NovelToon NovelToon
MY FORBIDDEN EX-BOYFRIEND

MY FORBIDDEN EX-BOYFRIEND

Status: sedang berlangsung
Genre:Menikah dengan Musuhku / Cinta Terlarang / Murid Genius / Romansa / Fantasi Wanita / Enemy to Lovers
Popularitas:4.4k
Nilai: 5
Nama Author: NonaLebah

Jessy Sadewo memiliki segalanya: kecantikan mematikan, kekayaan berlimpah, dan nama yang ditakuti di kampus. Tapi satu hal yang tak bisa dia beli: Rayyan Albar. Pria jenius berotak encer dan berwajah sempurna itu membencinya. Bagi Rayyan, Jessy hanyalah perempuan sombong.

Namun, penolakan Rayyan justru menjadi bahan bakar obsesi Jessy. Dia mengejarnya tanpa malu, menggunakan kekuasaan, uang, dan segala daya pesonanya.

My Forbidden Ex-Boyfriend adalah kisah tentang cinta yang lahir dari kebencian, gairah yang tumbuh di tengah luka, dan pengorbanan yang harus dibayar mahal. Sebuah roman panas antara dua dunia yang bertolak belakang, di mana sentuhan bisa menyakitkan, ciuman bisa menjadi racun, dan cinta yang terlarang mungkin adalah satu-satunya hal yang mampu menyembuhkan — atau justru menghancurkan — mereka berdua.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NonaLebah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 29

Motor tua Rayyan meluncur pelan di antara lautan lampu kota Jakarta. Angin malam berdesir lembut, menerpa wajah mereka, membawa serta aroma khas ibu kota—campuran bensin, debu, dan sesekali wangi makanan dari kaki lima yang mereka lewati. Jessy duduk tegak di jok belakang, berusaha mati-matian menjaga jarak. Hanya ujung jari-jarinya yang menempel pada besi pegangan di samping jok, sisa-sisa keengganan yang masih bertahan.

Tapi matanya, sepasang mata hazel yang biasanya penuh dengan percaya diri, tak bisa berbohong. Mereka terpaku pada punggung Rayyan. Punggung yang bidang, dengan tulang belakang yang jelas terlihat. Punggung yang sama yang dulu, di masa lalu yang terasa begitu jauh, selalu ia lingkupi dengan pelukan penuh cinta, dengan pipinya yang menempel, merasakan kehangatan dan rasa aman yang tak tergantikan.

Tiba, sebuah sensasi panas mengalir di pipinya. Jessy terkejut, menyadari ada setetes air mata yang berhasil lolos dari pertahanannya. Dia buru-buru mengusapnya dengan punggung tangan, geram pada dirinya sendiri.

'Bodoh! Ngapain gue tangisin cowok brengsek kayak dia!' bentak hatinya, mencoba mengusir segala kelemahan yang muncul.

Tiba-tiba, tanpa peringatan, motor Rayyan mengerem mendadak. Creek! Suara rem yang agak berisik itu diikuti dengan hentakan kecil. Seekor kucing belang melesat cepat menyebrang jalan, nyaris tertabrak.

Jessy, yang tidak siap, terlempar ke depan. Dadanya menempel keras ke punggung Rayyan, lengannya secara refleks meraih dan memeluk tubuh Rayyan untuk menahan keseimbangan. Sentuhan itu... terasa begitu familiar. Kehangatan, kekokohan, dan aroma sabun mandi sederhana yang melekat pada Rayyan menyergap indranya, membawa kembali banjir kenangan yang ia coba tenggelamkan.

Dia buru-buru melepaskan pelukannya seolah tersengat listrik, wajahnya memanas.

"Kamu sengaja ya!" serunya, suara sedikit bergetar, mencoba menutupi rasa malunya dengan kemarahan.

"Ada kucing nyebrang tadi," jawab Rayyan dari depan, suaranya tenang dan datar, tidak terpancing. Dia hanya menunjuk ke arah kucing yang sudah aman di trotoar.

"Udah! Aku turun di sini aja!" gerutu Jessy, rasa frustrasinya memuncak. Dia melompat turun dari motor, berusaha melepaskan diri dari situasi yang semakin membuatnya kacau.

Tapi sebelum dia bisa melangkah pergi, sebuah tangan yang kuat kembali meraih pergelangannya. "Naik, Jes!" perintah Rayyan, kali ini suaranya lebih dalam, lebih tegas. Ada desakan yang tidak bisa ditolak di dalamnya.

"Nggak mau! Siapa kamu maksa-maksa aku!" balas Jessy, mencoba melepaskan diri, tapi genggaman Rayyan seperti besi.

Dengan gerakan yang terlihat sudah terlatih—atau mungkin didorong oleh keputusasaan—Rayyan dengan mudah mengangkat Jessy dan mendudukkannya kembali di jok belakang. Tubuh Jessy yang ringan tak berdaya melawan kekuatan Rayyan.

"Apa sih kamu maksa-maksa aku," keluh Jessy, suaranya sudah hampir seperti rengekan. Dia merasa kewalahan, tidak hanya oleh fisik Rayyan, tapi juga oleh gejolak di hatinya sendiri.

Dan kemudian, Rayyan melakukan sesuatu yang membuatnya benar-benar terpana. Dengan gerakan yang penuh keyakinan, dia meraih kedua tangan Jessy dan menariknya, menyilangkannya di depan pinggangnya. Tubuh Jessy tertarik hingga merapat sempurna ke punggung Rayyan. Tidak ada lagi jarak. Dadanya menempel, pipinya hampir-hampir menyentuh bahu Rayyan.

Jessy tersentak kaget. Tapi di balik keterkejutannya, ada sebuah kepuasan yang diam-diam ia rasakan. Ini... ini yang aku inginkan sejak tadi. Sentuhan itu seperti mengobati kerinduan yang terpendam selama berbulan-bulan.

Tapi harga dirinya tidak mudah menyerah. "Jangan main tarik aja dong!" protesnya, mencoba melepaskan tangan, meski upayanya lemah. "Jangan kamu pikir aku suka ya naik motor tua dan berdebu kamu ini!" Ucapannya adalah tameng terakhir, upaya nekat untuk menyelamatkan sisa-sisa kebanggaan yang sudah hampir runtuh.

Dari depannya, suara Rayyan terdengar, tenang namun menusuk langsung ke relung hatinya yang paling dalam. "Aku bakal pastiin kamu aman sampai rumah."

Kalimat itu sederhana. Tidak ada kata "cinta" atau "maaf". Tapi bagi Jessy, itu seperti pengakuan. Sebuah janji yang membuat hatinya berdesir kencang. Apa... apa dia masih...? Harapan kecil yang selama ini dipendamnya mulai menyala.

---

Di depan, di balik kaca helm yang sederhana, mata Rayyan menerawang ke jalanan yang diterangi lampu kota. Dia merasakan setiap tarikan napas Jessy di punggungnya, setiap ketegangan di tangan gadis itu yang kini terpaksa memeluknya. Dia sadar, sikap "sombong" dan "jijik" Jessy tadi hanyalah pertahanan. Itu adalah Jessy lama, Jessy yang mati-matian menjaga jarak karena terluka.

Dan bukankah itu yang seharusnya dia inginkan? Bukankah dengan Jessy yang menjauh, hidupnya akan kembali tenang? Terbebas dari drama dan kompleksitas yang dibawa gadis itu?

Tapi kenapa, justru saat melihat Jessy berusaha keras untuk tidak peduli, saat mendengar nada ketusnya, saat merasakan upayanya untuk menjaga jarak... justru di saat itulah sebuah pengakuan jujur terungkap dalam benaknya, sebuah gumaman yang hanya untuk dirinya sendiri, terdengar lirih di balik deru mesin dan desir angin:

"Tapi kenapa aku malah nggak mau kehilangan kamu sekarang, Jes?"

Gumaman itu penuh dengan rasa rindu yang tak terbendung, sebuah penyesalan yang dalam, dan sebuah pertanyaan yang belum berani ia jawab: apa yang sebenarnya ia inginkan sekarang?

---

Langit Jakarta yang tadi hanya dihiasi gemerlap lampu kota, tiba-tara menggelap. Petir menyambar-nyambar di kejauhan, diikuti gemuruh yang menggetarkan udara. Kemudian, dengan sedikit peringatan, hujan deras mengguyur kota. Butiran air yang besar dan keras menghujam aspal, atap mobil, dan tubuh mereka yang masih berada di atas motor.

"Astaga!" seru Rayyan, segera menepikan motornya ke bawah atap ruko yang sudah tutup. Hujan begitu deras, membentuk tirai air yang nyaris menutupi pandangan. Dengan gerakan cepat dan terlatih, dia membuka tas ranselnya yang sudah basah di beberapa bagian. Wajahnya menunjukkan konsentrasi penuh saat dia dengan hati-hati membungkus laptop di dalamnya dengan penutup anti air, memastikan perangkat vitalnya itu aman. Baru setelah itu, dia mengeluarkan sebuah jas hujan lipat sederhana.

"Aku ada jas hujan. Kamu pakai aja," ujarnya pada Jessy, suaranya lembut, hampir tertelan oleh deru hujan. Dia menyodorkan jas hujan itu, matanya penuh perhatian.

Mereka berdua berdiri berdekatan di bawah atap ruko yang sempit. Air hujan yang memercik dari atap masih membasahi ujung sepatu mereka. Jessy, yang rambut dan pakaiannya sudah mulai lembap, melipat tangannya di dada. Dia merasa kedinginan, tapi gengsinya lebih besar.

"Liat kan!" serunya, suara sedikit melengking, mencoba menutupi rasa rapuhnya dengan kemarahan. "Gara-gara kamu nyuruh aku naik motor tua kamu, sekarang aku jadi kehujanan! Harusnya tadi aku bisa naik taksi dengan nyaman, atau... atau bareng sama artis cowok yang tadi!" Ucapannya sengaja dipilih untuk menyakitkan, untuk menguji seberapa besar Rayyan bisa terluka.

Dan itu berhasil. Rayyan terdiam. Ekspresi dinginnya retak, menunjukkan secercah kekecewaan yang dalam. Mungkin Jessy benar. Mungkin dunianya yang serba kekurangan ini memang tidak pantas untuk seorang Jessy Sadewo. Mungkin dia egois telah memaksanya masuk ke dalam ketidaknyamanan ini.

"Maafin aku, Jes," ucapnya akhirnya, suara rendah dan pasrah. "Oke, aku pesanin taksi online ya. Maaf udah bikin kamu kehujanan."

Dia mengeluarkan ponsel lamanya, layarnya sudah retak, dan jarinya mulai membuka aplikasi taksi.

Melihat tindakan nyata Rayyan, panik menyergap Jessy. Bukan ini yang aku mau! teriak hatinya. Dia hanya ingin mengomel, hanya ingin mendapat sedikit perhatian dan bukti bahwa Rayyan masih peduli, bukan benar-benar ingin pergi.

"Oh, jadi gitu?" ujarnya, mencoba menyembunyikan kepanikannya dengan sarkasme. "Udah bikin aku kehujanan, sekarang kamu mau ngusir aku? Ya udah, aku pergi sendiri!"

Dengan hati dipenuhi emosi yang tak terbendung, Jessy menerobos tirai hujan yang lebat. Air segera membasahi rambut dan pakaiannya, tapi dia tidak peduli. Air mata yang selama ini ditahannya akhirnya meluap, bercampur dengan air hujan di pipinya. Dia berjalan cepat, tanpa tujuan, hanya ingin menjauh dari rasa sakit yang ditimbulkan oleh sikap "penyerahan" Rayyan.

"Jes...!"

Suara Rayyan memanggil dari belakang, tapi Jessy tidak berhenti. Dia tidak sanggup.

Langkah Rayyan lebih cepat. Tangannya yang kuat menangkap lengan Jessy, menghentikan langkahnya di tengah guyuran hujan. "Aku cuma nggak mau kamu kehujanan," ujarnya, suaranya berat. "Kamu benar. Harusnya tadi kamu bareng aja sama artis itu. Daripada sama aku, cuma bisa naikin kamu di motor tua."

"Lepas!" seru Jessy, suaranya pecah oleh tangis. Dia menunduk dalam-dalam, menyembunyikan wajahnya yang sudah basah oleh air mata dan hujan. "Aku bilang lepas!"

Rayyan tidak mendengarkan. Dengan lembut namun pasti, dia membimbing Jessy yang meronta-ronta kembali ke bawah atap ruko. Tubuh Jessy menggigil hebat, kedinginan dan kelelahan secara emosional. Rayyan menyadarinya, dan rasa bersalahnya semakin menjadi.

Dia segera melepas jaket kerjanya yang bagian luarnya sudah basah, tapi bagian dalamnya masih relatif kering. "Pakai ini, Jes. Biar nggak dingin," ujarnya, suara lebih lembut, sambil berusaha memakaikannya ke pundak Jessy yang menggigil.

"Nggak perlu! Nggak usah peduliin aku!" tolak Jessy, mendorong jaket itu dengan lemah. Air matanya masih mengalir deras.

Rayyan menghela napas, merasa tidak berdaya. "Oke... Kalau gitu, aku pesanin taksi aja ya. Biar kamu bisa cepet sampai rumah dan ganti baju."

Keputusan Rayyan untuk memesan taksi sekali lagi seperti menyulut bara di dalam dada Jessy. Dia berbalik mendadak, menatap Rayyan dengan mata yang sudah memerah dan bengkak oleh tangisan. Semua rasa sakit, penolakan, dan kebingungan selama ini meledak.

"Kamu yang paksa aku ikut kamu!" serunya, suara bergetar penuh emosi. "Sekarang kamu dengan entengnya mau buang aku kayak dulu lagi! Aku bisa pergi sendiri! Aku nggak butuh belas kasihan kamu!"

Setiap kata seperti cambuk yang menghajar Rayyan. Dia tertegun, menyadari betapa dalam luka yang ia tinggalkan. "Membuang"? Dia tidak pernah bermaksud demikian. Tapi di matanya yang berkaca-kaca, Jessy melihatnya seperti itu. Dia terjepit di antara cintanya pada Jessy dan kesetiaannya pada ibunya, dan di tengah kebingungan itu, dia telah melukai orang yang paling tidak ingin ia sakiti.

Tanpa bisa menahan diri lagi, diliputi oleh rasa rindu, bersalah, dan cinta yang tak pernah benar-benar padam, Rayyan menarik Jessy dan memeluknya erat-erat. Pelukan itu kuat, hampir putus asa, seolah ingin memastikan bahwa Jessy benar-benar ada di sana.

Jessy kaget, lalu mulai meronta. "Lepas! Aku benci kamu!" isaknya, tinju mungilnya menepuk-nepuk punggung Rayyan tanpa tenaga yang berarti.

Tapi di dalam pelukan itu, di tengah guyuran hujan dan tangisnya sendiri, hati kecil Jessy berteriak pelan, Bohong! Aku nggak benci kamu. Aku kangen kamu. Aku cinta kamu, Rayyan.

Sementara Rayyan, dengan wajahnya yang tertanam di rambut Jessy yang basah, membisikkan dalam hati yang paling dalam, suara yang hanya untuknya sendiri, Benci aku sebanyak yang kamu mau, Jes. Tapi asal kamu tau, aku nggak pernah buang kamu dari hatiku. Tidak pernah.

Di bawah atap ruko yang sempit, di tengah symphony hujan yang deras, dua hati yang terluka dan saling mencinta itu akhirnya bertemu lagi dalam pelukan yang penuh dengan air mata, kebohongan, dan kebenaran yang tak terucapkan.

***

Sabtu pagi itu terasa tenang di rumah kontrakan Rayyan. Sinar matahari menyelinap melalui jendela kamarnya, menerangi debu-debu yang menari malas di udara. Hari ini adalah hari liburnya yang langka—tidak ada jadwal kampus, tidak ada kerja paruh waktu, hanya kesunyian dan waktu untuk dirinya sendiri. Dia sedang asyik membaca jurnal teknik terbaru di laptopnya ketika suara sang ibu memecah konsentrasinya.

"Yan," panggil Ibu Maryam dari ruang tamu, suaranya lembut namun terdengar jelas. "Temenin Arsya ya ke toko buku. Katanya ada buku yang mau dibeli."

Rayyan menghela napas halus. "Iya, Bu," jawabnya, mencoba menyembunyikan sedikit keengganan di nadanya.

"Itung-itung gantian tolongin dia," lanjut Ibu Maryam, mendekati pintu kamarnya. Wajahnya yang mulai berkeriput penuh dengan harap. "Dari kemarin-kemarin dia yang sering tolong Ibu, bantuin jaga kedai, anterin belanja. Kita harus balas budi, Nak."

Rayyan mengerti. Ini bukan sekadar permintaan, ini adalah sebuah pesan. Sebuah upaya halus dari ibunya untuk mendekatkannya dengan Arsya, gadis tetangga yang baik hati dan penurut—segala sesuatu yang tidak dimiliki Jessy.

"Nanti kamu yang jemput ke rumahnya ya," pesan Ibu Maryam sekali lagi sebelum kembali ke dapur.

Rayyan mengangguk pasrah. Dia tidak punya pilihan. Kebahagiaan ibunya adalah segalanya.

---

Toko buku di mall itu seperti oasis di tengah gurun. Sementara toko-toko lain dipenuhi gemerlap pakaian dan gadget, toko buku ini bertahan dengan kesunyiannya. Aroma kertas tua dan lem segar menyambut mereka. Rak-rak tinggi penuh dengan buku berjajar rapi, hanya diisi oleh segelintir pengunjung yang serius memilih bacaan.

"Kamu cari buku apa?" tanya Rayyan, suaranya datar namun sopan. Matanya menyapu rak-rak buku tebal di bagian akademik.

"Sosiologi & Antropologi Pendidikan, Mas," jawab Arsya dengan suara lembut seperti embun. Dia tersenyum malu-malu, matanya berbinar antusias.

Rayyan membantu mencarikan buku yang dimaksud. Berbeda dengan Jessy yang keras kepala dan seringkali menolak bantuan, Arsya adalah pendengar yang baik. Dia mengangguk dengan seksama setiap Rayyan memberikan saran, menerima penjelasannya dengan penuh rasa hormat. Dalam diam, Rayyan mengakui bahwa Arsya memang gadis yang menyenangkan—tenang, tidak menuntut, dan mudah diajak berkomunikasi.

Arsya sendiri tampak semakin terkesan dengan kecerdasan Rayyan. Cara pria itu menjelaskan subjek yang rumit dengan bahasa yang sederhana, ketelitiannya dalam memilih buku, dan aura ketenangannya yang misterius membuatnya semakin tertarik.

"Mas Rayyan suka baca novel?" tanya Arsya setelah mereka menemukan buku yang dicari, mencoba menjalin percakapan yang lebih personal.

Rayyan menggeleng. "Nggak," jawabnya singkat. Pikirannya lebih sering dipenuhi oleh diagram sirkuit dan rumus matematika daripada alur cerita fiksi.

"Tapi Mas Rayyan kayaknya harus baca novel yang satu ini deh," ujar Arsya dengan semangat yang tulus, matanya berbinar. "Seru banget, benar-benar membuka wawasan."

"Oh ya? Apa judulnya?" tanya Rayyan, sedikit penasaran. Antusiasme Arsya terasa menular.

"Śabda Surya Majapahit," jawab Arsya. "Ini novel sejarah fiksi tentang kejayaan Majapahit. Penulisannya detail banget, seru deh."

"Kamu suka cerita sejarah ya?" tanya Rayyan, kali ini dengan nada yang sedikit lebih hangat. Dia menemukan sisi menarik dari gadis ini.

"Suka banget, Mas," balas Arsya, senyumnya semakin lebar. Merasa didengarkan, tanpa pikir panjang dan dengan spontanitas yang polos, Arsya menggandeng tangan Rayyan. "Ayo, aku tunjukin bukunya. Biasanya ada di rak novel sejarah."

Rayyan sedikit kaget dengan sentuhan itu, tapi sebelum dia bisa bereaksi, Arsya sudah menariknya dengan lembut menuju area rak novel.

Dan di sanalah... di antara rak komik yang penuh warna dan rak novel yang lebih serius, seorang gadis berdiri membelakangi mereka. Gadis itu mengenakan jaket kulit hitam yang mewah dan celana jeans ketat yang menegaskan lekuk tubuhnya yang sempurna. Rambut panjangnya yang berkilau terurai di punggungnya.

Saat mereka mendekat, gadis itu menoleh—mungkin karena mendengar suara mereka di ruangan yang sunyi ini.

Waktu seakan membeku.

Jessy Sadewo.

Matanya yang hazel, yang biasanya penuh dengan percaya diri dan tantangan, kini tertancap pada satu titik: tangan Arsya yang masih menggandeng tangan Rayyan.

Ekspresi di wajah Jessy berubah drastis. Dari awalnya netral, menjadi kaget, lalu... hancur. Sebuah luka yang begitu dalam dan nyata terpancar dari sorot matanya, membuat Rayyan merasa seperti ditusuk pisau.

Dengan refleks yang cepat, Rayyan segera melepaskan genggaman Arsya. Tapi itu sudah terlambat. Kerusakan telah terjadi.

Jessy memandang Rayyan sejenak, matanya seperti menyampaikan ribuan kata yang tak terucap: pengkhianatan, rasa sakit, dan sebuah keyakinan baru yang pahit. Dia sudah menemukan penggantiku.

Tanpa sepatah kata, tanpa teriak atau tangis, Jessy memutar tubuhnya dan berjalan pergi. Langkahnya cepat dan tegas, meninggalkan bayangan kesedihan yang begitu menyentak di hati Rayyan.

Arsya, yang tidak mengerti apa-apa, hanya bisa tertegun. "Maaf, Mas... Apa... apa aku salah melakukan sesuatu?" tanyanya polos, wajahnya penuh kebingungan melihat perubahan suasana yang tiba-tiba.

Tapi Rayyan sudah tidak mendengarnya. Matanya masih tertuju pada punggung Jessy yang semakin menjauh, menghilang di balik rak-rak buku. Di dadanya, sebuah rasa bersalah dan penyesalan yang dalam mulai menyebar, lebih menyakitkan daripada teguran apa pun.

Satu hal yang kini tertanam kuat dalam benak Jessy: Rayyan tidak hanya meninggalkannya, tapi juga dengan mudahnya "menggantikannya" dengan gadis lain. Dan bagi Rayyan, kebetulan takdir ini telah meruntuhkan segala tembok pertahanan yang selama ini ia bangun, meninggalkannya dengan realita pahit bahwa dia masih peduli, dan luka Jessy adalah lukanya sendiri.

1
🌺ziRa_hEnY💞🐊🐊
gemes bgt sama Rayyan...kpn berjuang nya yaa...😄
IndahMulya
thor dikit banget, ga puas bacanya
🌺ziRa_hEnY💞🐊🐊
Rayyan berjuang dongggg
IndahMulya
gedeg banget sama ibunya rayyan
🌺ziRa_hEnY💞🐊🐊
Arsya mundur Alon Alon aja yaaa...udah tau kan Rayyan cinta nya sama Jessy...
🌺ziRa_hEnY💞🐊🐊
mengsedih.begini yaa...
kudu di pites ini si ibu Maryam
Naura Salsabila
lemah amat si rayyan
🌺ziRa_hEnY💞🐊🐊
kak..disini usia Rayyan brp THN ?Jessy nya brp THN ??aku udah follow IG nya siapa tau ada spill visual RayyannJessy🤭🤭😄
Nona Lebah: Rayyan itu saat ini udah 23 tahun dan jessy 20 tahun.
total 1 replies
🌺ziRa_hEnY💞🐊🐊
sabarr Rayyann....
Nona Lebah: Jangn lupa mampir di novelku lainnya ya kak. Terimakasih
total 1 replies
IndahMulya
bagussss ayo dibaca...
IndahMulya
lanjut thor.. ceritamu ini emg bikin candu banget 😍
A Qu: ter rayyan rayyan pokoknya thor... ayo kejar cinta jessy
total 1 replies
IndahMulya
makanya rayyan jgn cuma tinggal diam aja, kalau msh syg tuh ayo kejar lagi jessynya, ga usah mikir yg lain, ingat kebahagiaanmu aja kedepan...
Nona Lebah: Hay kak. Bantu aku beri ulasan berbintang ⭐⭐⭐⭐⭐ yaa untuk novel ini. Terimakasih
total 1 replies
IndahMulya
ayo rayyan.. semangattt
🌺ziRa_hEnY💞🐊🐊: semangat Rayyan
total 1 replies
🌺ziRa_hEnY💞🐊🐊
langsung kesini kak
Nona Lebah: Terimakasih kak. Bantu aku dengan beri ulasan berbintang ⭐ ⭐ ⭐ ⭐ ⭐ ya kak untuk novel ini.
total 1 replies
IndahMulya
lanjut thor.. aku dari paijo pindah ke sini cuma buat nyari rayyan sama jessy
Nona Lebah: Makasih kak. Kamu the best 💪
total 1 replies
🌺ziRa_hEnY💞🐊🐊
akhirnya ketemu juga sama cerita ini...keren dan recommend
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!