Sejak malam pernikahan, Clara Wu telah diracun oleh pamannya—racun yang membuatnya hanya bisa bertahan hidup lewat penawar yang diberikan setiap minggu.
Namun setiap kali penawar itu datang, bersamanya hadir obat perangsang yang memaksa tubuhnya menjerit tanpa kendali.
Tak sanggup menanggung hasrat yang dipaksakan padanya, Clara memilih menyakiti diri sendiri, melukai tangannya agar tetap sadar.
Tiga tahun ia bertahan dalam pernikahan tanpa cinta, hingga akhirnya diceraikan dan memilih mengakhiri hidupnya.
Ketika Adrian Zhou kembali dari luar negeri dan menemukan kebenaran tentang siksaan yang dialami istrinya, hatinya hancur oleh penyesalan.
Apakah Adrian akan mampu mencintai istri yang selama ini ia abaikan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
“Benar dan ini bukan kali pertama beliau menelannya. Dari hasil toksikologi, terlihat ada jejak penggunaan berulang," jawab Dokter.
Andrian terdiam, seolah tidak percaya dengan apa yang baru didengarnya. “Maksudmu beberapa kali?”
Dokter mengangguk perlahan. “Iya. Obat ini tidak bisa dibeli sembarangan, dan jika dikonsumsi terus-menerus, dapat menyebabkan gangguan serius pada jantung dan sistem saraf. Efeknya membuat tubuh terasa panas, jantung berdebar cepat, bahkan bisa memicu halusinasi dan rasa takut ekstrem.”
Ia menatap Clara yang masih terbaring lemah, lalu melanjutkan dengan suara yang semakin pelan,
“Dari luka-luka di tangannya, kami menduga pasien mencoba melawan efek obat itu. Ia melukai dirinya sendiri—bukan karena ingin mengakhiri hidup, tapi karena berusaha menahan dampak obat yang memaksa tubuhnya bereaksi di luar kendalinya.”
Andrian menunduk perlahan, rahangnya mengeras, matanya memerah. “Jadi... dia sadar sepenuhnya saat itu?”
“Iya, Tuan,” jawab dokter lirih. “Kemungkinan besar, pasien menyadari sesuatu yang tidak wajar sedang terjadi pada tubuhnya. Dengan kondisi itu, ia memilih cara ekstrem untuk melawan efek obat—melukai diri sendiri agar tubuhnya bereaksi terhadap rasa sakit lain, bukan efek kimia tersebut. Itu sebabnya kami menemukan banyak luka di tangannya, tapi tidak terlalu dalam. Ia berusaha bertahan... bukan menyerah.”
Andrian menatap wajah istrinya yang pucat.
“Dia berjuang sendirian...” gumamnya lirih.
Dokter menghela napas, suaranya penuh empati. “Butuh kekuatan luar biasa untuk tetap hidup setelah semua itu. Pasien adalah wanita yang sangat kuat.”
“Apakah bisa membersihkan obat perangsang itu? Dan apa caranya untuk menyembuhkan depresinya?” tanya Andrian, suaranya dalam dan berat.
Dokter menatapnya dengan tenang. “Kami sedang berusaha, Tuan. Sisa obat itu memang tidak bisa hilang seketika, tapi kami akan membantu tubuh pasien memulihkannya secara perlahan. Kondisinya sudah mulai stabil, dan kami akan terus memantau reaksinya agar tidak terjadi komplikasi.”
Andrian mengangguk pelan, lalu menatap wajah istrinya yang pucat. “Lalu bagaimana dengan depresinya?"
Dokter menarik napas panjang. “Pasien mengalami depresi berat yang sudah berlangsung lama. Ini bukan hanya karena obat itu, tapi karena luka batin yang menumpuk. Saat ini, ia butuh waktu, perawatan, dan dukungan emosional. Kami akan menugaskan psikiater untuk menanganinya secara khusus begitu ia sadar.”
“Apakah dia bisa sembuh?” suara Andrian melemah.
“Bisa, Tuan,” jawab dokter lembut. “Asalkan ia tidak dibiarkan sendirian. Obat hanya membantu sebagian. Sisanya datang dari rasa aman, kasih sayang, dan keyakinan untuk hidup. Pasien terlihat sangat lelah, Itu sudah menjadi tanda bahwa dia telah menyerah pada hidupnya.”
"Baiklah, lakukan yang terbaik. Berapa pun biayanya, obati istriku hingga sembuh!" kata Andrian.
Beberapa saat kemudian.
Andrian masih berdiri di ujung ranjang, menatap istrinya. Mesin pemantau di sisi tempat tidur terus berdetak pelan, menandakan bahwa Clara masih berjuang.
“Tuan, bagaimana kalau Anda istirahat dulu?” kata Kane dengan nada hati-hati.
Andrian tidak menjawab. Pandangannya tetap terpaku pada Clara. Setelah beberapa detik, ia akhirnya berkata pelan namun tegas, “Sampaikan pada pihak rumah sakit, pindahkan Clara ke kamar VIP. Dan siapkan dua ranjang.”
Kane menatapnya bingung. “Tuan ingin sekamar dengan Nyonya?”
“Dokter sudah mengatakan, jangan biarkan dia sendirian,” jawab Andrian datar, matanya tak beralih dari wajah istrinya.
“Baik, segera saya atur,” kata Kane cepat, lalu mencatat perintah itu.
“Apakah kau tahu hubungan Clara dengan keluarganya?” tanya Andrian tiba-tiba, suaranya berat.
Kane menggeleng. “Maaf, Tuan. Selama ini kita belum pernah mencari tahu secara mendalam. Tapi saya akan segera selidiki.”
“Mulai hari ini,” ujar Andrian pelan namun penuh tekanan, “semua urusan perusahaan kau yang tangani. Jangan laporkan apa pun padaku sampai aku sendiri yang memintanya. Aku hanya ingin fokus pada Clara.”
“Iya, Tuan,” jawab Kane dengan hormat.
Andrian terdiam sejenak, lalu bertanya lagi, “Di keluarga Wu, siapa saja selain James Wu dan istrinya?”
Kane mencoba mengingat. “Ada dua putra mereka, Jordy dan Jordan."
“Selain mereka?” tanya Andrian lagi, kali ini nadanya lebih dalam.
“Seingat saya, mereka juga memiliki seorang pembantu rumah tangga, wanita paruh baya sekitar lima puluhan. Saat kita datang melamar Nyonya dulu, pembantu itu terlihat sangat akrab dengannya. Nyonya memanggilnya Bibi Shu.”
Andrian mengangguk pelan, rahangnya mengeras. “Bawa wanita itu ke hadapanku besok pagi. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Clara di rumah itu.”
“Baik, Tuan,” jawab Kane tanpa ragu.
Andrian kembali menatap Clara. “Jika ada sesuatu yang disembunyikan keluarga Wu… aku akan pastikan mereka membayar semuanya,” bisiknya lirih.