Putri Raras Ayu Kusumadewi, putri tunggal dari salah satu bangsawan Keraton Yogyakarta, selalu hidup dalam aturan dan tata krama yang ketat. Dunia luar hanyalah dongeng yang ia dengar dari pengawal dan dayang-dayangnya.
Hingga suatu hari, atas nama kerja sama budaya, Keraton Yogyakarta menerima kunjungan kehormatan dari Pangeran William Alexander dari Inggris, pewaris kedua takhta Kerajaan Inggris.
Sebuah pertemuan resmi yang seharusnya hanya berlangsung beberapa hari berubah menjadi kisah cinta terlarang.
Raras menemukan kebebasan dan keberanian lewat tatapan sang pangeran yang hangat, sementara William melihat keindahan yang belum pernah ia temui — keanggunan Timur yang membungkus hati lembut seorang putri Jawa.
Namun cinta mereka bukan hanya jarak dan budaya yang menjadi penghalang, tapi juga takdir, tradisi, dan politik dua kerajaan.
Mereka harus memilih — cinta, atau mahkota.
.
.
Note: semua yang terkandung dalam cerita hanya fiktif belaka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uffahazz_2, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8. The Return to the Palace
Hujan mengguyur Bandara Adisutjipto sore itu. Pesawat kerajaan Inggris baru saja lepas landas, meninggalkan aroma jet fuel yang bercampur dengan rintik hujan dan rasa kehilangan yang tak terjelaskan.
Putri Raras berdiri di bawah payung yang dipegang ajudan ayahnya, wajahnya tetap tenang meski dadanya sesak.
Ia kembali — bukan sebagai perempuan yang baru jatuh cinta, tetapi sebagai putri kerajaan yang telah menodai kehormatan garis keturunan dengan kabar skandal internasional.
Begitu tiba di Keraton Yogyakarta, suasana hening menyambutnya. Para abdi dalem menunduk hormat, tapi tanpa senyum. Seolah semua tahu, sang putri telah membawa pulang badai.
Di pendopo utama, Sultan Harimurti — ayahnya — duduk di kursi kayu jati yang megah. Sorot matanya tajam, seperti pisau yang diselipkan di balik senyum dingin.
“Selamat datang kembali, Raras,” katanya pelan, nyaris tanpa ekspresi.
Raras menunduk dalam. “Ampun, Ayahanda. Saya telah membuat nama keluarga tercoreng.”
“Engkau bukan hanya membawa aib, Raras,” suara sang Sultan tegas, “tapi juga membuka celah bagi orang luar untuk menertawakan martabat tanah ini.”
Raras menggigit bibirnya, menahan air mata. “Saya tidak bermaksud melawan takdir keluarga. Saya hanya…”
Ia berhenti.
Bagaimana mungkin ia menjelaskan bahwa hatinya memilih seseorang yang bahkan Tuhan yang mereka sembah pun berbeda?
Ayahnya menatap lekat. “Cinta, Raras, tak bisa menjadi alasan untuk melupakan darahmu. Engkau adalah putri Keraton. Hidupmu bukan hanya milikmu.”
Kata-kata itu menikam. Tapi Raras menunduk, menyadari, bahwa kali ini — tak ada ruang untuk membantah.
---
Malam hari di Kamandungan
Raras duduk di beranda kamarnya, mengenakan kain batik dan selendang halus di bahu. Angin malam membawa aroma bunga kenanga dari halaman dalam.
Namun pikirannya tetap berlayar jauh ke London — pada senyum William, tatapan matanya, dan janjinya yang terdengar mustahil.
Di meja kecil di samping ranjang, sebuah surat putih masih terlipat rapi. Surat terakhir dari William, yang diserahkan padanya sebelum ia naik pesawat.
Dengan tangan gemetar, Raras membukanya lagi.
> “My dearest Raras,
If love was born in silence, then ours was nurtured in storms.
I will not ask you to stay, but I will find you — when the world stops telling us that we cannot be.
Yours, always — William.”
> “Rarasku tersayang,
Jika cinta lahir dalam keheningan, maka cinta kita dipupuk dalam badai.
Aku tak akan memintamu untuk tinggal, tapi aku akan menemukanmu — ketika dunia berhenti mengatakan kita tak bisa bersama.
Milikmu, selalu — William.”
Raras menatap huruf-huruf itu lama sekali.
Hatanya bergetar di antara logika dan kerinduan.
Mungkin ia tak lagi menangis, tapi hatinya sudah belajar — bahwa beberapa cinta memang hanya bisa hidup dalam doa.
---
Beberapa hari kemudian
Keraton sibuk dengan persiapan acara penting: Pisowanan Ageng — pertemuan besar keluarga kerajaan dan pejabat tinggi. Raras diwajibkan hadir, dengan kabar bahwa ia akan dijodohkan dengan seorang bangsawan muda dari Surakarta bernama Raden Mas Arya Wiradhana.
Seorang pria tampan, sopan, dan berpendidikan.
Tapi bukan William.
“Putri Raras,” ujar seorang abdi wanita sambil menunduk, “besok malam, panjenengan dipersiapkan untuk pertemuan keluarga besar. Pakaian sudah disiapkan di ruang ganti.”
Raras hanya mengangguk pelan.
Ia tidak menolak. Tidak pula mengiyakan.
Karena menolak berarti menghina adat, dan mengiyakan berarti mengkhianati dirinya sendiri.
---
London, beberapa minggu kemudian
Sementara itu, di Istana Windsor, William berdiri di ruang kerja pribadinya, menatap peta dunia besar di dinding.
Di meja kayu di depannya, tergeletak dokumen bertanda “Confidential” dari Kementerian Luar Negeri Inggris: Diplomatic Visit Proposal – Indonesia.
Lady Eleanor mengetuk pintu. “Your Highness, are you certain about this? The Queen has forbidden any contact—”
"Yang Mulia, apakah Anda yakin tentang ini? Ratu telah melarang kontak apa pun—"
William menatapnya dengan senyum samar, tapi matanya menyala penuh tekad.
“I’m not contacting her,” katanya pelan.
“I’m visiting a culture… officially.”
"Aku tidak menghubunginya," katanya pelan.
"Aku sedang mengunjungi sebuah budaya... secara resmi."
Lady Eleanor menarik napas panjang. “And unofficially?”
“Dan secara tidak resmi?”
William menatap jendela, di mana hujan London turun seperti mengirim pesan yang sama dari langit Yogyakarta.
“Unofficially… I’m finding my heart.”
“Secara tidak resmi… Aku menemukan hatiku.”
---
Malam Pisowanan Ageng
Cahaya obor menerangi halaman luas Keraton. Musik gamelan mengalun lembut, menyambut para tamu kerajaan dari berbagai daerah.
Raras melangkah dengan anggun, mengenakan kebaya hijau zamrud dengan sanggul tinggi berhias bunga melati. Semua mata tertuju padanya. Tapi matanya kosong.
Seolah senyum yang terlukis di wajah hanyalah topeng.
Sampai seorang pelayan berlari kecil, membisikkan sesuatu ke telinga Sultan Harimurti.
Wajah sang Sultan sedikit berubah, antara terkejut dan bingung.
“Ada apa?” tanya salah satu pangeran sepupu.
Pelayan itu menelan ludah, lalu menjawab pelan, “Ada tamu kehormatan dari Inggris, Gusti. Mengaku diutus langsung oleh kerajaan mereka.”
Semua kepala menoleh ke arah gerbang.
Dan di sanalah — sosok tinggi dengan setelan jas hitam khas diplomat Inggris melangkah masuk, diiringi dua pengawal kerajaan asing.
Tatapannya lurus.
Langkahnya mantap.
Dan begitu pandangannya bertemu dengan Raras, waktu seakan berhenti.
William is back.
nah,,, buat sebagian org, cinta nya kok bisa diobral sana sini,, heran deh,,
aku suka,,,aku suka,,,
mommy komen nih ya,,,🥰
kalo sempet blz komen kita" ya
senang banget mommy atuh neng,,,
bisa baca karya mu di sini lg🥰