Saat membuka mata, Anala tiba-tiba menjadi seorang ibu dan istri dari Elliot—rivalnya semasa sekolah. Yang lebih mengejutkan, ia dikenal sebagai istri yang bengis, dingin, dan penuh amarah.
"Apa yang terjadi? bukannya aku baru saja lulus sekolah? kenapa tiba-tiba sudah menjadi seorang ibu?"
Ingatannya berhenti disaat ia masih berusia 18 tahun. Namun kenyataannya, saat ini ia sudah berusia 28 tahun. Artinya 10 tahun berlalu tanpa ia ingat satupun momennya.
Haruskah Anala hidup dengan melanjutkan peran lamanya sebagai istri yang dingin dan ibu yang tidak peduli pada anaknya?
atau justru memilih hidup baru dengan menjadi istri yang penyayang dan ibu yang hangat untuk Nathael?
ikuti kisah Anala, Elliot dan anak mereka Nathael dalam kisah selengkapnya!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zwilight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB. 8 | Mencoba Berdamai
Anala duduk diam disebelah kursi kemudi. Sesekali matanya melirik ke arah kanan, memperhatikan wajah datar Elliot yang menyetir mobil dengan serius. Tak ada obrolan yang terbuka, tak ada kata yang keluar, segalanya terjeda layaknya ruang kosong tanpa penghuni.
Suasa itu menyesakkan, Anala tak tahan dengan kesunyian. Sambil menyemangati diri dalam diam, ia mulai bicara dengan ragu. "Anu... kenapa tadi kamu bisa ada disana?"
Untuk sejenak tak ada jawaban yang keluar, Elliot hanya fokus pada jalanan. Anala mulai pasrah, bahunya sedikit melorot merasa kecewa.
"Aku ada meeting sama klien," jawabnya tanpa mengalihkan fokusnya dari jalanan. Anala jadi merasa cemburu pada jalanan yang terus ditatap oleh suaminya itu.
"Kirain kamu sengaja mau ngikutin aku," bibirnya terangkat remeh, sudut matanya melirik Elliot yang terus bersikap seperti robot.
Dan ya... Anala sukses membuat Elliot jadi menoleh kearahnya. "Kamu nggak sepenting itu, lagipula kamu pikir aku nggak punya kerjaan?" suaranya santai tapi nyelekit. Ia kembali fokus pada jalanan didepan mata.
Balasan Elliot membuat Anala tertohok. Ia menunduk malu sambil meremas ujung dressnya. Bibirnya udah monyong karena kesal, tapi ia tahan agar tak perang dingin lagi.
Suasana jadi kembali hening untuk sesaat. Rasanya semakin menyiksa bagi Anala. ia pun tak tahan untuk kembali membalas. "Istri sendiri dibilang nggak penting, dasar nggak punya hati!"
"Apa kamu bilang?"
Anala langsung menjawab cepat dengan tampang garangnya. "Nggak usah kepo! urus aja tuh jalanan, lagian istri kan nggak penting buat kamu!"
Elliot terkejut hingga tubuhnya sedikit terperanjat. Kata-kata Anala mendadak horor, meski bukan sesuatu yang menyakitkan seperti biasanya.
Aneh!
Matanya sesekali menengok pada Anala, wanita itu memandang ke luar jendela dengan wajah kesal yang tak bisa disembunyikan.
Anala benar-benar berubah jadi dia versi dulu sebelum ngelahirin Nathael, batin Elliot dalam diam.
Perjalanan mereka terus berlanjut dengan suasana yang tak dapat ditebak. Kadang saling sindir, tapi terkadang juga saling menunjukkan perhatian satu sama lain.
Elliot tak bisa tenang, perhatiannya terus teralihkan pada jejak merah dan juga luka ringan disudut bibir Anala. Rahangnya mengeras, tangannya mencengkram setir mobil lebih kuat.
Sial, kamu menyebalkan Anala. Semua tentang kamu selalu menyebalkan.
Tanpa pemberitahuan, tanpa diskusi tiba-tiba pria itu menghentikan mobilnya disebuah taman pinggir kota. Anala mendelik curiga, suasana dalam mobil jadi semakin membingungkan. Karena merasa penat dengan pertanyaan yang tak terjawab, Anala buka suara dengan percaya diri.
"Kenapa kita berhenti disini?"
Elliot membuka seat belt lalu meraih kotak obat dari balik saku mobilnya. "Obati dulu tangan dan bibir kamu itu,"
Anala mendelik lalu menggeleng pelan. "Nggak usah, ini nggak sakit, cuma memar ringan doang."
"Keluar Anala, kita obati dulu disana." suaranya pelan tapi tegas. Elliot menunjuk sebuah bangku kayu yang tak jauh dari tempat mereka berada.
Anala mengikuti pandangan Elliot lalu menyipit curiga. Sebuah bangku dibawah pohon rindang, terlihat nyaman untuk sekedar melepas penat di pikiran.
"Aku mau, tapi kita harus obati luka kamu duluan. Gimana?" suaranya iseng, disertai gerakan alis yang dibuat naik turun.
"Nggak!"
"Ya udah kalau gitu aku juga nggak mau di obati, biarin aja kayak gini."
Melihat Anala yang kerasa kepala membuat Elliot bingung. ia menghela napas kasar lalu menatap Anala dengan serius. "Bisa nggak sekali aja kamu nurut? berhenti keras kepala, Anala!"
Anala tak bergeming, ia terlalu fokus pada wajah lelah Elliot. Sekilas ia memejamkan mata lalu mengangguk ringan. Tangannya diulurkan pada Elliot layaknya princess yang perlu di escape. "Ya udah terserah kamu, yang jelas luka kamu juga perlu di obati!"
Elliot memegang tangan itu lalu menuntunnya turun dengan perlahan. Suaranya masih tetap lembut, kali ini diikuti kepasrahan. "Iya nanti, setelah kamu selesai."
Anala hanya mengikuti kemauan Elliot, matanya sampai tidak bisa beralih dari ketelatenan suaminya itu dalam mengobati lukanya. Pria sebaik dia entah punya dosa apa bisa sampai menikah dengan Anala yang seperti ratu iblis dari neraka.
"Aku lega banget waktu kamu datang buat selamatin aku. Makasih ya, dari dulu sampai sekarang kamu selalu bantuin aku di segala situasi." mulutnya tak bisa ditahan untuk bicara hingga kalimat itu tanpa sadar terucap begitu saja.
Respon Elliot masih datar seperti biasanya, ia tak terpengaruh oleh kata-kata yang keluar dari mulut istrinya. Gimana Anala nggak tantrum kalau saat ngomong sebaik mungkin tetap dicuekin. Tapi ia harus bersabar.
Sambil berusaha menangani rasa kesalnya, Anala menarik nafas dalam lalu membuangnya pelan. Ia menahan tangan Elliot dan memaksa pria itu untuk menatap matanya. "Aku tau kamu nggak akan percaya, tapi aku emang nggak punya ingatan tentang 10 tahun yang kita lewati bareng." matanya fokus menelisik di wajah Elliot. "Aku ngerasa kalau kita masih 18 tahun."
Tepat setelah Anala selesai bicara, Elliot langsung menjauhkan tangannya. Dia tidak pernah percaya apapun yang dikatakan istrinya. "Jangan bicara omong kosong. Aku nggak mau dengar hal gila itu lagi."
Satu tangannya mengambil plester luka lalu menempelkannya dikening Anala yang tidak luka. "Otak kamu perlu di plester biar waras."
Anala terdiam mematung. sekilas ia mengernyit lalu menahan tangan itu lagi. Kali ini ia menatap penuh keseriusan, "Kamu menyebalkan, Elliot Callahan!"
Elliot terdiam sejenak, lalu tersenyum paksa dihadapan Anala. "Makasih atas pujiannya, Anala Mayden Callahan!"
Sontak Anala langsung tercengang. Ia lupa kalau saat ini namanya jadi satu dengan keluarga Elliot. Wajahnya memerah menahan malu, ia melepas tangan Elliot lalu membalikkan badan sambil memangku tangan.
Sialan kamu Elliot!
Wajah Anala jelas sudah tak santai, ekspresinya menunjukkan rasa kesal disetiap sudutnya. Meskipun begitu, ia tetap mengambil kapas dari kotak obat dan membersihkan luka Elliot dengan perlahan. "Sini gantian kamu yang jadi pasien." katanya judes.
"Nggak usah sok baik." balasnya tak kalah judes, mereka seperti dua orang kekasih yang punya perasaan benci dan cinta sama besar.
Anala menghela napas kasar lagi untuk kesekian kalinya, ia menggapai wajah Elliot dengan tangannya. Ia meringis saat lebam merah terlihat jelas dari wajah Elliot, sumpah serapahnya langsung meledak. "Yohane bajingan! beraninya dia ngerusak aset berharga orang!"
Elliot hanya tercengang, ia tak mengerti apa yang dimaksud aset oleh Anala. Matanya menatap ke arah lain agar tak bertemu dengan mata Anala. Tapi tak bisa, sesekali ia penasaran dan ingin melihat bagaimana eskpresi istrinya.
Mulutnya masih bungkam, tapi ada sesuatu yang gatal ingin dikatakan. Setelah menimbang lama, ia membuka mulut untuk bicara. "Soal Yohane tadi, aku nggak tau kamu lagi punya masalah apa sama dia, tapi harusnya kamu nggak perlu mancing emosi dia kayak tadi."
"Biarin aja, aku emang mau dia emosi. Biar sadar kalau aku nggak mau lanjutin hubungan menjijikkan itu!"
Jawaban Anala terlalu santai hingga membuat Elliot makin curiga. "Kamu benar-benar aneh. Dandanan kamu juga jadi beda, apa sekarang Yohane udah ganti selera?"
Lagi-lagi Elliot menghubungkannya dengan Yohane, tidak bisakah sehari saja dia percaya pada istrinya?
"Apaan sih, jangan mulai deh. Aku lebih nyaman pakai penampilan kayak gini, bukan yang serba fit kayak tante penggoda."
"Oh baguslah kalau kamu sadar."
Anala menghentikan gerakan tangannya, matanya menyipit tak suka. "Elli, omongan kamu tuh bikin sakit hati tau nggak."
"Setidaknya nggak sesakit yang kamu lakuin selama ini."
Damn... hembusan angin sore itu justru terasa panas, bukan menyejukkan.
Anala selalu kalah jika Elliot membawa dosa besar yang ia lakukan selama ini. Sambil menunduk ia bergumam pelan. "Aku minta maaf,"
"Buat apa?"
Anala mengangkat pandangan lalu menjawab apa adanya. "Semuanya, soal waktu sepuluh tahun yang kita habiskan tanpa menyisakan memori di ingatanku. Begitupun dengan sikap jelekku selama ini."
Kata-kata Anala membuat Elliot mengangkat pandangan. Kini mata mereka bertemu dengan tatapan dalam. Selalu saja matanya terlihat sendu setiap kali Anala mengakui kesalahan.
"Nggak perlu minta maaf karena nothing will change." bicaranya santai tapi tepat sasaran.
Anala tidak berubah, ia memegang tangan Elliot dan sekali lagi memaksa pria itu untuk percaya. "Aku maklumi kalau kamu masih belum yakin, tapi aku janji akan buktikan kalau semuanya bukan omong kosong. Aku pastikan berubah jadi istri yang baik buat kamu."
Jarak mereka terlalu dekat hingga Elliot terpaksa mendorong tubuhnya agak menjauh. Matanya membelalak setiap kali Anala bertingkah melewati batas yang ia bangun sendiri.
Namun perempuan itu terlihat serius, tidak ada kebohongan dimatanya. Tanpa sengaja matanya melebar lalu bibirnya menyunggingkan senyuman manis. "Entahlah, semuanya terserah kamu."
"Tolong percaya, aku benar-benar tidak akan pernah berhubungan dengan Yohane lagi mulai detik ini."
Matanya berbinar saat bicara, seolah segala kebenaran memancar terang lewat pantulan mata indahnya. Elliot tak berani menyela, mungkin benar kali ini ia bisa memberi kesempatan Anala. Mungkin benar pernikahan mereka masih bisa diselamatkan, setidaknya Elliot selalu mengharapkan hal itu terjadi.
"Baiklah, akan ku coba."
Saat itu juga mata Anala langsung melebar, ia menggenggam kedua tangan Elliot lalu mendekapnya dengan penuh rasa syukur. Bibirnya tak henti memancarkan senyuman cerah, seolah mendapatkan hadiah paling berharga di dunia.
"Aku janji nggak akan khianatin kepercayaan kamu lagi, El!"