Seorang kultivator muda bernama Jingyu, yang hidupnya dihantui dendam atas kematian seluruh keluarganya, justru menemukan pengkhianatan paling pahit dari orang-orang terdekatnya. Kekasihnya, Luan, dan sahabatnya, Mu Lang, bersekongkol untuk mencabut jantung spiritualnya. Di ambang kematiannya, Jingyu mengetahui kebenaran mengerikan, Luan tidak hanya mengkhianatinya untuk Mu Lang, tetapi juga mengungkapkan bahwa keluarganya lah dalang di balik pembunuhan keluarga Jingyu yang selama ini ia cari. Sebuah kalung misterius menjadi harapan terakhir saat nyawanya melayang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YUKARO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terobosan cepat
Di dalam lonceng emas yang memancarkan cahaya hangat bercampur tekanan spiritual, keheningan membentang panjang seperti jurang tanpa dasar.
Dua jam telah berlalu sejak Lumo dan wanita bergaun merah itu terperangkap bersama. Di dalam ruang sempit yang berdengung halus oleh resonansi spiritual, waktu terasa lambat, seolah jarum jam meneteskan detik-detiknya dengan keengganan.
Lumo bersandar di sisi dalam lonceng, matanya tenang seperti permukaan danau yang tak tersentuh angin. Dari sudut pandangnya, wanita itu tampak gelisah, membelakanginya, menatap dinding emas berkilau seolah berharap cahaya suci itu dapat menjawab kebodohannya sendiri. Kedua tangannya sibuk memukul loncengnya sendiri dengan frustrasi, membuat bunyi dengungan lembut yang merambat bagai alunan mantra.
Lumo akhirnya bersuara dengan nada datar, namun dalam suaranya ada getar ketidaksabaran yang samar.
“Sudah dua jam. Bisakah kau menyingkirkan kekangan ini? Tubuhku bisa hancur jika bertahan lebih lama lagi.”
Mendengar itu wanita itu tertegun sejenak, kemudian ia membalikkan tubuhnya dengan gerakan dramatis. Kedua tangannya berada di pinggang, wajahnya bersinar dalam cahaya emas. Ia tertawa, suara tawa yang nyaring, indah, namun di telinga Lumo terdengar seperti tawa seekor rubah yang kehilangan arah di padang salju.
“Hahaha! Itu memang tujuanku, bocah. Jika kau hancur, aku bisa mengambil inti kadal buruan yang kau rebut.”
Nada suaranya penuh percaya diri, seperti seseorang yang baru saja memenangkan pertempuran. Sayangnya, ia sama sekali tidak menyadari kenyataan pahit bahwa dirinya juga terkurung di dalam lonceng itu.
Lumo terdiam. Dalam kehidupan sebelumnya, sebagai Jingyu, ia telah melihat berbagai jenis Kultivator wanita. dingin seperti es di puncak salju, licik seperti ular di padang pasir, lembut seperti air sungai. Namun tak satu pun di antaranya seaneh wanita ini. Ia tampak seperti makhluk spiritual yang kehilangan arah logika.
Lumo akhirnya bertanya, nadanya datar, matanya tetap tak bergetar.
“Nona ini… apakah nona tidak waras?”
Kata-kata itu membuat wanita bergaun merah seketika memucat, lalu memerah seperti bara. “Apa katamu, bocah bau?!"
Wanita itu kemudian menunjuk ke arah Lumo dengan wajah penuh amarah.
"Kau membuatku semakin kesal… Aku akan membunuhmu!” teriaknya. Ia melayangkan pukulan cepat ke arah dada Lumo.
Namun tubuh Lumo hanya bergeser sedikit, hampir tanpa terlihat. Pukulan itu menghantam dinding lonceng dengan suara nyaring. “Aduh!” Wanita itu memegangi tangannya yang berdarah, wajahnya semakin berapi-api karena malu bercampur marah.
Lumo menghela napas. Ia mengangkat tangan kirinya dan menahan pukulan berikutnya dengan santai. Gerakannya lembut, tetapi ada kekuatan yang menahan bagaikan tangan gunung menahan hembusan badai. “Sudah cukup,” kata Lumo singkat.
Namun wanita itu malah semakin marah. Ia berusaha melepaskan diri, memukul dengan tangan satunya, menyerang membabi buta. Dalam satu gerakan ringan, Lumo memutar tubuhnya, membuat wanita itu terjebak dalam pelukannya. Gerakan itu tenang, namun tegas, seperti air yang menelan bara api.
Kini Lumo berdiri di belakangnya, memeluk dari belakang dengan santai. Ia bersandar sedikit di bahu wanita itu dan berkata lirih, seolah membisikkan sesuatu yang datang dari alam mimpi.
“Nona, daripada melakukan hal yang tidak penting… lebih baik nona membayangkan sesuatu yang lebih damai. Seperti... Bagaimana jika kita memiliki dua anak, satu putra, dan satu putri?”
Wanita itu menegang seketika. Matanya membulat, wajahnya merona. Namun di dalam pikirannya, gambaran yang absurd itu mulai terbentuk tanpa kendali. Lumo melanjutkan, suaranya rendah, lembut, seperti mantra yang mengguncang hati.
“Setiap pagi, aku terbangun dan melihat mereka bermain bersamamu di halaman. Dan saat malam tiba, ketika kedua anak kita tertidur… kau datang menghampiriku, tersenyum, lalu memohon agar kita menambah dua anak lagi.”
Wajah wanita itu semakin merah padam, bukan karena marah, tapi karena gelombang perasaan yang tidak pernah ia alami mengalir liar di tubuhnya. Qi-nya bergetar tak terkendali. Lonceng emas di sekeliling mereka bergetar hebat, memancarkan cahaya yang berubah-ubah. Dalam sekejap, lonceng itu mengecil, bergetar hebat, lalu terlepas dari tubuh mereka berdua. Kini ia melayang lembut di depan wanita itu, berputar-putar, seolah takjub dengan apa yang baru saja terjadi.
Lumo melepaskan pelukannya. Ia tidak menoleh lagi, hanya menepuk debu halus di pakaiannya, lalu melesat keluar dengan pedang terbangnya. Di udara, ia menghela napas panjang.
“Mengguncang hati seseorang jauh lebih mudah daripada menghancurkan tubuhnya,” gumamnya pelan. “Lonceng itu memang bisa dikalahkan dengan dua cara. Kekuatan mutlak… atau kehancuran mental pengguna.”
Ia menatap langit yang mulai gelap, lalu tersenyum samar. “Dan kali ini… aku memilih yang kedua.”
Lumo terbang menjauh, meninggalkan suara wanita di bawah yang berteriak lantang.
“Bajingan mesum! Kau menipuku!”
Suara itu bergema, memantul di lembah dan karang, menari bersama angin, lalu lenyap.
Dua jam berlalu.
Di atas dataran tandus yang masih diselimuti hawa panas dari bebatuan kering, Lumo kembali melihat seekor kadal api melintas cepat di bawah. Matanya berkilat. Ia tidak menunggu. Dalam sekejap, pedang hitam dari cincin penyimpanannya telah berada di tangan.
“Pedang Sunyi,” bisiknya pelan.
Cahaya hitam tanpa bentuk melesat menembus udara. Tidak ada kilatan, tidak ada suara, hanya keheningan yang mematikan. Kadal itu sempat menoleh, namun kepala dan tubuhnya telah terpisah sebelum kesadarannya sempat menjerit. Inti merah bercahaya muncul dari tubuhnya. Dengan gerakan ringan, Lumo menariknya menggunakan Qi, lalu menyimpannya.
Ia melanjutkan perjalanan. Namun tak lama, seekor kadal lain muncul. Lumo sedikit terkejut, alisnya terangkat tipis. “Tempat ini… mengapa begitu banyak makhluk spiritual tingkat lima?” gumamnya.
Ia menyerang lagi, dan lagi. Dalam beberapa jam, ia telah mengumpulkan delapan inti merah, masing-masing berdenyut pelan, memancarkan hawa panas yang seperti darah naga.
Setelah melintasi lembah berbatu, Lumo menemukan sebuah goa di sisi tebing. Udara dari dalamnya terasa berat, mengandung sisa-sisa Qi api yang murni. Ia melangkah masuk tanpa ragu, duduk bersila di tengah ruangan batu yang kosong.
Ia mengeluarkan satu inti kadal api dan meletakkannya di udara. Inti itu melayang perlahan di depan dantiannya, berputar lembut, memancarkan cahaya merah menyala.
Lumo memejamkan mata, membentuk segel di depan dada. Qi-nya mulai bergerak. Inti itu kemudian larut menjadi arus merah, terserap masuk melalui pori-porinya. Dalam sekejap, dua belas dantian di dalam tubuhnya menyala seperti bara. Energi panas membakar dari dalam, namun Lumo tetap tenang, membiarkan gelombang itu berputar dalam siklus sempurna.
Dua jam berlalu. Getaran keras terdengar di dalam goa. Lumo membuka matanya, napasnya berembus pelan. Ia telah menembus dari Pendirian Fondasi tahap tengah menuju tahap akhir. Namun ia tidak berhenti. Ia mengeluarkan lagi satu inti, lalu satu lagi, terus dan terus, sampai semuanya habis digunakan.
Sebulan kemudian.
Di dalam goa yang sama, suasana telah berubah. Qi langit dan bumi berkumpul liar, seperti arus sungai yang berputar di tengah badai. Tubuh Lumo diselimuti pusaran energi berwarna biru dan merah, bercampur, berpadu, menyatu.
Inti-intinya telah habis. Namun dengan kekuatan yang tersisa, serta bantuan sisa Qi alam, terobosan besar terjadi. Suara dentuman bergema keras di dalam goa, mengguncang batu-batu di dindingnya.
Lumo membuka matanya, dan seberkas cahaya emas menyala di dalam pupilnya. Ia bisa merasakan inti emas yang terbentuk di pusat dantian, tanda bahwa ia telah menembus ke tahap Core Formation awal.
Ia mengepalkan tangan, dan di ujung jarinya muncul api biru yang berdenyut lembut. Api itu tidak berwarna merah seperti biasa, tetapi biru, tenang, murni, dan jauh lebih panas.
“Api biru…” gumamnya, matanya berkilat. “Tingkat ketiga dari daftar api terkuat di Benua Zhou. Tidak buruk.”
Ia berdiri perlahan, langkahnya ringan namun kokoh. Tanah di bawahnya bergetar kecil, menandakan tekanan spiritualnya telah berubah. Ia menatap keluar goa, udara kering dan panas menyambutnya seperti dunia yang menunduk memberi hormat.
“Core Formation,” bisiknya lagi, “lebih cepat dari perkiraan. Lima tahun dipangkas menjadi satu bulan. Dunia luar… bersiaplah.”
Lumo pun mengangkat tangan, dan pedang terbangnya muncul, bersinar perak di bawah matahari padang tandus. Tubuhnya melesat ke langit, meninggalkan jejak biru di udara yang hening.
Di atas langit negara Gizo yang terpencil, seorang kultivator muda terbang tanpa suara, membawa ambisi sebesar gunung, dan dendam yang masih menyala di dasar jiwanya.