melirik ke arah walk in closet tempat ziara bersembunyi.
Dari dalam walk in closet, ziara mendengarkan percakapan mereka bertiga. Gadis itu sudah tak betah berada di dalam sana dan ingin segera keluar.
“Kenapa mereka belum pulang juga ya? Aku pengen cepet keluar,” ucapnya lirih.
“Ternyata albian habis kecelakaan juga? Dia ikut balapan liar? Aku baru tau,” sambungnya.
Rifki yang duduk di samping arfa sejak tadi terlihat tak bisa diam. Pemuda itu bergerak gelisah di atas sofa. Lalu tangannya terulur ke bawah, dan ternyata tanpa sadar ia menduduki HP sejak tadi.
“Hp siapa nih? Gak sengaja gue dudukin.” Rifki mengulurkan HP dengan softcase pink bergambar kucing itu ke arah albian dan berhasil membuat pemuda itu menelan salivanya susah payah.
Belum sempat albian mengambil benda pipih tadi dari tangan rifki, Agra buru-buru mengambilnya.
Dasarannya Arfa yang suka kepo, ia pun menelisik benda pipih itu dan berniat menekan tombol power untuk menghidupkannya.
Beruntung albian cepat merebutnya sebelum layar HP menyala menampilkan wallpaper foto ziara dengan almarhumah tika.
“Punya siapa tuh? Gak mungkin kan punya lo? Hp lo kan flagship, bukan entry level kayak gitu. Pake softcase kucing lagi. Benci banget kan lo sama anabul satu itu,” tanya arfa menginterogasi.
Albian menampilkan wajahnya yang garang. “Hp punya Bi Asih. Tadi habis beres-beres di sini. Ketinggalan kayaknya,” jawabnya sesantai mungkin.
“Serius? Masa sih Bi Asih suka main HP waktu kerja?” arfa masih tak mau percaya begitu saja.
Albian menghela napas kasar. “Terserah lo mau percaya atau enggak. Mending sekarang lo berdua pulang sebelum gue tendang!” ucap albian marah.
Ziara tersenyum lega di dalam sana. Ia senang sebab tak lama lagi akan keluar dari walk in closet. Tenggorokannya sudah sangat kering menahan haus sejak tadi.
Di hari pertama albian masuk kampus, diana ingin putranya berangkat bersama dengan ziara. Padahal baik ziara dan albian sepakat ingin menyembunyikan pernikahan mereka dari semua orang. Terlebih albian akan berangkat dengan menggunakan motor sport, tentu saja ziara tak nyaman. Otomatis ziara harus berpegangan kalau pemuda itu mengebut.
“Kenapa kamu gak bawa mobil aja sih, bian? Susah dong nanti ziara naiknya kalau pakai motor sport,” protes diana yang sudah berdiri di depan mobil hendak ke kantor.
“Lagian mobil yang gak dipake masih ada dua. Kenapa gak bawa mobil aja?”
Albian tetap mengenakan helm full face-nya. Seolah menulikan pendengarannya dari omelan sang Mama.
“albian! Kamu gak denger Mama bilang apa? Kenapa diem aja?” ucap diana dengan suara yang lebih keras.
Albian menoleh dengan helaan napas berat. “Aku denger, Ma,” balasnya.
“Terus kenapa kamu tetap pake helm? Kenapa gak ganti bawa mobil aja?” tanya diana sekali lagi.
“Aku gak mau bawa mobil, Ma. Ribet. Kalo dia mau nebeng ya harus nurut naik motor, tapi kalo gak mau ya biar aja naik taksi atau ojek,” jawab albian cuek. Ia bahkan menunjuk ziara dengan dagunya tanpa mau melihat istrinya itu.
“Gapapa, Ma. Biar zia naik taksi aja. Lagi pula nanti kalo ada yang tau zia dibonceng albian bisa-bisa kampus heboh,” sahut ziara.
Senyuman albian mengembang. Pemuda itu senang karena ziara menolak ikut bersamanya. Jadi, ia tak perlu repot-repot memberikan alasan pada Mamanya.
“Tuh kan, Mama denger sendiri. Ziara mau naik taksi aja katanya. Bukan aku loh ya yang nolak barengin,” ucap albian.
Diana menghampiri ziara, membelai kepalanya yang tertutup hijab. “Sayang, kamu kan udah jadi istrinya albian, jadi harusnya kamu bareng sama albian aja ke kampusnya.”
“Tapi, Ma-“
“Nurut ya sama Mama. Ini demi kebaikan kalian. Mama Cuma mau yang terbaik untuk kalian berdua. Dan Mama yakin Tante kamu juga mau yang terbaik untuk kamu,” potong diana sebelum ziara menyelesaikan ucapannya.
Anggukan pelan dari ziara berhasil membuat albian jadi kesal. Kini ia tak bisa lagi menolak permintaan sang Mama. Ucapan sang Mama tak bisa dibantah.
Akhirnya ziara berangkat ke kampus dibonceng albian dengan motor sport-nya karena pemuda itu ngotot ingin membawa motor.
Sesekali ziara berpegangan pada pinggang albian ketika pemuda yang berstatus suaminya itu menarik gas dadakan hingga hampir membuat ziara terjungkal ke belakang.
Tiba-tiba albian menghentikan motornya di tepi jalan, padahal untuk sampai ke kampus masih sekitar 1 kilometer lagi.
“Kenapa berhenti?” tanya ziara masih di atas boncengan.
“Turun lo!” titah albian. “Gue gak mau ya kalo nanti ada yang curiga sama kita gara-gara lo nebeng gue ke kampus.”
“Maksudnya kamu nurunin aku di sini, bian? Kampusnya kan masih lumayan jauh,” protes ziara yang belum juga turun.
“Lo mau turun sendiri apa gue angkat lo dari motor gue? Buruan! Gue telat kalo lo kelamaan,” ucap albian sambil menatap ziara dari spion motornya.
Ziara pun akhirnya turun dari atas motor albian.
Begitu ziara turun, albian kembali melajukan motornya meninggalkkan ziara di tepi jalan
Ziara terbelalak melihat motor albian melaju pergi. Helmnya saja belum sempat diberikan pada albian tadi. Kini, ia jadi harus berjalan kaki sambil membawa helm.
“Kenapa ya dia benci banget sama aku dari dulu? Sekarang malah dia jadi suami aku?” gumam ziara sambil berjalan dengan wajah yang ditundukkan.
Detik selanjutnya terdengar suara HP milik ziara yang berdering dari dalam tasnya. Gadis itu sibuk merogoh ke dalam tas untuk mengambil benda pipih itu dari dalam sana. Tapi, helm yang ada dipelukkannya malah terjatuh dan berguling ke jalan.
Ziara yang panik segera mengejar helmnya sebab helm itu milik albian.
Begitu tangannya meraih helm warna hitam itu, terdengar suara klakson mobil yang begitu nyaring. Mobil putih itu melaju mendekat dan semakin dekat ke arahnya.
“Ya Allah, lindungi hamba-Mu ini,” batin ziara.